Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DPR: Dewan Pendusta Rakyat

 
Sungguh terlalu. Meski mendapat penentangan dari publik, mayoritas anggota DPR tetap menyetujui skema penaikkan harga BBM yang diajukan pemerintah. Dalam sidang paripurna DPR pada Senin malam (17/6) jumlah anggota dewan yang  pro RAPBN-P 2013 menang mutlak 338 suara. Sementara yang kontra hanya 181 suara. Gayung pun bersambut. Menteri ESDM, Jero Wacik mengatakan, harga jual bensin menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan harga jual solar menjadi Rp 5.500 per liter. “Harga tersebut berlaku serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia terhitung sejak tanggal 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Demikian pengumuman ini untuk diketahui dan dilaksanakan,” ujar Wacik dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (21/6) malam (republika.co.id). Padahal, menurut hasil survey Lembaga Survey Nasional (LSN) pada 2 Juni lalu menunjukkan mayoritas rakyat Indonesia menolak kenaikan harga BBM. LSN mencatat 86,1 % atau mayoritas publik menolak kenaikan harga BBM. Hanya 12,4% yang menyatakan setuju. Sedangkan sisanya 1,5% responden menyatakan tidak tahu. Siapapun tahu, kenaikan harga BBM akan semakin membebani ekonomi masyarakat. Naiknya harga BBM secara otomatis akan mendongkrak kenaikan harga seluruh barang dan jasa. Alhasil, daya  beli masyarakat menjadi turun dan angka kemiskinan semakin meningkat. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, jumlah orang miskin setelah kenaikan BBM akan menjadi 30,250juta orang. Sebelumnya tanpa kenaikan harga BBM, tahun 2013 diprediksi angka kemiskinan hanya 26,250 juta. Jadi, akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah orang miskin baru mencapai 4 juta jiwa (Al Islam 662/Kompas.com).
 
Pemerintahan SBY-Boediono dan anggota DPR khususnya dari partai koalisi kerap berdalih bahwa kenaikan harga BBM membebani APBN 2013 dan tidak tepat sasaran. Sehingga, subsidi perlu di cabut dan dialihkan ke sektor sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain lain.
 
Sepintas, alasan ini cukup masuk akal meski masih bisa diperdebatkan. Subsidi BBM dalam APBN 2013 memang terbilang besar yakni mencapai 193 triliun. Bahkan bila memasukkan energi listrik, yang di dalamnya juga ada subsidi untuk BBM, total akan mencapai Rp 274,7 triliun. Namun bisa membengkak menjadi Rp 300 triliun karena kuota 40 juta kilo liter dipastikan akan terlampaui. Namun, harus diingat bahwa subsidi sebesar itu diperuntukkan bagi 250 juta rakyat Indonesia. Persoalannya, jika subsidi BBM bagi  rakyat  dianggap salah sasaran, mengapa pemerintah dan atas persetujuan DPR justru bersepakat memberikan subsidi dengan total Rp7,355 triliun kepada seorang konglomerat besar untuk penanggulangan lumpur Lapindo di porong sidoarjo.  Hal ini tercantum dalam pasal 9 APBN P 2013 yang menganggarkan tambahan subsidi sebsar Rp155 miliar untuk penanggulangan lumpur Lapindo.
 
Sungguh kejam. Seorang pengusaha yang masuk 40 orang terkaya di Indonesia mendapat subsidi yang hampir menyamai anggaran untuk BLSM. Hebatnya lagi, pemerintah beserta anggota dewan tidak pernah mengatakan bantuan tersebut salah sasaran atau membebani APBN. Sementara subsidi BBM tega dihapuskan meski  menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi mayoritas rakyat.
 
Realitas politik dalam panggung drama BBM semakin menunjukkan bahwa DPR tak pantas menyandang predikat Dewan Perwakilan Rakyat. DPR lebih layak disebut sebagai Dewan Pendusta Rakyat. Julukan ini tidak berlebihan. Sebab, dukungan atas kenaikan harga BBM berpijak di atas kedustaan dan bertentangan dengan aspirasi mayoritas publik. Di sinyalir, dukungan atas kenaikan harga BBM merupakan kompensasi politik atas dukungan Golkar kepada Demokrat. Dengan jumlah kursi yang signifikan, Golkar memiliki nilai tawar sebagai “penentu” setiap kebijakan yang ingin diloloskan oleh pemerintah atau partai koalisi termasuk rencana kenaikan BBM dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp9,3 triliun.
 
Dugaan ini bukan isapan jempol dan dibenarkan oleh politisi PDIP. “Kita bisa menyampaikan dugaan. Tapi korelasinya pasti ada,” kata anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/6/2013).
 
Bisa dikatakan slogan suara rakyat suara tuhan menjadi terasa hambar dan terdengar sumbang karena tidak pernah bisa terwujud. Dalam kenyataannya, anggota dewan bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil konglomerat yang berada dalam lingkaran partai. Suara rakyat hanyalah pemanis di bibir ketika kampanye dan segera dilupakan ketika sudah terpilih. Jangan heran jika aspirasi apapun yang disuarakan rakyat dengan mudah terabaikan jika bertentangan dengan kehendak partai/kelompok penguasa. Inilah wajah buruk demokrasi yang sejatinya tidak rasional dan tidak berpijak pada kebenaran hakiki. Tengok saja, ketika loby-loby antar partai jelang keputusan kenaikan BBM dalam rapat paripurna menemui jalan buntu, DPR terpaksa memutuskan untuk menyetujui kenaikan BBM lewat mekanisme voting (berdasarkan suara terbanyak). Dalam voting, yang menentukan benar salah bukan pada kekuatan argumentasi, namun semata mata melihat jumlah suara. Ketika hasil voting menunjukkan mayoritas anggota DPR setuju, seolah olah kebijakan kenaikan BBM dinilai paling tepat dan paling benar. Padahal, keputusan tersebut salah besar karena masih ada solusi konstitusional yang bisa diambil tanpa menaikkan harga BBM seperti penghematan anggaran birokrasi sebesar 10 %.
 
Benar apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Iqbal, seorang intelektual Pakistan yang mengatakan “Demokrasi hanya menghitung jumlah kepala, tapi tidak memperhitungkan isi kepala (pemikiran)!” Kalau mau jujur, demokrasi tidak perlu diperbaiki dan tidak perlu diluruskan karena sudah cacat sejak lahir. Bukankah demokrasi sejak awal mengklaim suara rakyat sebagai sebuah kebenaran mutlak. Bukankah benar salah boleh tidak segala sesuatu ditentukan berdasarkan suara mayoritas, bukan Al Quran dan As Sunnah (halal-haram). Termasuk bukankah seorang penjahat atau koruptor sekalipun tetap bisa menjadi seorang pemimpin daerah seperti dalam pemilukada asalkan mengantongi suara mayoritas rakyat. Penulis sependapat dengan Intelektual muslim ideologis Farid Wadjdi yang menegaskan bahwa umat tidak butuh negara demokrasi. Sebab, siapapun berpikir sehat, apalagi di dasarkan kepada aqidah Islam, akan menyimpulkan, kita tidak butuh sistem demokrasi yang kufur dan merusak ini ! Yang kita butuhkan adalah sistem Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Dengan itu kita akan mendapatkan keridhoan Allah SWT, kebaikan di dunia maupun di akhirat.  Wallahualam biasshowab [Abu Nasir, Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kotawaringin Barat, Kalteng (Borneonews, 24/6)]

Posting Komentar untuk "DPR: Dewan Pendusta Rakyat"

close