Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Drama BBM, Wajah Buruk Demokrasi

Kembali Demokrasi menampakkan wajah aslinya yang mengerikan. Dalam voting pada senin malam (17/6) jumlah yang pro RAPBN-P 2013 menang mutlak 338 suara . Sementara yang kontra 181 suara. Ini berarti pemerintah tidak lagi memiliki halangan untuk menaikkan harga BBM.

Mengerikan, bagaimana mungkin kebijakan yang akan sangat mempengaruhi nasib rakyat, ditentukan dengan voting . Itupun dalam suasana yang penuh canda, lelucon, dan celetukan-celetukan yang tidak lucu dari wakil rakyat yang lembaganya kerap mendapat gelar lembaga korup itu.

Padahal apapun argumentasi mereka yang menaikkan BBM, kebijakan ini pasti akan menambah penderitaan rakyat. Selama ini tidak pernah terbukti,kenaikan BBM, membuat rakyat lebih sejahtera, pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat semakin baik. Tidak pernah terbukti. Yang terjadi adalah sebaliknya.

Ketika voting yang menentukan, kita juga mempertanyakan, apa relevansinya argumentasi pro dan kontra yang diajukan oleh masing-masing pihak ? Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Iqbal, pemikir Pakistan, saat mengkritik demokrasi. “Demokrasi hanya menghitung jumlah kepala, tapi tidak memperhitungkan isi kepala (pemikiran)!”

Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat sebagai penglima juga tidak terbukti. Rakyat banyak sesungguhnya tidak pernah dilibatkan apalagi menjadi penentu dalam pengambilan keputusan ini. Yang mentukan adalah anggota DPR yang dikontrol oleh pemilik modal, yang mengklaim wakil rakyat, bertindak atas nama rakyat, namun bukan untuk kepentingan rakyat. Yang diuntungkan dalam kebijakan ini jelas-jelas adalah para pemilik modal yang bermain dalam bisnis minyak ini baik di hulu maupun di hilir.

Rakyat nyaris tidak pernah ditanya, apakah mereka setuju atau tidak. Suara-suara rakyat justru diabaikan atau dibungkam. Yang ada adalah kampanye sepihak penguasa yang terus menyebarkan kebohongan tentang pentingnya kenaikan BBM ini. Hasil survey Lembaga Survei Nasional (LSN), dimana sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu, tentu tidak diperhitungkan sama sekali.

Seperti yang ditulis peraih hadiah nobel ekonomi, Josep Stiglitz ketika mengkritik kondisi politik ekonomi Amerika, yang terjadi bukanlah dari rakyat, oleh rakyat , dan untuk rakyat. Namun Of the 1 %, by the 1%, for 1 %. Menurut Stigliz apa yang terjadi dalam proses politik demokrasi Amerika sepenuhnya dikendalikan oleh sekelompok kecil orang , yakni 1 % dari orang-orang superkaya, yang menggunakan pengaruh politik mereka untuk memastikan bahwa ekonomi Amerika diatur sedemikian rupa sehingga mereka (para pemilik modal yang 1 % itu) merupakan penerima manfaat yang utama.

Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Kebijakan ini tidak lain untuk melayani kepentingan segelintir pemilik modal terutama asing dengan komprador lokalnya. Kenaikan harga BBM ini tidak lain merupakan kepatuhan total terhadap merupakan amanat Letter of Intens (LoI) International Monetary Fund (IMF). IMF mewajibkan Indonesia menghapuskan subsidi BBM. Walhasil pangkal masalahnya adalah kebijakan liberalisasi migas yang dilegalkan oleh UU pro liberal yang merupakan produk demokrasi.

Menaikkan BBM meskipun menyengsarakan rakyat, merupakan kepatuhan rezim SBY sebagai anggota G20. Dalam forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), proposal penghapusan subdisi BBM makin gencar disuarakan. Di Pittsburgh, G20 memaksa negara anggotanya, termasuk Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.

Dalam sistem demokrasi, rakyat justru selalu dikorbankan lewat kebijakan yang mengatasnamakan rakyat. Memang setiap kebijakan politik pastilah beresiko, yang kita pertanyakan kenapa rezim demokratis ini selalu memilih resiko yang membuat rakyat menderita. Kalaupun kekurangan dana , kenapa pemerintah tidak mengambil alih pengelolaan tambang-tambang emas, minyak, batu-bara, yang sebagian besar dikuasai oleh asing ?

Kenapa SBY tidak melakukan penghematan anggaran mulai dari diri dan birokratnya terlebih dahulu. Pemborosan anggaran justru banyak dilakukan oleh pejabat negara : gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun (tertinggi ketiga di dunia); anggaran perjalanan dinas para pejabat negara Rp 21 trilun.

Menurut FITRA, Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Sementara anggaran furniture Istana Negara mencapai Rp 42 miliar setiap tahunnya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar Rp52 milyar. Ini menunjukkan tidak ada memori kepentingan rakyat dalam benak rezim SBY !

Dengan mengembalikan kepemilikan tambang-tambang ini kepada rakyat, dan menggunakan keuntungannya sepenuhnya untuk rakyat, pemerintah akan bisa mengatasi banyak persoalan kekurangan dana di Indonesia. Kenapa pemerintah justru lebih takut kepada IMF dan Bank Dunia, dibanding kepada rakyat ?

Bukti bahwa rezim SBY lebih melayani negara-negara Barat imperialis, bisa dilihat ketika rezim ini menyetorkan dana 38,1 trilyun kepada IMF untuk menyelamatkan kebangkrutan negara-negara Barat. Ironisnya, untuk obat atas kenaikan BBM pemerintah hanya memberikan kompensasi sebesar 9,3 trilyun untuk rakyat.

Bukti lain rezim SBY melayani segelintir elit pemilik modal, Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 155 miliar untuk penanggulangan bencana Lumpur Lapindo, di Jawa Timur. Hal itu terungkap dalam Pasal 9 Rancangan Undang-Undang (RUU) Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Padahal bencana Lapindo ulah pengusaha yang rakus yang masih kaya raya hingga kini. Bisa jadi ini merupakan kompensasi dari dukungan partai tertentu terhadap kenaikan BBM.

Kita kembali teringat apa yang disebutkan oleh Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nida’ul Har (Seruan Hangat), tentang penyebab terjadinya tragedi di dunia Islam. Pendiri Hizbut Tahrir ini menegaskan: “Sesungguhnya umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama, penguasa mereka menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua, di tengah mereka diterapkan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.”

Hal ini tampak jelas di Indonesia. Munculnya kebijakan yang merugikan rakyat seperti ini tidak lain disebabkan karena keberadaan rezim penguasa, yang menjadi boneka negara-negara imperialis. Membebek dan tunduk terhadap tekanan penguasa kafir penjajah melalui organ-organ penjajahan mereka seperti IMF dan Bank Dunia. Rezim penguasa dengan dukungan menteri-menteri pro liberal, anggota parlemen yang korup, lebih memilih melayani kepentingan asing dari pada rakyat mereka sendiri.

Namun semua ini bisa berlangsung karena ada sistem politik dan ekonomi yang melegalkannya. Yaitu sistem demokrasi dan ekonomi kapatalis yang diterapkan di Indonesia.

Karena itu perubahan nyata akan terjadi, berbagai derita rakyat akan bisa dihilangkan, kalau dua penyebab ini dihentikan. Pertama dengan mengganti sistem kufur demokrasi dengan sistem negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara totalitas . Dan yang kedua adalah mengganti penguasa-penguasa boneka di negeri Islam dengan penguasa (Kholifah) yang amanah dan melayani kepentingan rakyat. Inilah yang harus menjadi agenda bersama perjuangan umat.

Terakhir, kita mengingatkan kepada rezim SBY, doa Rosulullah bagi penguasa yang mendzolimi rakyatnya sendiri. Ya Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/susahkan dia; dan barang siapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dia dengan baik. (HR Ahmad dan Muslim).Allahu Akbar [
Farid Wadjdi]

Posting Komentar untuk "Drama BBM, Wajah Buruk Demokrasi"

close