Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tiga Opsi Pengelolaan BBM Dalam Khilafah

Rencana pemerintah SBY menaikkan harga BBM jenis premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 dengan argumen untuk menyelamatkan APBN, karena jika tidak dinaikkan, konon APBN akan jebol, sebenarnya mencerminkan dua hal: Pertama, kemalasan berpikir pemerintah untuk mencari solusi yang tepat dan tidak menyengsarakan rakyat. Kedua, ketundukan pada asing, khususnya negara-negara kafir penjajah.


Kemalasan berpikir dan ketundukan pemerintah pada asing ini tampak dari kebijakan pemerintah yang mengandalkan pendapatan negara melalui sektor pajak, yang mencapai lebih dari 80 persen. Pendapatan yang nota bene mengandalkan “santunan” rakyatnya sendiri. Sementara, kekayaan alam yang melimpah, tetap saja dibiarkan dalam cengkraman swasta, baik asing maupun domestik. Bahkan, 90% kekayaan migas telah dikuasai oleh asing. Dari sumber yang terakhir ini, negara hanya mendapatkan “tetesan air liur” saja.


Lagi-lagi, karena kemalasan berpikir dan ketundukan pada asing ini, dengan seenaknya pemerintah mencari tambahan pendapatan dari kenaikan harga BBM. Sekali lagi, rakyat yang harus menanggung beban seumur hidup. Sudah begitu, mereka masih dipalak dengan membayar pajak. Ironisnya, dengan tega pemerintah menipu rakyatnya dengan mengatakan, bahwa subsidi BBM hanya dinikmati orang kaya, atau jika subsidi dipertahankan, maka APBN akan jebol.


Jika saja mereka tidak malas berpikir dan tunduk pada asing, maka mereka bisa menemukan solusi. Karena solusi itu sudah dituangkan Hizbut Tahrir dalam kitab al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum. Solusi yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir kepada umat, dan akan diterapkan oleh negara Khilafah, yang tidak lama lagi akan berdiri dengan izin dan pertolongan Allah.


BBM merupakan harta milik umum. Karena harta milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum Muslim, dan merupakan barang yang dibutuhkan semua orang, maka setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta tersebut dan pendapatannya. Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah rakyat tersebut laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, orang shalih, jahat atau kaya dan miskin. Semuanya mempunyai hak yang sama. Karena ini merupakan harta milik mereka, dan mereka butuhkan.


Hanya saja, harus dicatat, bahwa dalam pemanfaatan harta milik umum tidak semuanya sama. Karena ada yang bisa dimanfaatkan oleh manusia, baik langsung maupun dengan alat tertentu. Namun, ada pula yang tidak bisa dimanfaatkan secara langung.

Jenis pertama, seperti air, padang rumput, api, jalan umum, laut, sungai, danau dan terusan (kanal). Semuanya ini bisa dimanfaatkan secara langsung. Air, padang rumput maupun api bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat, baik untuk kebutuhannya sendiri, atau memanfatkan sumur, mata air dan sungai untuk diambil airnya dan dialirkan untuk hewan serta ternaknya. Para penggembala juga bisa menggembalakan hewan dan ternaknya di padang rumput. Pengumpul kayu juga bisa mengambil kayu di hutan.


Seseorang bisa saja memasang alat (hidran) pengatur air di sungai yang besar untuk menyirami tanaman dan pohon-ponon miliknya. Karena sungai yang besar itu terbuka bagi semua orang, sehingga pemasangan alat-alat di atasnya tidak akan membahayakan siapapun dari kaum Muslim. Tiap orang bisa memanfaatkan jalan umum, laut, sungai dan kanal.


Jenis kedua dari harta milik umum adalah barang yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, membutuhkan upaya dan biaya untuk mengeluarkannya, seperti minyak, gas dan barang-barang tambang lainnya. Karena itu, negaralah yang mengambil alih tanggung jawab eksploitasinya, mewakili kaum Muslim. Hasilnya disimpan di Baitul Mal kaum Muslim. Khalifahlah yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin oleh hukum-hukum syara’. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.



Distribusi dan pembagian hasil dari barang tambang dan pendapatan milik umum tersebut bisa dilakukan untuk:


Pertama, membiayai kebutuhan yang berhubungan dengan hak milik umum, seperti: Pos hak milik umum, bangunan, kantor, catatan, sistem pengawasan dan pegawainya. Para peneliti, penasihat, teknisi, pegawai, orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk melakukan penelitian dan penemuan, eksplorasi minyak bumi, gas, barang tambang dan dana untuk eksplorasinya, untuk produksi dan proses penyelesaiannya hingga membuatnya layak untuk digunakan, juga untuk orang-orang yang memberikan jasanya menemukan sumber dan penyalurannya, untuk pembangkit listrik dan jaringan kawatnya.
Membeli berbagai peralatan dan membangun industri, pemboran dan penyulingan minyak bumi dan gas, pemisah dan pembersih bijih-bijih barang tambang, pemrosesan barang-barang tambang hingga layak digunakan. Juga digunakan untuk membeli alat dan industri yang biasa dipakai pada industri milik umum, dan proses pemanfaatannya.

Untuk alat-alat yang bisa mengeluarkan air, memompa dan untuk pipa-pipa salurannya. Pembangkit listrik, gardu, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya. Untuk membeli kereta api dan trem listrik, dan sebagainya. Seluruh pengeluaran ini berkaitan dengan hak milik umum, termasuk menejemen dan pemanfaatannya. Karena itu biayanya menggunakan pendapatan dari harta milik umum. Ini sama dengan upah untuk para pengelola zakat yang berasal dari harta zakat itu sendiri, sebagaimana firman Allah, “Dan untuk para amilnya.” (TQS. at-Taubah [9]: 60). Allah SWT telah menetapkan bagian mereka dari zakat sesuai dengan jasa mereka dalam melaksanakan tugasnya.


Kedua, dibagikan kepada individu rakyat, yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan harta milik umum seperti air, listrik, minyak bumi, gas dan segala sesuatu yang diperlukan kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka, secara gratis.


Namun, bisa saja Khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya, atau mengikuti harga pasar. Khalifah juga bisa membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum ini kepada mereka. Semua kebijakan tadi ditetapkan dan diambil dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat negara Khilafah.


Dari uraian di atas, maka BBM jelas merupakan harta milik umum, yang tidak bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat, karena harus dieksploitasi dan dieksplorasi hingga bisa dimanfaatkan. Semuanya ini membutuhkan investasi dan biaya yang besar. Karena itu, negaralah yang harus mengambilalih tanggung jawab tersebut. Negara juga tidak boleh memprivatisasi harta milik umum ini kepada siapapun, baik swasta asing maupun domestik.


Hasil dari pengelolaan BBM ini, selain untuk membiayai biaya produksi, termasuk infrastruktur yang dibutuhkan, juga bisa didistribusikan langsung kepada rakyat secara gratis. Ini opsi yang pertama. Opsi kedua, negara Khilafah bisa saja juga menjual BBM ini kepada rakyat dengan harga semurah-murahnya, atau mengikuti harga pasar. Opsi ketiga, negara Khilafah bisa juga membagikan hasil keuntungan harta milik umum ini kepada mereka, tidak dalam bentuk materinya, tetapi dalam bentuk uang.


Semua kebijakan tadi ditetapkan dan diambil dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat negara Khilafah. Inilah kebijakan yang akan diterapkan oleh Negara Khilafah. Mengenai kalkulasi besaran angkanya, bisa ditelaah lebih jauh dalam buku yang penulis edit, Membangun Indonesia tanpa Pajak dan Utang. Wallahu a’lam. [Hafidz Abdurrahman]

Posting Komentar untuk "Tiga Opsi Pengelolaan BBM Dalam Khilafah"

close