Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Paradoks ‪Demokrasi‬ : Menang Tapi Harus Kalah

Tentara sekali lagi membuktikan mereka adalah kekuatan nyata di negeri itu. Tidak berubah.

Boleh jadi mantan Presiden Mesir Husni Mubarak tertawa di dalam penjara. Penggantinya Muhammad Mursi tak bisa berbuat banyak atas krisis yang melanda negeri itu. Bahkan di tengah rakyat yang berunjuk rasa menuntut pemilu, foto-foto Husni Mubarak justru diangkat-angkat.

Umur pemerintahan Mursi hanya satu tahun. Bayi demokrasi yang lahir setelah rezim diktator berkuasa selama puluhan tahun ini tak mampu menghadapi ganasnya militer. Hampir mirip nasibnya dengan FIS di Aljazair, Ikhwanul Muslimin yang baru merasakan kekuasaan harus tumbang di tangan tentara.

Surat kabar Mesir 'Shurooq' melaporkan dalam edisi 4 Juli berita bahwa Menlu Jerman Guido Westerwelle mengatakan: "Pelengseran Presiden Muhammad Mursi oleh tentara Mesir pada hari Rabu kemarin merupakan kegagalan besar demokrasi" Ia melanjutkan dengan mengatakan kepada pers dalam kunjungannya ke Yunani: 'Ini adalah kegagalan besar demokrasi di Mesir' sambil menambahkan: "Kembalinya Mesir secepat mungkin ke dalam sistem konstitusional merupakan hal yang mendesak dan terdapat bahaya yang nyata dalam hal kerentanan transisi demokratis di Mesir"

Anehnya, Amerika Serikat tak mengecam aksi menumbangkan demokrasi itu. Bahkan untuk menyebut 'kudeta militer' saja, Presiden Barack Obama tak berani. Padahal Amerika pula yang ada di balik demokratisasi Mesir seperti yang terjadi saat ini.

Kurang demokratis apa Mesir ini? Februari 2013 lalu, Obama menelpon Mursi. Presiden AS Barack Obama meminta Presiden Mesir Muhammad Mursi untuk melindungi prinsip-prinsip demokrasi di Mesir, dan bekerja untuk mencapai konsensus politik, dengan kesiapan untuk melakukan pemilihan parlemen. Gedung Putih mengatakan bahwa "Presiden menyambut baik komitmen Mursi untuk menjadi presiden bagi semua rakyat Mesir, termasuk perempuan dan pengikut dari semua agama. Bahkan ia menekankan tanggung jawab Mursi Presiden untuk melindungi prinsip-prinsip demokrasi, di mana rakyat Mesir telah berjuang untuk mewujudkannya"

Prinsip demokrasi 'the winner take all' (pemenang mendapatkan/menentukan semua) pun tak berlaku. Meski Ikhwanul Muslimin jadi pemenang, mereka tak mendapatkan haknya sesuai prinsip demokrasi. Amerika menginginkan pemerintahan yang disusun tetap saja harus memenuhi kehendak Amerika. Lalu di mana letak demokrasinya.

Tak salah jika Muhammad Ali bin Salim, anggota Kantor Media Hizbut Tahrir Tunisia, menyebutnya sebagai 'kebohongan demokrasi’. "Siapapun yang memiliki mata, demokrasi adalah suatu dewa palsu yang menawarkan permen yang akan dimakan Barat jika mereka merasa lapar.

Tetap Militer

Bagi Amerika, demokrasi atau bukan demokrasi, bukan hal yang penting. Yang terpenting adalah apakah negara itu tetap mau menjadi jongos Amerika atau tidak. Sedikit saja nakal, Amerika bisa berbuat apa saja. Makanya Amerika tak menyalahkan militer Mesir ketika melanggar prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Militer Mesir adalah mitra utama Amerika di negeri itu. Bukan hanya saat ini tapi sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan dominasi militer itu tidak pernah bergeser, bahkan setelah Husni Mubarak lengser.

Tentara Mesir mengambil alih kekuasaan pada bulan Juli 1952 melalui sebuah kudeta yang didukung Amerika untuk menggulingkan boneka Raja Faruq, yang merupakan boneka Inggris. Proyek CIA telah digambarkan oleh Miles Copeland, seorang agen CIA, pada tahun 1970 dalam bukunya 'The Game of Nations', dan kemudian dalam memoarnya pada tahun 1989, "The Game of Player"

Gerakan Perwira Merdeka (Free Officers Movement), yang merupakan sekelompok perwira militer yang umumnya masih muda, membentuk sistem politik baru yang menjauhkan militer menjadi institusi paling terorganisir dan paling penting di negeri tersebut.

Kekalahan Israel dalam perang enam hari tahun 1967 memunculkan keputusan militer untuk menjauhkan diri dari pemerintahan harian, sambil menjaga agar kebijakan luar negeri, pertahanan dan anggaran nasional secara tegas tetap di bawah kendalinya. Sampai saat ini, promosi untuk jajaran senior militer dilakukan setelah pemeriksaan yang ketat dari kecenderungan politik dan kecenderungan Islam.

Saat ini, militer Mesir merupakan kekuatan terbesar di Afrika dan Timur Tengah, serta merupakan tentara terbesar ke-10 di dunia. Militer terlibat dalam Organisasi Proyek Pelayanan Nasional Mesir untuk pengembangan industri yang mendominasi perekonomian Mesir melalui berbagai usaha patungan baik dengan perusahaan manufaktur domestik maupun internasional.

Militer juga bergerak di sektor industri dan jasa, termasuk senjata, elektronik, produk konsumen, pembangunan infrastruktur, agribisnis, penerbangan, pariwisata dan keamanan. Demikian pula sebagian besar gubernur daerah di Mesir adalah para pensiunan perwira tentara. Banyak institusi sipil yang besar dan perusahaan-perusahaan di sektor publik yang dijalankan oleh para mantan jenderal. Tiga otoritas pengembangan lahan negara (pertanian, perkotaan dan pariwisata) dipimpin oleh para mantan perwira militer. Tentara sangat terlibat dalam perekonomian nasional. Menurut beberapa perkiraan, sebanyak 40 persen perekonomian Mesir dikendalikan oleh militer. Walhasil,sangat wajar jika mereka punya alasan yang jelas untuk mempertahankan po¬sisi tersebut.

Lebih dari itu, militer Mesir telah memainkan peran sentral dalam melindungi kepentingan AS di wilayah tersebut. Sejak kudeta militer pada tahun 1952, AS telah memanjakan militer Mesir dengan bantuan lebih dari 30 milyar dolar AS.

Pemimpin kudeta Mesir saat ini, Abdel Fattah al-Sisi, adalah alumnis US Army War College di Pennsylvania. Sedangkan Kepala Angkatan Udara Mesir, Reda Mahmoud Hafez Mohamed, melakukan tur di Amerika Serikat sebagai pejabat penghubung. Lebih dari 500 perwira militer Mesir mendapat pelatihan dan lulusan di sekolah militer Amerika setiap tahun. Bahkan ada rumah khusus di barat laut Washington, DC. Para pejabat militer Mesir yang berkunjung di sana dapat tinggal ketika berada di ibukota Amerika. Militer pulalah yang menjadi penjamin bagi keberadaan Israel.

Peran militer di Mesir telah memastikan tidak ada lembaga saingan lainnyalang pernah bisa berkembang. Pemecatan yang dilakukan mantan Presiden Mursi terhadap dua jenderal militer di awal masa kepresidenannya, dipandang sebagai langkah berani yang menegaskan posisinya sebagai pemimpin tertinggi angkatan bersenjata. Tetapi faktanya, Mursi tidak benar-benar mengambil kendali militer.

Jadi meskipun menang secara demokratis, Ikhwanul Muslimin tidak pernah memiliki kekuatan nyata, karena mereka tidak pernah mengubah realitas politik ini. Tentara Mesir tetap berkuasa dalam arti sebenarnya di semua sektor. [Adnan Khan]

Posting Komentar untuk "Paradoks ‪Demokrasi‬ : Menang Tapi Harus Kalah"

close