Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Australia, Indonesia, dan Gerakan Islam di Bawah PM Tony Abbott [1]

Terpilihnya Tony Abbott sebagai PM baru Australia sepertinya tidak akan membawa perubahan berarti dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia. Pemimpin konservatif Australia, Tony Abbott, menduduki kursi perdana menteri setelah koalisinya menang besar dalam pemilihan umum yang digelar Sabtu (7/9/2013). Abbott, yang mantan petinju dan pernah menjalani pendidikan sebagai calon pastor, berjanji akan mengembalikan stabilitas politik, memotong pajak, dan mengatasi masalah pencari suaka.

Sebagai sebuah negara yang berideologi Kapitalis, penjajahan (al isti’mar) tetap merupakan metode baku (thoriqoh) politik luar negeri Australia. Penjajahan dalam berbagai bentuk baik ekonomi, politik, militer, maupun budaya. Karena itu, politik luar negeri Australia, tidak akan berubah secara signifikan, sebagai negara-negara Barat lainnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan selamat atas kemenangan Tony Abbott sebagai perdana menteri terpilih Australia dan berharap kerja sama kedua negara dapat terus meningkat di masa datang.

Seperti yang disampaikan Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah Selasa (10/9) dalam komunikasi yang pertama kali ini, PM Abbott menyatakan keyakinannya kedua negara dapat membangun kerja sama yang sangat baik dan menggarisbawahi bahwa Australia dalam pandangannya merupakan mitra terpercaya Indonesia.

Faiza menilai sekalipun terjadi perubahan kepemimpinan di Australia namun secara umum dinilainya tidak ada perubahan kebijakan politik antara kedua negara mengingat hubungan kedua negara dibangun dengan pondasi kerangka kerja sama yang telah disepakati bersama oleh kedua negara.

Tidak Ada Perubahan yang Signifikan

Secara politik, Australia akan berusaha keras menjaga Indonesia tetap sebagai sebuah negera yang sekuler, demokratis, yang menjunjung nilai-nilai HAM dan Pluralisme. Selama Indonesia tetap sebagai sebuah negara sekuler dengan berideologi Kapitalis, kepentingan-kepentingan penjajahan Barat termasuk Australia akan tetap terjaga.

Sebaliknya, Australia akan berusaha keras – menjadi mitra Barat- sejati di regional Asia-Pasifik untuk mencegah berdirinya negara Islam atau pemerintahan Islam di kawasan ini. Dalam hal ini yang paling dikhawatirkan Australia adalah Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negeri yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa, secara geo-politik sangat strategis dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.

Dalam hal ini Tony Abbott akan melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya dengan melakukan dua pendekatan : hard power dan soft power. Lewat pendekatan lembut (soft power) , pemerintah Australia akan bekerjasama dengan kelompok-kelompok sekuler liberal dan yang mereka sebut sebagai kelompok ‘Islam moderat dan Liberal’.  Australiapun akan melanjutkan program-program untuk memoderatkan, atau meliberalisasi, pehaman umat Islam Indonesia.

Bagi Australia, kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang mereka cap sebagai ekstrimis dan radikal sangat mengancam kestabilan politik negara itu dan kawasan regional sekitarnya. Bahkan Islam garis keras-julukan bagi kelompok yang menginginkan syariah Islam, negara Islam atau Khilafah- dianggap jauh lebih berbahaya dibanding terorisme.

Harian The Australian (7/07/2011), dalam artikel berjudul, “Hardline Islam a Bigger Threat than Terrorists,” dengan tegas meminta pemerintah Australia untuk memperluas bantuan reformasi pendidikan Islam di Indonesia, Istilah reformasi digunakan sang penulis Tim Lindsey, untuk menutupi maksud sebenarnya, yakni mengembangkan pemahaman terhadap Islam ala liberal.

Tujuan proglam liberalisasi ini adalah mempersempit Islam hanya sebatas ritual, moralitas dan individual. Adapun syariah Islam yang kaffah dalam sistem ekonomi, politik, pendidikan yang akan diterapkan Negara Islam dianggap sebagaipemikiran garis keras yang berbahaya. Bagi negara-negara Barat penegakan syariah Islam oleh negara akan mengancam kepentingan penjajahan mereka di Dunia Islam termasuk Indonesia.

Dalam artikel itu, penulis memuji keberhasilan Indonesia dalam menangani kelompok yang mereka klaim sebagai teroris-teroris Islam. Namun, menurut Tim Lindsey di Indonesia terdapat organisasi-organisasi Islam lain yang jauh berbahaya, yaitu kelompok garis keras. Menurut dia, kelompok-kelompok garis keras ini memiliki taktik yang berbeda, namun memiliki tujuan bersama menegakkan Islam yang dia sebut dengan konservatif. Perlu dicatat, istilah konservatif sering dilabelkan oleh penulis Barat terhadap Islam yang mewajibkan penerapan syariah Islam.

Untuk membendung hal ini, menurut Lindsey, Australia harus memperluas bantuan luar negerinya (AusAID), terutama untuk reformasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Sekolah-sekolah Islam (madrasah dan pesantren) merupakan hampir sepertiga sektor pendidikan. Sekolah-sekolah Islam itu biasanya miskin dan merekalah yang paling berat terkena penurunan sektoral secara keseluruhan. Hal ini telah berkontribusi pada peningkatan pengaruh Islam garis keras. Masih menurut Lindsey, Program Pendidikan Dasar AusAID, selain membantu secara fisik 2000 sekolah negeri, juga menawarkan ide-ide alternatif atas pemikiran-pemikiran konservatif yang diajarkan di banyak pesantren....[Bersambung...]

Posting Komentar untuk "Hubungan Australia, Indonesia, dan Gerakan Islam di Bawah PM Tony Abbott [1]"

close