Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mewujudkan Swasembada dan Kestabilan Harga Pangan

Lonjakan harga kedelai sudah terjadi sejak 1998, lalu tahun 2008, 2012 hingga sekarang. Meski berulang, Pemerintah gagal menstabilkannya. Para pengrajin tahu-tempe pun mogok produksi Senin-Rabu lalu sebagai bentuk protes.

Kebijakan Memble, Rakyat Jadi Korban

Pihak yang jadi korban adalah rakyat kecil. Pengrajin tahu-tempe menjadi pihak pertama yang terkena dampak.

Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, di seluruh Indonesia ada 114.575 perajin dengan tenaga kerja sebanyak 1,5 juta. Sebanyak 20% yakni 300.000 pekerja sudah dirumahkan. Para perajin tahu dan tempe juga memangkas produksi hingga 50%. Bahkan 10% dari 114.575 perajin tahu dan tempe itu, sudah menghentikan produksinya. (detikFinance, 2/9/2013).

Dampak yang lebih luas dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Selama ini tahu-tempe menjadi sumber protein terjangkau bagi rakyat. Dengan lonjakan harga yang terjadi, rakyat lebih sulit memenuhi sumber protein. Jika ini terjadi jangka panjang, tentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat.

Akar Masalah: Kebijakan ala Kapitalisme Liberal

Penyebab gejolak harga kedelai (dan bahan pangan lainnya) adalah sama: produksi dalam negeri rendah/tidak cukup dan kegagalan pemerintah menjaga kestabilan harga.

Hingga tahun 1998 harga kedelai cukup stabil. Keadaan berubah pasca reformasi 1998, sejak Pemerintah tunduk kepada IMF. Subsidi di bidang pertanian dikurangi, pembangunan pertanian melambat, liberalisasi pasar diberlakukan dan peran Bulog dikebiri.

Akibatnya, produksi kedelai terus mengalami penurunan. Akibat pengurangan subsidi, berbagai fasilitas dan dukungan kepada petani makin kecil bahkan hilang, biaya produksi terus naik. Teknologi dan teknik budidaya tidak mengalami kemajuan sehingga produktivitas tidak naik, bahkan turun. Pada saat yang sama, kran impor dibuka lebar-lebar, sehingga kedelai impor pun membanjiri pasar dalam negeri. Menanam kedelai tidak lagi menarik dan menguntungkan bagi petani. Akibatnya produksi kedelai turun drastis. Pada saat swasembada tahun 1992, produksi kedelai mencapai 1,87 juta ton dari luas lahan sekitar 1,8 juta hektar. Jumlah itu terus menyusut dan kini hanya sekitar 600 ribu hektar dengan produksi 700-800 ribu ton. Sementara, kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 2,5 juta ton. Kurangnya, sekitar 1,8 juta ton dipenuhi dari impor.

Program Swasembada: Isapan Jempol

Program swasembada kedelai dicanangkan 2009 dengan harapan tercapai tahun 2014. Namun agaknya hanya akan menjadi isapan jempol. Untuk swasembada diperlukan tambahan lahan hingga 500 ribu hektar. Saat ini menurut Kementerian Pertanian yang terealisasi baru 80 ribu hektar.

Potensi perluasan lahan memang ada. Data BPN ada sekitar 7,2 juta hektar lahan terlantar, dan 2,1 juta hektar di antaranya layak untuk pertanian. Masalahnya, lahan itu dikuasai banyak pihak dan di bawah kewenangan departemen lain. Instrumen hukum untuk memaksa lahan terlantar itu agar bisa dihidupkan tidak ada. Koordinasi antar lembaga dan instansi juga lemah, bahkan justru jadi bagian dari problem. Semua itu, masih ditambah tidak adanya keberpihakan yang jelas dan tidak ada peningkatan dukungan dan fasilitas kepada petani.

Permainan Kartel

Lonjakan harga kedelai saat ini bukan karena kenaikan harga internasional. Menurut direktur INDEF Enny Sri Hartati (10/9), data FAO dan Departemen Perdagangan Amerika Serikat menunjukkan tren harga kedelai justru menurun. Pada Juli 2013 harga USD 577 per ton, dan memasuki Agustus, harga menjadi USD 523 per ton. Aneh, harga di pasar internasional turun, harga di dalam negeri justru melonjak, padahal kedelainya impor.

Melemahnya nilai rupiah, juga tidak begitu berpengaruh. Meski rupiah melemah terhadap dolar, harga kedelai dalam dolar di pasar internasional juga turun. Lonjakan harga juga bukan karena permintaan dalam negeri melonjak. Lonjakan harga itu diduga kuat karena permainan kartel, masuknya pasokan lambat akibat kebijakan yang terlambat, dan kegagalan kebijakan mengelola stok.

Keterlambatan pasokan di antaranya karena terlambatnya penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI). Menurut KPPU, merujuk pada keterangan Dewan Kedelai Nasional, proses penerbitan SPI untuk kedelai dianggap terlambat. Importir sudah terdaftar sejak 31 Juli, namun proses pemberian SPI baru 31 Agustus.
Permainan kartel dimungkinkan karena impor kedelai dikuasai oleh hanya segelintir perusahaan. INDEF menemukan fakta, dari data SPI yang diterbitkan 28-30 Agustus lalu, tiga perusahaan importir menguasai 66,3 persen kuota impor kedelai dari Amerika Serikat. Secara total, importir mengajukan 886.200 ton. Namun yang disetujui hanya 450.900 ton.

Memang ada 14 perusahaan yang mendapat SPI, tapi satu perusahaan dapat kuota besar sekali, dan yang lain kuotanya kecil-kecil. Tiga perusahaan yang menguasai tata niaga kedelai: PT FKS Multi Agro dapat kuota 210.600 ton atau 46,7 %; PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton atau 10,3 % dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton atau 9,3 %. Total ketiganya 299.100 ton atau 66,33%. Tiga perusahaan mendapat kuota 4-5 persen dan delapan perusahaan lainnya berkisar 2 – 0,6 %. Sementara kuota Bulog hanya 20 ribu ton atau 4,4 %.

Sementara data Koran Kota (http://korankota.co.id/page/berita/siapa-yang-bermain/up), importir kedelai yang terdaftar di Kementerian Perdagangan berjumlah 71 importir. Namun anehnya, hanya PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Sekawan Makmur Bersama, PT Teluk Intan, PT Cibadak, PT Sungai Budi, PT Alam Agri Perkasa dan PT Gunung Sewu yang secara riil diduga menjadi penentu pasokan dan harga kedelai di pasar.

Dicurigai, para importir menahan pasokan agar untung besar. Sebab lonjakan harga ini bukan karena stoknya tidak ada. Menteri Perdagangan mengatakan, untuk mengatasi lonjakan harga, telah disiapkan stok di luar Bulog 315 ribu ton. Artinya, stok itu selama ini memang ada, tetapi tidak dikeluarkan. Sayangnya, pemerintah tidak bertindak tegas kepada para importir nakal itu. Tetapi justru memberikan fasilitas berupa penurunan bea impor dari 10% menjadi nol. Padahal penurunan bea impor itu salah satu target dari permainan lonjakan harga ini.

Memblenya produksi dalam negeri, terlambatnya penerbitan SPI, tidak adanya tindakan tegas terhadap importir nakal, dsb, semua itu hanya sebagian bukti kegagalan pemerintah mengelola stok.

Cara Islam Stabilkan Harga dan Wujudkan Swasembada

Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasi kestabilan harga dan swasembada pangan. Harga stabil dengan dua cara: menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb; dan menjaga kesimbangan suply dan demand.

Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata:

«نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُحْتَكَرَ الطَّعَامُ»

Rasulullah saw melarang ditimbun makanan (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai syariah.

Disamping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda:

«مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ، فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.

Sementara terkait persoalan keterbatasan lahan, untuk mewujudkan swasembada di dalam negeri, dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak. Begitu juga dengan hukum-hukum pertanahan. Siapa pun yang memiliki tanah pertanian dan ditelantarkan tiga tahun berturut-turut atau lebih, maka hilanglah kepemilikannya, negara akan mengambilnya dan diserahkan kepada orang yang mampu mengolahnya.

Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar.

Jika terjadi ketidakseimbangan suplay dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain atau dengan impor, tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Disamping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Pengrajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.

Wahai Kaum Muslimin

Demikianlah sekilas bagaimana syariah Islam mengatasi masalah pangan khususnya, dan ekonomi pada umumnya. Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditi, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Semua itu akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non Muslim. Tentu saja, hal itu hanya bisa diterapkan jika syariah Islam diterapkan secara totalitas dan di bawah naungan sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Buletin Al-Islam edisi 671]

Posting Komentar untuk "Mewujudkan Swasembada dan Kestabilan Harga Pangan"

close