Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

APBN 2014: Makin Kapitalis, Makin Membebani


Coba bandingkan tulisan ini dengan Sistem Penganggaran dalam Negara Khilafah, klik di SINI.

DPR telah menetapkan APBN 2014. Anggaran belanja APBN ditetapkan sebesar Rp. 1.842,49 triliun, dengan komposisi Belanja Pemerintah Pusat Rp. 1.249,94 triliun (70 %) dan alokasi untuk Pemerintah Daerah Rp. 529,55 triliun (30%). Defisit anggaran dalam postur APBN ditetapkan 1,69 persen dari PDB atau sekitar Rp. 175,3 triliun.

Rencana penerimaan negara dan hibah ditetapkan sebesar Rp. 1.667,14 triliun terdiri dari Pendapatan Pajak Rp. 1.280,39 triliun, Pendapatan Bukan Pajak Rp. 385,39 triliun dan hibah Rp. 1,36 triliun. Sementara defisit Rp. 175,35 triliun akan ditutupi dengan utang.

Penerimaan di APBN 2014 ditetapkan naik 11% dari APBNP 2013, dari Rp. 1.502 triliun menjadi Rp. 1.667,14. Sisi pengeluaran juga naik 6,7% dari Rp. 1.726,2 triliun menjadi Rp. 1.842,49.

Walaupun APBN terus meningkat tiap tahun, PDB juga naik pesat, perekonomian tumbuh tiap tahun, pendapatan per kapita juga naik tiap tahun, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Jumlah rakyat miskin juga nyaris tidak berkurang. Ini mengindikasikan ada kesalahan besar dalam APBN sehingga APBN yang sebagian besar penerimaannya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat tapi tidak memberikan kontribusi nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Bertumpu pada Utang

Kesalahan mendasar yang terus terjadi adalah penyusuan APBN dilakukan bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam konteks APBN, kekeliruan Paradigma tercermin dalam 2 hal yaitu; Pertama, dianutnya Konsep Anggaran Berimbang atau Defisit; dan kedua, Liberalisasi Ekonomi.

Dalam konsep anggaran berimbang atau anggaran defisit, utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara) katanya diperlukan untuk membangun perekonomian. Utang luar negeri dari negara dan lembaga donor selama ini terbukti dijadikan alat ampuh mendekte kebijakan dan ampuh dijadikan alat penjajahan. Utang LN negeri ini lebih banyak menguntungkan negara-negara pemberi utang. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (a) adanya net transfer dimana yang masuk lebih kecil dibandingkan dengan yang keluar; (b) kebijakan didekte oleh negara dan lembaga donor.

Fakta selama ini, sebenarnya utang luar negeri itu merupakan skenario penjajahan modern menggantikan penjajahan fisik. Caranya, utang LN itu dijadikan alat untuk mendekte kebijakan terutama politik dan ekonomi. Seringkali, syarat pencairan utang jika kebijakan, peraturan bahkan hingga UU harus diubah atau disesuaikan dengan saran (baca perintah) asing, diantaranya kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalistik seperti pencabutan subsidi dan kepentingan politik lainnya.

Paradigma terus berutang itu telah membuat negeri ini masuk dalam perangkap utang yang sangat sulit (mustahil) untuk dibayar. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun, terdiri dari Rp 684 triliun berupa pinjaman LN dan Rp 1.590 triliun berupa surat berharga negara (SBN). Artinya 240 juta rakyat negeri ini termasuk bayi yang baru lahir, tiap orang terbebani utang Rp 9,475 juta.

Utang yang terus menggunung itu membebani negara dengan pembayaran cicilan bungan dan pokok. Menurut data Kementerian Keuangan (28/10/2013), cicilan utang oleh pemerintah baik pokok atau bunganya selama 9 bulan di 2013 ini saja mencapai Rp 201,9 triliun (cicilan pokok Rp 118,7 triliun dan cicilan bunga Rp 83,2 triliun) atau 67,37% dari target tahun ini. Rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp 299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2 triliun) atau 17,3 % dari belanja APBN-P 2013. Sementara Untuk tahun 2014, pembayaran bunga utang saja ditetapkan Rp 121 triliun. Itu masih ditambah cicilan pokok diatas 100 triliun.

Makin Membebani

Paradigma keliru kedua adalah liberalisasi ekonomi. Salah satu doktrin ekonomi liberal, negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Maka terjadilah privatisasi semua sektor termasuk pelayanan keapda rakyat. Privatisasi pengelolaan SDA menyebabkan SDA negeri ini dikuasai oleh swasta asing. Banyak BUMN juga diprivatisasi. Akibatnya kekayaan negeri ini lebih banyak dinikmati oleh asing. Ini sudah bukan rahasia umum.

Dampak langsung dari liberalisasi ekonomi ini Pemerintah kehilangan sumber pendapatan dari harta milik umum dan milik negara. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil melalui pajak atau pembagian laba dari penyertaan modal. Penerimaan negara akhrinya makin besar bertumpu pada pajak, yang artinya adalah bertumpu pada pungutan terhadap rakyat. Pada APBN 1998/1999 penerimaan negara relatif masih imbang antara penerimaan pajak dan non pajak (SDA Migas dan Non Migas). Tapi sejak tahun 2002, pemerintahan meningkatkan sumber penerimaan pajak diatas 70 % . Tahun 2006 sebesar 75,2 %, tahun 2013 78 % dan APBN 2014 penerimaan pajak mencapai 84%. Itu artinya, pungutan atau beban terhadap rakyat makin besar dari tahun ke tahun.

Akibat liberalisasi itu Negara harus terus mencabut dan mengurangi subsidi yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi termasuk subsidi untuk pelayanan kepada rakyat. Maka ketika pungutan atau beban kepada rakyat makin bertambah, sebaliknya pelayanan yang diterima rakyat dari negara justru terus berkurang. Rakyat pun dipaksa membiayai pelayanan untuk mereka sendiri, seperti pendidikan dan kesehatan.

Boros dan Tak Efektif

APBN yang disusun sangat kapitalistik itu masih diperparah dengan kebijakan Belanja yang cenderung boros, tidak pro rakyat, tak efektif dan kecil untuk bisa mendorong perekonomian. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan hal itu.

Pertama, Sebagian besar belanja APBN untuk kepentingan birokrasi dan pemerintah sendiri. Dari belanja APBN 2014 sebesar Rp. 1.842,2 triliun, 70%-nya (Rp 1.249,9 triliun) untuk Pemerintah Pusat, dan sisanya Rp 592,5 triliun (30%) ditransfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat itu sebagian besar untuk belanja birokrasi terdiri dari belanja pegawai Rp 263,9 triliun dan belanja barang senilai Rp 201,8 triliun, sedangkan belanja modal hanya Rp 205,8 triliun (11, 17%). Belanja kementerian dan lembaga tahun 2014 disepakati sebesar Rp 637 triliun (34,6%). Celakanya perilaku pembelanjaan yang lebih banyak untuk kepentigan pemerintah sendiri itu juga dilakukan di daerah-daerah. Belanja modal yang berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi hanya meningkat Rp 13 triliun (7%) menjadi Rp 205,8 triliun. Maka jika diharapkan APBN 2014 bis mendorong perkembangan ekonomi, rasanya jauh panggang dari api.

Kedua, beberapa pembelanjaan cenderung tidak efektif dan terkesan pemborosan. Misalnya anggaran untuk perjalanan dinas di tahun 2014 justru dinaikkan Rp 8 triliun (33%) dari tahun 2013, yaitu dari Rp 24 triliun menjadi Rp 32 triliun. Padahal selama ini perjalanan dinas dinilai lebih banyak bernuansa plesiran.

Ketiga, penyerapan anggaran selama ini tidak efektif. Selama periode kedua pemerintahan Presiden SBY, daya serap anggaran cenderung menurun. Anggaran 2009 hanya terserap 91,8 persen, lalu menjadi 90,9 persen pada 2010. Dua tahun berikutnya, penyerapan anggaran berkutat pada angka 87 persen. Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) di APBN-P 2012 mencapai Rp 34,01 triliun. Itupun masih diperburuk perilaku yang sudah jadi rahasia umum yang menghabiskan anggaran di akhir tahun, dan banyak diantaranya seolah asal anggaran habis.

Keempat, walaupun setiap tahun selalu ada anggaran yang tidak terserap, tapi pemerintah terus menambah utang baru. Utang pemerintah pun akhirnya makin menggunung. Akibatnya, beban bunga dan cicilan pokok yang harus dibayar tiap tahun meningkat, dan rata-rata sekitar 20% dari APBN tiap tahun. Padahal bunga tersebut jelas haram dan harusnya digunakan untuk kepentingan rakyat.

Kelima, anggaran yang berhubungan langsung dengan rakyat seperti subsidi energi dan bantuan sosial turun. Anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) di tahun 2014 dianggarkan Rp 282 triliun, turun dari Rp 299,9 triliun dalam APBN-P 2013. Penurunan tiu karena subsidi listrik turun dari Rp 100 triliun di APBN-P 2013 menjadi Rp 71,7 triliun. Maka hampir bisa dipastikan, tarif listrik akan naik di tahun 2014. Anggaran bantuan sosial juga turun dari Rp. 82,4 triliun menjadi Rp. 55,8. Keenam, setiap tahun APBN masih banyak yang bocoran dikorupsi. Selain itu juga masih banyak pembelanjaan yang dilakukan seolah asal menghabiskan anggaran terutama menjelang akhir tahun seperti sekarang ini hingga akhir desember nanti.

Wahai Kaum Muslimin

APBN 2014 masih sulit untuk dinilai pro rakyat. Justru APBN 2014 lebih terlihat melayani kepentingan birokrasi, makin kapitalis dan makin membebani rakyat. Semua itu pangkalnya karena pengelolaan perekonomian negeri masih bersumber pada sistem ekonomi kapitalisme liberal. Di sisi lain, sistem ekonomi Islam yang datang dari Allah SWT Zat yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana justru ditinggalkan. Padahal andai pengelolaan perekonomian dijalankan sesuai dengan Syariah Islam sebagai wujud ketakwaan penduduk negeri ini, niscaya seluruh rakyat akan merasakan kebaikan dan kesejahteraan. Kekayaan yang dikaruniakan Allah di negeri ini akan benar-benar menjadi berkah bagi penduduknya, muslim maupun non muslim. Allah SWT menjamin hal itu sebagaimana firman-Nya:

>]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS al-A’raf [7]: 96)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam Edisi 680]

Posting Komentar untuk "APBN 2014: Makin Kapitalis, Makin Membebani"

close