Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepemimpinan Ulama

Kepemimpinan umat di dunia idealnya dipegang oleh para ulama yang bertakwa. Pasalnya, para ulama adalah pewaris para nabi (waratsah al-anbiya’), sementara para nabi—khususnya Nabi Muhammad SAW—adalah pemimpin umat. Sebagai pemimpin umat, Nabi Muhammad SAW  membimbing umat sekaligus mengurus mereka dengan wahyu Allah SWT. Nabi SAW bukan saja menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), yakni menyampaikan risalah (tabligh ar-risalah), tetapi sekaligus juga menjalankan fungsi kepemimpinan (ri’ayah), yakni mengurus umat dengan menerapkan syariah (tanfidz ar-risalah) atas mereka. Inilah yang membedakan Nabi Muhammad SAW dengan para nabi yang lain.

Kepemimpinan atas umat setelah Nabi Muhammad wafat diteruskan oleh para khalifah. Para khalifah tentu hanya menjalankan fungsi ri’ayah (mengurus umat), tidak menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah). Hanya saja, mereka tentu melakukan ri’ayah (mengurus umat)—sebagaimana Nabi Muhammad SAW—berdasarkan syariah Islam. Dalam sejarah Islam yang panjang, para khalifah—utamanya Khulafaur Rasyidin—adalah para ulama, bahkan mereka adalah para ulama mujtahid. Umumnya para khalifah pada masa lalu bukan hanya imam (pemimpin) dalam urusan kenegaraan, tetapi sekaligus juga imam dalam urusan keagamaan. Pada masa Khulafaur Rasyidin, misalnya, imam shalat jumat atau shalat id adalah khalifah. Demikian pula dalam shalat-shalat fardhu. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, ”Imam suatu kaum adalah yang paling banyak membaca/menguasai Alquran.” (HR Malik).

Terkait hadits ini, para ulama bersepakat, bahwa imam (kepemimpinan) shalat suatu kaum harus dipegang oleh orang yang paling banyak membaca, memahami dan menghafal Alquran; atau yang paling faqih di antara mereka (Lihat: Al-Muntaqa’ Syarh al-Muwaththa’, I/424).

Dengan demikian, pemimpin negara, termasuk para pejabat negara di bawahnya, idealnya adalah para ulama. Merekalah orang-orang yang paling banyak membaca, memahami dan menguasai Alquran. Merekalah orang-orang yang paling faqih dalam ilmu-ilmu agama. Merekalah yang diharapkan bisa mengurus negara dan umat berdasarkan Alquran dan as-Sunnah. Dengan kata lain, yang mesti menjadi pemimpin umat sejatinya adalah penguasa ulama, yakni penguasa yang alim yang mengamalkan ilmunya; bukan ulama penguasa, yakni ulama yang biasa menjilat para penguasa; bukan pula penguasa yang bukan ulama.

Terkait itu, ada sebuah riwayat, bahwa suatu ketika seseorang dari Bashrah di Irak memasuki suatu daerah. Ia lalu bertanya kepada orang-orang yang dia jumpai di sana, ”Siapakah pemimpin kalian di sini?” Mereka menjawab, ”Al-Hasan al-Bashri.” Dia bertanya lagi, ”Mengapa ia menjadi pemimpin kalian?” Jawab mereka, ”Karena kita semua membutuhkan ilmunya, sementara ia tidak membutuhkan sedikitpun harta-harta kita.” (Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. XVIII).

Dalam riwayat lain, dari penuturan Abu Thufail, dari az-Zuhri, disebutkan bahwa Nafi bin al-Harits pernah mendatangi Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Nafi adalah penguasa wilayah Mekah yang diangkat oleh Khalifah Umar ra. Khalifah Umar ra bertanya kepada Nafi’, ”Siapa pemimpin di daerah Al-Wadi?” Jawab Nafi’, ”Ibnu Abza.” Khalifah Umar bertanya lagi, ”Siapa Ibn Abza?” Jawab Nafi’ lagi, ”Dia adalah seorang qari dan seorang alim dalam bidang faraidh.” (HR Muslim).

Orang yang juga pernah menjadi penguasa wilayah Mekah adalah Muhammad bin Abdurrahman. Dia menjadi wali Mekah selama 20 tahun. Dia juga adalah seorang alim. Tentang kehebatan ulama yang satu ini, Al-Harbi mengisahkan, ”Jika lawan debatnya sudah ada di dekatnya, lawan debat itu pun gemetar…” (Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. XIX).

Sayangnya, di tengah-tengah kehidupan yang diatur dengan aturan-aturan sekuler dan bukan aturan-aturan Islam, pertimbangan orang memilih dan dipilih sebagai pemimpin (baik kepala negara/kepala daerah ataupun para wakil rakyat) bukanlah didasarkan pada tolok ukur Islam atau berlandaskan Alquran dan as-Sunnah. Mereka yang terpilih hanyalah yang paling populer di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, popularitas mereka sebagian karena keartisan mereka atau ketokohan mereka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tingkat ketakwaan ataupun keilmuan Islam. Bahkan sebagian besar dari mereka populer dan mempopulerkan diri hanya karena selembar spanduk atau baliho yang kebetulan dipasang di ratusan bahkan ribuan tempat. Umat sendiri hanya mengenal nama dan gambar/fotonya; tak pernah tahu visi-misinya, penguasaannya atas ilmu-ilmu Islam, apalagi keshalihan dan ketakwaannya. Akibatnya, wajar saja jika dalam sistem yang jauh dari Islam ini, lahir para pemimpin dan wakil rakyat yang juga jauh dari Islam. Masihkah kita membiarkan semua ini terus-menerus terjadi? Masihkah kita akan membiarkan kerusakan dan kehancuran bangsa dan negara ini terus-menerus berlangsung akibat kepemimpinan yang tidak berdasarkan syariah Islam dan dikelola oleh para pemimpin yang bodoh alias tidak memahami Islam? [abi/hti/visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kepemimpinan Ulama"

close