Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khilafah Bukan Sekadar Romantisme Sejarah

3 Maret 1924 M (28 Rajab 1342 H), adalah hari kelabu bagi umat Islam. Secara resmi pada tanggal itu, Khilafah dibubarkan oleh agen Inggris Mustafa Kamal at-Taturk. Artinya, sudah 90 tahun umat Islam tidak memiliki khilafah. Ada yang menuding seruan khilafah, tidak memiliki landasan dalam Islam. Menurut mereka, khilafah sekadar romantisme sejarah.
 
Padahal keberadaan Daulah Khilafah sangat penting dan mendesak. Tentang pentingnya kewajiban ini ditegaskan oleh para alim ulama dari generasi salaf maupun khalaf. Mereka  sepakat bahwa menegakkan Khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban penting di dalam Islam.

Al-‘Allamah al-Imam Ibnu al-Haitamiy Asy Syafi’i rahimahullah ta’ala menyatakan di dalam Kitab Ash Shawaa`iq al-Muhriqah, juz 1, hal. 25 : “Ketahuilah juga; sesungguhnya seluruh shahabat telah sepakat bahwasanya mengangkat seorang imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting.  Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menyelenggarakan jenazah Rasulullah SAW….”

Berkaitan dengan khilafah ini Amir Hizbut Tahrir asy-Syeikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam soal jawab tertanggal 21 Raibul Awal 1435 H/22 Januari 2014 M, menjelaskan tentang tiga hal penting. Pertama, khilafah merupakan istilah fiqhiyah “haqiqah syar’iyyah” sebab nash-nash syar’iyah menunjukkan demikian. Kedua, tentang wajibnya khilafah, dan ketiga, tentang khilafah tidak bisa dilepaskan dalam politik, karena di dalamnya ada aktifitas politik.

Amir Hizbut Tahrir menjelaskan secara gamblang sistem khilafah adalah fardhu. Dalil-dalil tentang hal ini dinyatakan dengan tegas di dalam Alquran, as-sunnah dan ijmak shahabat. Berdasarkan Alquran, Allah SWT berfirman menyeru Rasul SAW: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS al-Maidah [5]: 48).

Dan seruan kepada Rasul SAW untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah merupakan seruan kepada umat beliau SAW.  Mafhum (pengertian)nya adalah hendaknya umat Rasulullah SAW—termasuk kita—mengadakan  seorang hakim (penguasa) setelah Rasul SAW yang memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah.

Dan perintah dalam seruan (khithab) itu memberi faedah jazm (tegas) sebab topik seruan adalah fardhu.  Ini merupakan qarinah (indikasi) jazm (tegas) seperti yang ada dalam ketentuan ushul. Dan penguasa yang memutuskan perkara di antara kaum Muslimin dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah setelah Rasulullah SAW adalah khalifah.  Dan sistem pemerintahan berdasarkan konteks ini adalah sistem khilafah.

Di samping itu penegakan hudud dan seluruh hukum adalah wajib.  Dan kewajiban ini tidak bisa ditegakkan dengan sempurna kecuali dengan penguasa, sementara suatu kewajiban tidak sempurna dengan sesuatu maka hukum sesuatu itu menjadi wajib.  Artinya, mengadakan penguasa yang menegakkan syara’ adalah wajib.  Dan penguasa berdasarkan konteks ini adalah khalifah dan sistem pemerintahan adalah sistem khilafah.

Adapun as-sunnah, diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata; “Abdullah bin Umar berkata kepadaku: “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati sementara di pundaknya tidak ada baiat maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR Muslim).

Jadi hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di pundak setiap Muslim, yakni adanya khalifah yang dengan keberadaannya akan merealisasikan adanya baiat di pundak setiap Muslim. Dan jika tidak,  maka bagi orang yang lalai,  ia mati seperti kematian jahiliyah.  Hal ini untuk menunjukkan atas besarnya dosa akibat tidak beramal untuk mewujudkan khalifah yang memutuskan perkara dengan Islam. Setelah Rasul SAW baiat tidak ada kecuali kepada khalifah, bukan kepada yang lain.

Khilafah juga tidak bisa dilepaskan dari politik. Khilafah, sistem pemerintahan Islam, di dalamnya ada aktifitas-aktifitas politik yang dilakukan oleh khalifah. Karena politik (as-siyâsah) berarti ri’âyah asy-syu’ûn (pengaturan urusan).  Dan aktifitas pokok khilafah adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah, dan ri’âyah asy-syu’ûn dari seorang penguasa adalah politik.

Bahwa aktifitas politik khalifah adalah mengurus rakyat dinyatakan dalam hadist Rasulullah, di antara Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Ibn Syihab … bahwa Salim menceritakan kepadanya: bahwa Abdullah bin Umar berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Setiap dari kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian diminta pertanggungjawaban atas pemeliharaannya. Seorang imam adalah pemelihara dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan rakyatnya.” Jadi khalifah aktifitasnya adalah ri’âyah asy-syu’ûn. Dan ri’âyah asy-syu’ûn dari seorang penguasa adalah politik sesuai makna bahasanya itu.

Karena itu, masalah ini bukanlah sekadar romantisme sejarah. Menegakkan khilafah merupakan kewajiban kita semua. Ketiadaan Khilafah Islamiyyah telah mengakibatkan telantarnya banyak hukum Islam.  Kita wajib memfokuskan diri dalam perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, dengan cara menjadikan agenda penegakan Khilafah Islamiyyah sebagai persoalan hidup dan mati. Kita wajib secara terus-menerus tanpa kenal lelah memberikan penyadaran kepada umat Islam mengenai  kewajiban dan pentingnya perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah.  [Farid Wadjdi]

Posting Komentar untuk "Khilafah Bukan Sekadar Romantisme Sejarah"

close