Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Negara Demokrasi dan Negeri yang Terbajak



Ketika diwawancarai soal demokrasi, seorang intelektual muslim (yang segi keilmuannya saya hormati) menyatakan,

Kita perlu ikut pemilu dengan tujuan untuk memperjuangkan umat Islam melalui sistim demokrasi ini. Negara bersistim demokrasi ini bagaikan kapal dan peraturan di dalamnya, dimana umat Islam adalah salah satu kelompok penumpang yang memiliki hak mengatur. Jika di dalam kapal ini terjadi kejahatan maka sebagai penumpang kita harus amar ma’ruf nahi munkar sedapat yang kita mampu. Jika kita menolak demokrasi itu sama dengan menolak menjadi penumpang kapal itu. Jika kita ingin sistim lain berarti kita ingin kapal lain. Maka solusinya mudah, kita beli kapal baru atau  dan kita pindah kapal.”

Tanggapan

Saya pun punya analog yang tak kalah naifnya dan, tentunya, tidak ilmiah. Tapi, mungkin dapat memberi gambaran:

Syahdan, diceritakan bahawa terdapat sebuah pesawat yang semestinya terbang menuju Makkah. Konon, sebagian penumpangnya akan menunaikan ibadah umrah. Pesawat tersebut juga membawa barang-barang titipan yang harus sampai ke Makkah. Malangnya, di tangah penerbangan, entah bagamana ceritanya, pesawat dibajak oleh sekelompok penumpang yang ingin mengalihkan tujuannya ke tempat lain. Terjadilah keributan dan perebutan kendali pesawat. Namun, sebelum keadaan menjadi lebih kacau, pemimpin pembajak justru berhasil menenangkan suasana. Ia menawarkan sebuah “aturan main” dalam perebutan kendali itu. Ia mengatakan,

baiklah, kita selesaikan perebutan ini dengan damai lewat aturan main tertentu. Kami akan menawarkan seorang pilot baru kepada kalian. Ia akan menjelaskan keahliannya dan pengalamannya sebagai pilot. Ia juga akan memberitahu kalian bahwa ia akan membawa kalian ketempat yang sangat menguntungkan, jauh menguntungkan dari pada Makkah. Jika kalian mendukungnya dan kalian ingin pergi kemana ia ingin pergi, maka pilihlah ia sebagai pilot kalian. Kita akan gelandang pesawat ini berserta seluruh isinya. Namun, jika kalian tetap menghendaki pilot kalian yang lama, maka pesawat dan seluruh isinya tetap akan terbang ke Makkah. Kita akan adakan pungutan suara, siapa yang mendapat suara terbanyak, maka dialah yang akan mengendalikan pesawat kita, dan kita semua akan pergi kemana ia akan pergi bersama pesawat seisinya. Dan semua pihak harus menerima apa yang menjadi hasilnya.

Dan kemudian, demi peluang yang ada, mereka semua menyepakati aturan main tersebut, dan masing-masing pihak mulai menggalang dukungan. Padahal, pesawat tersebut, secara syar’i, seharusnya terbang ke Makkah, menurunkan penumpangnya sesuai akad awal, dan barang-barang yang diamanahkannya pun dapat sampai kepada pemiliknya. Inilah tugas sang pilot yang asli.

Namun, aturan main yang dibuat oleh sang pembajak membatalkan ketentuan syar’i tersebut, menggalkannya, dan menganggapkan tak berlaku. Sebaliknya, yang akan berlaku adalah aturan main baru yang bertumpu kepada suara terbanyak, bukan syariat. Apa pun hasil akhirnya, dengan menyepakati aturan main ini, sang pilot -sadar atau tidak- telah menanggalkan haknya sebagai pilot, sekaligus menanggalkan kewajibannya untuk membawa pesawat ke tempat tujuan. Lebih dari itu, dengan menyepakati aturan main ini berarti sang pilot telah mengakui “keberadaan” para pembajak, memberi peluang bagi mereka untuk mendapatkan pengakuan atas haknya dalam mengendalikan pesawat, padahal sebenarnya mereka tidak punya hak legal sama sekali dan tidak perlu dianggap.

Dengan aturan main ini, jika suara terbanyak menghendaki ke Makkah, maka sang pilot asli pun akan membawa pesawat ke Makkah. Namun, jika kebanyakan orang menghendaki dia untuk lengser, maka ia pun harus tunduk, harus rela tanpa boleh meronta, terbang bersama pilot yang baru menuju tempat pendaratan yang baru demi menghormati aturan main yang telah disepakati.

Menurut kami, kekeliruan sudah terjadi sejak adanya pengakuan terhadap para pembajak, dan adanya kesepakatan untuk menerima aturan main yang mereka buat. Yang seharusnya dilakukan oleh pilot lama dan pendukungnya adalah tidak menerima kompromi macam apa pun. Pesawat harus tetap ke Makkah, tidak ada urusannya dengan suara terbanyak, ketentuan yang benar harus tetap berjalan. Setiap usaha pembajakan harus dianggap tidak sah, dan perebutan melawan pembajak harus terus dilakukan sebagai perebutan yang hasil akhirnya ditentukan oleh sunatullah, yakni pertarungan antara hak dan bathil, sampai ada salah satu di antara keduanya yang terkalahkan tanpa aturan main yang berpeluang memberi pembenaran terhadap aksi yang dilakukan oleh para pembajak.

Lantas, tidaklah anda lihat, negara demokrasi yang dihuni oleh kaum muslimin adalah laksana negeri yang dibajak. Mustinya, penduduknya -suka atau tidak suka- menganggung kewajiban untuk menegakkan syariat Allah, dan mereka wajib “menempatkan” Allah sebagai pemegang kedaulatan di dalamnya. Tapi, entah kenapa, mereka harus ridlo dengan ketentuan yang mengatakan, “suara rakyatlah yang harus kita ikuti. Jika wakil rakyat menghendaki, kita akan mengamalkan ajaran agama kalian. Tapi jika sebagian besar wakil rakyat tidak menghendaki, maka anda semua -yang ingin mengemalkan ajaran agama kalian- harus tunduk kepada kehendak rakyat, tidak boleh meronta, anda harus tetap setia dengan aturan main yang ada.” Aturan main inilah yang apabila kita terima maka kita telah membatalkan “hak Allah” untuk ditaati secara mutlak, dan memaksa diri kita untuk rela, pasrah dan ridla terhadap segala hasilnya, meski mungkin bertentangan dengan hukum agamanya. Apakah kita ridla terhadap aturan main seperti ini? Inilah demokrasi.

Ingat, negeri yang diduduki sistem demokrasi ini sebenarnya adalah milik Allah. [Titok Priastomo]

Posting Komentar untuk "Negara Demokrasi dan Negeri yang Terbajak"

close