Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandangan Hizbut Tahrir Terhadap Syi’ah Itsnaa ‘Asyariyyah, Menurut Jubir HT Libanon



Seorang peneliti yang bermaksud menyusun sebuah makalah tentang pendirian Hizbut Tahrir terhadap Syi’ah, yang kemudian hendak dipresentasikannya dalam sebuah seminar di Kota Najaf, menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada ketua Maktab I’lami, katakanlah juru bicara, Hizbut Tahrir wilayah Libanon, Ustadz Ahmad al-Qashash. Pertanyaan tersebut menyangkut bagaimana pendirian Hizbut Tahrir terhadap pemikiran Syi’ah, pandangan HT terhadap konflik antara ‘Utsmani vs Shafawi, konflik yang berkobar antara Sunni vs Syi’ah, dan pandangan HT terhadap pemerintah Iran, terutama pasca keterlibatan Iran bersama pemerintahan Basyar dalam memerangi penduduk Suriah. Berikut ini adalah terjemahan dari jawaban beliau terkait pertanyaan yang pertama:

Peneliti bertanya: “Secara umum, bagaimana pandangan Hizbut Tahrir terhadap Syi’ah? Apakah mereka kafir, sesat ataukah ia merupakan madzhab yang dibolehkan untuk beribadah dengannya?”

Ahmad al-Qashash menjawab:

“Telah dimaklumi bahwa istilah syi’ah memiliki pengertian yang luas, ia meliputi banyak kelompok (firqah), sehingga bermacam kelompok Syi’ah tidak memiliki pemikiran yang seragam dalam membangun doktrin kesyi’ahan mereka. Orang-orang yang menuhankan Imam Ali radliyallahu Ta’ala ‘anhu, demikian halnya dengan mereka yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril ‘alaihis salam telah mengalami kekeliruan/kebingungan (dalam mengalamatkan wahyu –pent) juga tergabung dalam kelompok-kelompok Syi’ah. Sudah barang tentu bahwa mereka merupakan kelompok yang murtad dari Islam, bagaimana pun juga, mereka tidak boleh menisbatkan diri kepada Islam. Di sisi lain, Zaidiyah -yang tidak menyatakan kema’shuman para Imam, yang tidak pula menyatakan adanya “penetapan langit” (an-nash a-Ilahiy) bagi para pengganti (khulafaa’) Rasulullah ‘alaihis salam, yang berpendapat bahwa ‘Ali radliyallahu ‘anhu merupakan pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling afdlal seraya berpendapat bahwa kepemimpinan orang yang kurang afdlal adalah sah- juga tercakup dalam istilah syi’ah. Antara mereka –Zaidiyyah- dengan Ahlus Sunnah tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Terlebih lagi, seiring dengan berlalunya waktu dan semakin menjauhnya masa dari zaman awal Islam, perbedaan di antara mereka –Zaidiyyah- dengan Ahlus Sunnah hampir tidak memiliki pengaruh apa pun pada zaman kita sekarang. Atas dasar itu, pertanyaan tersebut, secara praktis, hampir-hampir hanya tertuju pada (syi’ah) Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah (sekte Syi’ah yang banyak berkembang saat ini, terutama di Iran, Irak dan Libanon -pent).

Telah dimaklumi bahwa Hizbut Tahrir tidak mengkafirkan (syi’ah) Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah seraya masih menganggap mereka sebagai bagian dari kaum muslimin. Meskipun ia (HT) berselisih dengan mereka (al-Itsna ‘Asyariyyah) dalam pemikiran pokok yang membangun madzhab mereka, akan tetapi ia (HT) tidak memandang bahwa pemikiran tersebut mengharuskan jatuhnya vonis takfir (takfir). Tentu saja, ini tidak termasuk sikap ekstrim (ghuluww) yang menyebabkan sejumlah pihak yang berafiliasi kepada al-Itsnaa ‘Asyariah terjerumus ke dalam kekufuran, seperti menuduh Ummul Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu ‘anha telah melakukan “perbuatan keji” (zina), atau berpandangan bahwa al-Qur’an telah mengalami penyimpangan, atau pandangan lain yang terhitung sebagai suatu bentuk sikap ghuluww (ekstrim).

Dalam konteks ini, harus ditunjukkan bahwa Hizbut Tahrir membedakan antara Fiqh Ja’fari, yang terhitung sebagai salah satu madzhab fiqh Islam yang mu’tabar (otoritatif) di antara kaum muslimin, baik Sunni maupun Syi’ah, di satu sisi; dengan pemikiran yang mendasari Madzhab Imamiyyah al-Itsnaa ‘Asyariyyah, di sisi yang lain, yang secara kronologis, pemikiran tersebut (al-Itsna ‘Asyariyyah) muncul lebih belakang ketimbang masa hidup Imam Ja’far rahimahullahu Ta’ala. Sebagaimana di ketahui, terdapat perdebatan yang luas seputar otentisitas penisbatan sebagaian pandangan fiqhiyah kepada Imam Ja’far. Atas dasar itu, sesungguhnya kami, tatkala mendiskusikan pemikiran Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah, tidak membicarakannya sebagai bagian dari fiqh Ja’fari. Kapan munculnya pemikiran ini (al-Itsna ‘Asyariyyah) dan siapa yang mematangkan pemikiran tersebut, bagi kami itu tidak terlalu penting. Yang jelas, pemikiran tersebut saat ini eksis dan memiliki belasan juta pengikut, kami hanya membaca dan mendiskusikannya sebagai pemikiran yang saat ini dipegang oleh para pemeluknya.

Sesungguhnya, ketika Hizbut Tahrir tidak mengkafirkan (Syi’ah) Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah, itu tidak berarti bahwa ia (HT) menganggap seluruh pemikiran mereka sebagai pemikiran yang Islami. Itu hanya berarti bahwa, menurutnya (HT), pemikiran tersebut tidak mengeluarkan mereka dari wilayah Islam. Dan Hizbut Tahrir tidak bersifat abstain/netral, sebagaimana dipikirkan oleh sebagian orang, terhadap beberapa masalah yang mendasari pemikiran (sya’ah) Imamiy al-Itsna ‘Asyariy, yang selama ini menjadi objek perselisihan antara (Syi’ah) Imamiyyah  dengan seluruh kaum muslimin.

Hizbut Tahrir secara khusus telah membantah dua pemikiran yang menjadi asas bagi tegaknya Madzhab al-Itsnaa ‘Asyariy, dalam kapasitasnya sebagai pemikiran orisinil dan memiliki bobot serta porsi tertentu dalam tsaqafah mereka. Yang saya maksud dengan dua pemikiran itu adalah: pemikiran tentang “penunjukkan langit” (an-nash al-Ilahi) terhadap para pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (khulafa’); serta pemikiran tentang wajibnya sifat ma’shum (bebas dari dosa) bagi imam (kepala negara -pent), dengan anggapan bahwa Daulah Islamiyyah merupakan sebuah daulah ilahiyah (“negara langit”). Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa kedua pemikiran ini tidak didasarkan pada dalil-dalil yang otoritatif (mu’tabar). Bantahan tersebut terdapat di dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah jilid yang ke-2, dengan judul: yang pertama, “Asy-Syari’ tidak menunjuk orang tertentu untuk (memegang) khilafah”; dan yang kedua, “Daulah Islamiyyah merupakan negara manusiawi (daulah basyariyyah), bukan “negara langit” (laisat daulatan ilahiyyah).”

Lebih dari itu, Hizbut Tahrir juga memiliki pandangan-pandangan yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah yang menjadi dampak ikutan dari kedua pemikiran tersebut, yang juga menjadi objek polemik di antara (syi’ah) Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah dengan mayoritas kaum muslimin. Hizbut Tahrir menolak perbuatan mencela para shahabat ridlwanullah ‘alaihim, HT meyakini bahwa mereka semua adalah adil meski pun tidak sepenuhnya suci (ma’shum) dari kesalahan dan maksiat; bahkan, (Hizbut tahrir) meyakini bahwa ijma’ mereka merupakan dalil syari’at Islam, bukan karena pendapat seorang shahabat merupakan dalil syar’i, melainkan karena ijma’ mereka merupakan suatu hal yang dapat menyingkap dalil yang tersembunyi dari kita (sunnah –pent). Hanya saja, Hizbut Tahrir memiliki definisi shahabat yang lebih teliti. Hizbut Tahrir tidak mengikuti pendapat yang mendefinisikan shahabat sebagai setiap orang yang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia berpendapat bahwa shahabat adalah mereka yang merealisasikan arti persahabatan (dengan Rasul) secara nyata. Ini adalah pendapat sejumlah besar dari kalangan ulama Islam, terutama para ahli ushul fiqh di antara mereka. Dan (Hizbut tahrir) berpendapat bahwa dalil-dalil syara’ terbatas pada al-Kitab dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya (sebagai dalil), yaitu qiyas dan ijma’ para shahabat. Apa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan; dan tentu saja (sunnah) tidak termasuk pendapat dan ijtihad yang berasal dari salah satu shahabat –radliyallahu ‘anhum jami’an- yang menjadi anggota Alu Bait.

Atas dasar itu, telah diketahui bahwa di dalam barisan Hizbut Tahrir terdapat sejumlah anggota yang memegangi Madzhab Ja’fari. Akan tetapi, dengan segenap penegasan, setelah mereka mengadopsi tsaqafah Hizbut Tahrir, mereka bukanlah orang-orang Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah, mereka tidak mengatakan bahwa para imam itu ma’shum, tidak mengatakan adanya penunjukan langit terhadap para pengganti (khulafaa’) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak meyakini tentang al-badaa’ (bada’ adalah naskh/penghapusan wahyu yang memuat khabar ghaib -pent), mereka (anggota HT) meyakini bahwa masa keempat khalifah pertama merupakan masa al-Khilafah ar-Rasyidah, dan berpandangan bahwa masa-masa setelah Khilafah Rasyidah, baik para (khalifah) Umawiyyin, ‘Abbasiyyin dan ‘Utsmaniyyin, merupakan masa-masa berlangsungnya khilafah Islamiyyah, yang di dalamnya diterapkan system Islam -terlepas dari adanya keburukan-keburukan dalam penerapannya-, mereka juga mempercayai keadilan seluruh shahabat, ijma’ mereka merupakan dalil syar’i, sebagaimana Hizbut Tahrir juga tidak mengakui keabsahan akad mut’ah seraya tidak mengijinkan seorang pun di antara anggotanya untuk melakukannya.”

Sumber: https://www.facebook.com/kasas.ahmad/posts/716386001737624

Pembela khilafah menambahkan: di antara pandangan HT yang juga bertentangan dengan Syi’ah al-Itsnaa ‘Asyariyyah adalah tentang taqiyah. Dalam Haditsush Shiyam demikian pula dalam penjelasan amir-nya, Hizbut Tahrir menegaskan keharaman taqiyyah, kecuali dalam kondisi sangat terancam di negeri kufur. HT juga tidak menerima kehujjahan perkataan imam syi’ah dan ijma’ ahlil bait, sebaliknya, HT menerima kehujjahan ijma’ semua shahabat dan qiyas (lihat Syakhshiyyah III). Pengharaman mut’ah, dan anggapan bahwa ia adalah zina, ada dalam sebuah soal jawab pada masa Syaikh Taqiyyuddin. Tentang keadilan semua shahabat, penjelasannya ada di syakhshiyyah jilid I. Tentang pengakuan terhadap keimaman Abu Bakar, Umar, Utsman serta para khalifah Bani Umayyah, Abbas dan Utsman, itu tersebar dalam berbagai kitab, booklet dan nasyrah HT. Tentang bada’, maka HT tidak pernah mengatakan terjadinya nasakh pada khabar ghaib, sehingga seolah ilmu Allah berubah, melainkan nasakh hanya terjadi pada hukum saja, lihat Syakhshiyyah III. [Sumber : http://www.titokpriastomo.com]

Posting Komentar untuk "Pandangan Hizbut Tahrir Terhadap Syi’ah Itsnaa ‘Asyariyyah, Menurut Jubir HT Libanon"

close