Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Para Capres, Relijius Tapi Anti Syariat

Bagaimana media memberitakan mereka melakukan shalat—hal yang seharusnya biasa dilakukan oleh seorang yang mengaku Muslim.

Joko Widodo dan Prabowo Subianto menjadi calon presiden Indonesia. Dapat dipastikan salah satunya akan memimpin negeri yang penduduknya mayoritas Muslim. Akankah Indonesia akan berubah menjadi islami di tangan keduanya?

Media Umat mencoba menelusuri jejak rekam mereka. Adakah di antara mereka yang akan memperjuangkan dan menerapkan syariah Islam ketika mereka berkuasa atau minimal pernyataan akan pro terhadap penerapan syariat? Ternyata, mesin google tak menemukan satu pun.

Terkait keislaman mereka, hal yang bisa didapatkan adalah bagaimana media memberitakan mereka melakukan shalat—hal yang seharusnya biasa dilakukan oleh seorang yang mengaku Muslim. Capres yang ikut shalat berjamaah menjadi sorotan akhir-akhir ini termasuk bertemu kalangan ulama. Keduanya juga disebut-sebut relijius.

Bahkan untuk memastikan agamanya itu, Jokowi sampai membuat siaran pers ke media tentang keislamannya. Capres yang diusung PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKP Indonesia menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang membawa kedamaian, bukan kebencian.

“Saya Jokowi, bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan,” kata Jokowi dalam siaran pers tertanggal 24/5/2014.

Lebih lanjut, ia mengatakan: “Semua orang boleh ragu dengan agama saya, tapi saya tidak ragu dengan iman dan imam saya dan saya tidak pernah ragu dengan Islam agama saya.”

Jokowi juga mengatakan dirinya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya tujuan mewujudkan negara Islam. Dia pun menyatakan, bukan bagian dari yang mengaku Islam, tetapi suka menebar teror dan kebencian.

“Saya bukan bagian dari Islam yang menindas agama lain. Saya bukan bagian dari Islam yang arogan dan menghunus pedang di tangan dan di mulut. Saya bukan bagian dari Islam yang suka menjejerkan fustun-fustun-nya,” ujarnya.

Sementara itu, capres Prabowo dalam website Partai Gerindra saat Natal 2011 menuliskan jati dirinya: “Ayah saya beragama Islam. ibu saya beragama Kristen. Saat Natal tiba, di rumah keluarga saya selalu terpajang pohon natal. Sementara pada saat bulan Ramadhan, ibu saya ikut bangun tengah malam untuk bersahur bersama ayah saya. Prinsip saling menghargai antara agama, ras dan suku yang saya pelajari dari ayah dan ibu saya, akan terus melekat di diri saya. Saya, Prabowo Subianto, bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengucapkan Selamat Hari Natal.”

Saat deklarasi dukungan PPP kepadanya, Prabowo sempat memekikkan takbir tujuh kali. Dengan prasi yang berapi-api Prabowo menyatakan akan mengedepankan harga diri bangsa dalam memimpin Indonesia. Prabowo pun menyentil sejumlah pihak yang sudah mencuri kekayaan dari tanah Indonesia.

“Hei kalian-kalian yang telah mencuri uang-uang bangsa Indonesia, kita tidak gentar. Kita akan berjihad. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik Prabowo.

Dekat dengan Kristen


Meski Jokowi maupun Prabowo terlihat relijius, keduanya diketahui cukup dekat dengan kalangan Kristen. Dua kali menjadi kepala daerah, Jokowi selalu menggandeng wakil dari kalangan Kristen. Di Solo, Jokowi mengajak FX Hadi Rudyatmo dan di Jakarta ia menggandeng Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Di Solo, sepak terjang Jokowi ketika jadi Walikota sangat menguntungkan kaum Kristen. Mereka mendapat alokasi anggaran Bansos 2009 lebih besar dibandingkan Muslim. Tak heran, umat Kristen berkembang saat Jokowi menjabat.

Setali tiga uang dengan Jokowi, Prabowo pun dikenal mengemban prinsip pluralisme. Meski sempat digolongkan tentara hijau sebelum pensiun, belakangan ketika ia membangun Gerindra, tokoh-tokoh Kristen pun dimasukkan ke partainya.

Jangan lupa, Prabowo-lah yang memasangkan Basuki Tjahaya Purnama menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta, mendampingi Jokowi.

Berkiblat ke Barat

Setelah dideklarasikan sebagai calon presiden oleh PDIP, yang pertama dilakukan oleh Jokowi adalah bertemu dengan dubes negara asing yang bertugas di Jakarta. Ada 14 dubes yang diundangnya di antaranya adalah Dubes Amerika Serikat. Ia juga menyempatkan diri secara khusus bersama dengan Megawati Soekarnoputri bertemu Dubes Vatikan.

Ketidakberaniannya terhadap Barat terlihat ketika Jokowi memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terhadap pembangunan Kedubes Amerika Serikat di Jl Medan Merdeka Selatan. Ketika ormas Islam menemuinya di Balaikota Jakarta dan meminta jaminan agar ia tak memberikan IMB tersebut, Jokowi hanya senyum-senyum saja. Gedung Kedubes AS seluas 3,6 hektar dan terbesar ketiga di dunia itu dibangun atas restu Jokowi.

Sementara itu, Prabowo mengaku dirinya hidupnya berkiblat ke Barat. Tempo.co (26/10/2013) mengutip pengakuan tersebut. “Dari umur 6 sampai 16 tahun saya tinggal di negara Barat, di Inggris dan Amerika,” kata dia saat bertandang ke kantor Tempo, Rabu 9 Oktober 2013.

“Saya memang masuk AKABRI. Saya lulus, sebelum dan sesudahnya saya banyak bersekolah di Barat. Saya elite Indonesia yang berkiblat ke Barat, kagum pada Barat, besar di alam itu. Jadi, saya besar dengan nilai Barat, nilai modern.”

Sebelum memasuki AKABRI Darat Magelang pada 1970, Prabowo memang bersekolah di American School in London, United Kingdom, pada 1969. Karena terbiasa dengan kehidupan di negara Barat, Prabowo ingin Indonesia berkiblat ke sana jika ingin maju. “Kita harus westernisasi, harus adopt (menyerap) nilai-nilai Barat.”

Soal kebebasan pers, Prabowo menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan itu. “Ini sakral,” katanya. “Dan saya karena produk Barat, saya mengalami internalisasi nilai itu. Nilai yang mereka katakan kepada kita, humanisme, demokrasi liberal, fair play, the rule of law, saya terima.” [mj/tabloid mediaumat edisi 129]

Posting Komentar untuk "Para Capres, Relijius Tapi Anti Syariat"

close