Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kita Menuai Apa Yang Kita Tanam Dalam Diri Anak

Di suatu tempat yang jauh, zaman dahulu kala, lahirlah seorang anak laki-laki yang buta. Ibunya seorang janda, dia adalah Muslimah yang baik, tidak pernah putus harapan dalam doanya, yang dia lakukan terus menerus. Beberapa tahun kemudian, penglihatan anak itu kembali. Alhamdulillaah.

Dia menyadari bahwa desanya tidak cocok bagi anaknya agar dapat unggul dalam pendidikan Islam, sehingga dia bersama dengan anaknya melakukan migrasi yang sulit ke Makkah. Dia memastikan bahwa anaknya harus menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai fokus pemuda itu. Dia pergi keluar begitu jauh untuk mengumpulkan Hadits Nabi dan menyusun buku Hadits yang berada di sebelah Al-Qur’an dalam keasliannya. Ibunya memberinya nama Muhammad ibn Ismail, dan banyak dari kita saat ini mengenalnya sebagai: al-Imam al-Bukhari!

Saudaraku, seberapa sering petani menanam gandum dan tumbuh sebagai bunga matahari? Anda mungkin berkata, tidak pernah! Bagaimana bisa seseorang menanam benih sebuah tanaman dan mengharapkan beberapa tanaman lain untuk tumbuh. Itu tidak pernah terjadi. Demikian pula, beberapa orang tua meninggalkan anak-anak mereka di depan televisi, musik, film, dan teman-teman yang tidak terpercaya. Kemudian ketika anak mereka mencapai usia SMA, anak mereka meminta untuk pergi ke pesta dansa acara perpisahan dengan pacarnya, atau ketika ia memasuki Universitas dan berhenti berdoa, atau ketika ia menikah dengan non-Muslim dan mereka tinggal bersama, maka orang tua berkata, “Apa yang terjadi? “


Ilustrasi
Saudaraku, itu adalah panen dari apa yang kita tanam. Jika kita tidak mendidik anak-anak kita untuk taat, apa kita mengharapkan mereka untuk belajar? Jika kita tidak berlatih Islam untuk diri sendiri, akankah kita menjadi contoh anak-anak kita? Bagaimana bisa Anda mengajarkan anak untuk bangun di waktu Fajar, ketika anaknya sendiri melihat ayah dan ibunya masih tertidur, hari demi hari? Anda mungkin bertanya, bagaimana cara membesarkan anak-anak kita untuk menjadi Muslim yang baik dan taat kepada orang tua mereka? Pertimbangkan hal berikut:

Pertama: Orang tua harus mendisiplinkan anak-anak mereka sepanjang masa muda mereka. Hisyam bin ‘Abd al-Malik tidak menemukan anaknya selama shalat Jum’at di suatu minggu. Ketika ia bertemu kemudian, ia bertanya, “Mengapa kau melewatkan shalat Jum’at?” Anaknya menjawab, “keledai saya tidak bisa melakukan perjalanan.” Ayahnya kemudian berkata, “Tak bisakah kau berjalan?!” Untuk satu tahun setelah itu, Hisyam bin ‘Abd Al-Malik membuat anaknya berjalan menuju shalat Jum’at.

Kedua: kesalehan ayah dan ibu sampai kepada anak-anak. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan kita tentang kisah Khidir, dan bagaimana ia membangun tembok untuk 2 anak yatim,

{Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota. Di bawah itu adalah harta milik mereka dan ayah mereka adalah orang yang benar …} (Al-Qur’an, Al-Kahfi [18]: 82)

Lihat saja bagaimana Allah melindungi anak yatim ini karena kesalehan ayah mereka. Dalam pendapat terkait ayat ini, ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah kakek mereka tujuh generasi.

Terakhir, saya akan akhiri dengan satu perkataan dari Sa’id bin Jubair. Dia mengatakan,
“Saya sering memperpanjang Shalat saya demi anak saya, semoga dengan itu Allah dapat melindunginya.” [Muhammad ash-Shareef]

Sumber : IdealMuslimah.Com

Posting Komentar untuk "Kita Menuai Apa Yang Kita Tanam Dalam Diri Anak"

close