Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khilafah Menghapus Kapitalisme Neoliberal

Negara sejatinya adalah institusi besar yang menghimpun dan mengikat individu-individu untuk meraih tujuan-tujuan kebaikan dan manfaat bersama. Negara bukanlah milik segelintiran elit yang bebas menyedot keuntungan pribadi dan golongan. Karena jika seperti itu, maka tentu ada pihak yang mengeksploitasi dan pihak yang dieksploitasi. Pihak yang mengeksploitasi adalah minoritas (birokrat dan korporat) dan yang dieksploitasi tentulah mayoritas (rakyat).

Awalnya Indonesia dibentuk untuk memutarbalikkan kondisi dari terjajah menjadi bebas merdeka. Tujuan-tujuan umum pembentukannya adalah meraih kesejahteraan lewat pemaksimalan potensi dan seluruh sumber daya yang dimiliki Indonesia. Tapi dalam kondisi awal pembentukan dan pejalanan roda kenegaraannya, Indonesia tidak mampu mulus dalam meraih tujuan-tujuan tersebut. Karena harus disadari jika era kolonialisme tidak benar-benar pergi dari tanah Indonesia. Mekanisme kolonialisme tetap menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Ini bisa diliat dari masih betahnya perusahaan-perusahaan asing berdiam di Indonesia. Ini berkat suksesnya transformasi kolonialisme menjadi neokolonialisme atau neoliberalisme, yang merupakan cabang politik ekonomi kapitalisme.

Khilafah Menghapus Kapitalisme Neoliberal
Perusahaan-perusahaan asing atau sering juga disebut MNC (Multi National Corporate) menguasai mayoritas sektor-sektor vital Indonesia seperti sumber daya alam, perdagangan, perbankan, industri, dan sektor-sektor lain . MNC-MNC ini menjadi pengganti pangkalan-pangkalan militer untuk melanjutkan penjajahan di Indonesia. MNC bekerja dengan pola kerja yang lebih efesien dan tepat sasaran, meninggalkan cara-cara lama dan boros seperti pendudukan wilayah dan pengerahan kekuatan militer.

Maka dalam sejarah penjangnya, Indonesia telah mengambil haluan politik ekonomi yang bercorak neoliberal dan meninggalkan ekonomi kerakyatan teronggok berdebu dalam lembaran sejarah. Hal ini tidak bisa ditolak, sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag Belanda tahun 1949, Indonesia dipaksa membayar utang kepada pemerintah Belanda sebasar 4,3 milyar gulden. Dalam masalah utang-piutang itu Indonesia dipaksa berurusan dengan utang yang didiktekan Belanda, jeratan bunga utang dan masa pelunasan utang tanpa batas. 

Hal itu menekan keras pemerintah Indonesia untuk melaksanakan dua poin KMB selanjutnya, yaitu membagi konsesi pengelolaan sumber daya alam dan roda perekonomian di Indonesia kepada perusahaan asing dan tunduk patuh pada kebijakan moneter yang digariskan IMF. Dari sini semakin mapan jeratan neoliberalisme di Indonesia, ini masih ditambah dengan suap yang merusak moral dan mental pejabat-pejabat Indonesia. Apalagi semenjak amandemen Pasal 33 UU 1945 yang merupakan fundamen ekonomi kerakyatan pada tahun 2002, semenjak itu landasan neoliberisme di Indonesia semakin empuk. Dari lobi-lobi neoliberalisme lahir pula regulasi-regulasi jahat lain seperti UU no 27 tahun 2003 tentang panas bumi, UU no 30 tahun 2007 tentang energi, UU no 4 tahun 2009 tentang minerba dan UU no 30 tentang kelistrikan. 

Untuk membahasnya memang tak cukup hanya lewat obrolan warung kopi atau menyimak berita di pagi dan malam hari. Butuh waktu, kesabaran, dan kejujuran dalam pembahasan dan pengkajian tentang fakta sebenarnya. Karena berbicara neoliberalisme tidak akan hanya berbicara penguasaan sumber-sumber kekayaan negara dan faktor-faktor produksi oleh asing, tapi lebih jauh dari itu pembahasan akan sampai pada pengaruh neoliberalisme pada pola pikir dan sikap masyarakat juga bagaimana masyarakat dibentuk lewat penyesatan opini umum.

Faktor-faktor yang membuat mulusnya agenda-agenda neoliberal di Indonesia dapat dipetakan dari pejabat-pejabat negara yang menjadi antek oleh asing, lemahnya pilar-pilar bangsa seperti aparat penegak hukum dan militer, dan opini umum yang dikembangkan di masyarakat. Sangat menyengat aroma aliran modal asing dalam setiap pergantian rezim. Kucuran modal asing adalah stimulus bagi calon pemegang rezim, mengingat memang mahalnya ongkos demokrasi. Maka terbentuklah relasi jahat antara pemilik modal dan pemegang rezim. Rezim yang sudah berkuasa harus membalas budi kepada pemilik modal dengan mengeluarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuluskan agenda-agenda neoliberal.

Mengambil contoh dari setiap penyusunan postur RAPBN, sekitar 70 % sumber APBN Indonesia adalah penerimaan pajak dan hanya sekitar 30% peneriman bukan pajak. Menjadi pertanyaan besar mengapa sektor penerimaan bukan pajak begitu minim, padahal Indonesia memiliki potensi dan sumber daya yang begitu melimpah. Dalam perpajakan juga terjadi masalah akut, ada puluhan BUMN yang menolak membayar pajak. Parahnya lagi perusahaan-perusahaan asing yang menunggak pembayaran deviden hingga bertahun-tahun. Tengok saja Freeport yang dengan enteng menolak tagihan deviden tahun 2012, 2013, dan 2013 dari kementrian BUMN. Tampak begitu mudah asing mendikte pemerintah Indonesia.

Inilah efek relasi jahat pemerintah dan pemilik modal. Penguasaan sumber daya alam, pasar domestik, dan faktor-faktor produksi yang sebagian besar dilego kepada asing. Akibatnya rakyat yang harus menanggung krisis energi, melonjaknya harga pangan dan komoditi pokok lainnya, menjamurnya pengangguran, susahnya mengakses pendidikan dan kesehatan, dan taraf hidup yang kian rendah.

Masih dalam postur RAPBN 2015, subsidi energi dianggarkan sebesar 365,5 triliun dengan pembagian subsidi BBM 259,5 triliun dan listrik 103 triliun. Jika dihitung-hitung memang terlihat anggaran subsidi yang cukup besar, tapi tidak lantas rakyat bisa senang. Karena besarnya anggaran subsidi itu justru untuk menebus kesalahan dan kesesatan pemerintah dalam pengelolaan sektor energi. 

Anggaran subsidi sebesar itu harus keluar bukan hanya untuk membiayai produksi BBM nasional, tapi juga untuk membiayai impor BBM karena minimnya produksi minyak nasional, menambal buruknya manajemen pertamina akibat dirusak mafia migas, membeli solar untuk bahan bakar generator disel PLN, dan pembiayaan energi lainnya. Ini akibat Indonesia tidak pernah mendiri secara energi. Maka ketika terjadi masalah, solusi malas dari pemerintah adalah menaikkan harga di sektor hilir energi.

Sesatnya bagi-bagi APBN juga terjadi di sektor-sektor tak penting lain, seperti anggaran perjalanan dinas pejabat yang naik delapan kali lipat dari 4 triliun pada RAPBN lalu menjadi 30 triliun pada RAPBN 2015. Ada apa dengan penjabat yang suka jalan-jalan ?, padahal tidak ada dampak signifikan bagi perbaikan aparatur Indonesia. Menjadi miris karena dalam RAPBN 2015 anggaran pertanian hanya 15 triliun. 

Melihat kondisi Indonesia yang sedemikian buruk, rakyat Indonesia seakan ompong tak punya daya. Selain karena mekanisme neoliberal bermain dibelakang layar sehingga sulit terungkap, juga ada upaya secara sitematis untuk mematikan potensi rakyat untuk melawan. Upaya sistematis itu bekerja lewat jalur pendidikan, pelemahan ekonomi, dan opini umum yang dikembangkan di tengah masyarakat. 

Pendidikan yang sulit diakses dan bermutu rendah memperlemah nalar masyarakat. Pelemahan ekonomi membuat masyarakat sibuk menyambung hidup dan apatis untuk tanggap pada isu-isu sosial. Dan opini umum yang tersaji dalam berbagai media juga jauh dari pencerdasan, karena paham media yang lebih menuhankan ratting. Jika sudah seperti ini maka cengkraman neoliberal dan kapitalisme di Indonesia tentu semakin kuat saja.

Cengkraman Kapitalisme Neoliberalisme 

Ideologi menjadi penentu besar dalam mengambil fundamen dan arah laju politik ekonomi suatu negara. Politik ekonomi yang bersumber dari ideologi yang luhur akan membangun relasi yang baik antara negara dan rakyat dalam meraih tujuan-tujuan dan manfaat bersama.

Hal ini belum terlihat dalam sekian puluh tahun perjalan politik ekonomi Indonesia. Sekalipun sering berganti-ganti haluan politik ekonomi, tetap saja tujuan-tujuan dibentuknya Indonesia tak pernah tercapai. Justru ini semakin menguatkan jika Indonesia tidak pernah memiliki jati diri ideologi yang jelas. Corak politik ekonomi sosialisme dan kapitalisme yang pernah diukirkan di Indonesia hanya menjadi noda hitam dalam sejarah, ini karena menabrak ralitas dan bersifat ekploitatif kepada masyarakat. 

Untuk kapitalisme yang sekarang tengah bercokol, ukuran kesejahteraannya terletak pada pendapatan nasional (per capita income) bukannya kesejahteraan orang per orang. Dengan ukuran ini tidak diperhatikan lagi tercukupinya kebutuhan orang per orang dan distribusi kekayaan yang proporsinal. Melainkan cukup menjamin terjadinya produksi barang dan jasa, kemudian distribusi terjadi dalam mekanisme pasar yang kompetitif dan spekulatif. Untuk faktor-faktor produksi juga diberi kebebasan yang besar kepada tiap individu untuk menguasainya.

Hasilnya adalah jurang kesenjangan yang lebar di masyarakat. Data Bank Indonesia (BI) tahun 2014 mencatat bahwa 40 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang sebanding dengan kekayaan 60 juta rakyat Indonesia. Tingginya angka kesenjangan ini cukup menjelaskan kerusakan ekonomi neoliberal yang menjadikan kuantitas produksi barang dan jasa sebagai ukuran tersedianya kebutuhan masyarakat. Akhirnya angka-angka pertumbuhan ekonomi nasional sangat spekulatif jika didasarkan pada pendapatan nasional. Angka pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan rata-rata tidak menyentuh pertumbuhan ekonomi pada tingkatan makro dan akar rumput.

Dengan bangunan politik ekonomi seperti ini jelas menciptakan ketidakadilan dalam pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Para pemilik modal yang menguasai faktor-faktor produksi dapat dengan leluasa melipat gandakan kekayaannya. Sedangkan masyarakat yang lemah terus saja digilas oleh situasi. Dalam hal ini pemerintah tak akan bisa berbuat banyak. Karena sumber daya alam, pasar domestik, dan perdagangan sepenuhnya dikuasai asing selaku pemilik modal. Lebih dari itu adalah buruknya moral dan mental pemerintah karena menelurkan regulasi perundang-undangan yang memuluskan agenda-agenda kapitalisme neoliberal.

Solusi Politik Ekonomi Islam

Jika politik ekonomi sosialisme dan kapitalisme telah terbukti memperburuk wajah perekonomian Indonesia, haruskah kita kembali pada ekonomi kerakyatan yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 ?. Esensi dari ekonomi kerakyatan adalah penguasaan negara terhadap sumber-sumber kekayaan negara dan pengelolaan faktor-faktor produksi dengan asas musyawarah dan kekeluargaan, atau kita kenal dengan koprasi. 

Tapi tidak semua konsep yang terdengar baik akan baik pula dalam realitas penerapan. Ekonomi kerakyatan menjadi sumbang karena sejak awal dibangunnya Indonesia berasas pada ideologi yang salah. Itulah sekularisme, baik terpola dalam sosialisme pada rezim Soekarno maupun kapitalisme neoliberal pada rezim sesudahnya hingga saat ini. Ini juga bukan persoalan karakter asli masyaraat Indonesia, karena terpolanya sosialisme dan kapitalisme dalam politik ekonomi Indonesia adalah murni hasil rekayasa manusia, atau lebih karena faktor eksternal.

Karena itu konsep ekonomi kerakyatan tidak ditopang oleh struktur masyarakat yang kuat. Lemahnya karakter masyarakat Indonesia ini disebabkan tidak mapannya Ideologi yang diembannya. Dari ideologi yang rusak ini, konsep ekonomi kerakyatan selalu tumpul pada level aparatur negara yang memiliki idealisme buruk. Padahal aparatur negara adalah otak sekaligus mesin utama dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan. Jika aparatur negaranya sudah rusak, lalu benteng apalagi yang dimiliki negara dan rakyat ?. Maka menjadi wajar jika kapitalisme neoliberal bebas melakukan rekayasa sosial yang masyarakat.

Jika telah telanjang kerusakan sosialisme dan kapitalisme, maka tidak ada solusi lain selain politik ekonomi Islam, karena konsep politik ekonomi selain Islam hanyalah turunan atau wajah lain dari sosialisme dan kapitalisme. Islam bisa manuntaskan permasalahan-permasalahan akut di Indonesia saat ini, maka syarat pertama adalah terjadinya Revolusi Besar. Karena hanya menjadi ajang bunuh diri jika memaksakan perbaikan dari dalam sistem Indonesia saat ini. Tapi sebelum revolusi besar terjadi, terlebih dahulu politik ekonomi Islam harus menjadi pemahaman umum di kalangan rakyat Indonesia.

Politik ekonomi Islam memandang bahwa setiap orang wajib dipenuhi kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan memenuhi kebutuhan sekundernya. Dalam pemenuhan kebutuhan itu tidak akan dibedakan antara warga muslim dan warga non muslim, semua mendapat hak yang sama. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka harus tercipta iklim kondusif untuk menciptakan kesempatan dan lapangan kerja, karenanya Allah SWT berfirman, “Bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah” (QS al-jumu’ah [62]: 10). Agar dapat dipastikan setiap orang dipenuhi kebutuhannya dan menjalankan pekerjaan yang baik, maka interaksi yang terjadi dalam aktifitas itu harus berstandar pada nilai-nilai luhur yang bersumber dari dalil syar’i (al-Quran, as-Sunnah, dan sumber hukum Islam lain). Islam juga mengharamkan transaksi ekonomi yang tidak real dan permainan riba, Islam hanya meletakkan transasksi ekonomi pada dua sektor yatu barang dan jasa.

Dalam pemenuhan pandangan Islam terkait politik ekonomi ini maka Islam menetapkan tiga pilar. Pertama, konsep kepemilikan yang dibagi menjadi tiga yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kedua, pengelolaan kepemilikan tersebut. Kepemilikan individu mencakup sumber-sumber kekayaan yang bukan bagian dari fasilitas umum dan sumberdaya alam yang jumlahnya berlimpah, seperti tanah pertaian, rumah, kendaraan, industi makanan dan tekstil, dll. Sumber kekayaan ini bebas dikembangkan dan diolah oleh individu untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kepemilikan umum mencakup fasilitas umum dan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti jalan, sungai, laut, selat, terusan, panas bumi, tambang minyak, tambang emas, dan tambang mineral lain. Pengeloaan kepemilikan umum diarahkan kepada negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. kepemilikan umum haram dimiliki individu, swasta, terlebih asing. Maka dalam Islam sumber kekayaan dan faktor-faktor produksi tidak dibebaskan dimiliki individu, karena dari kebebasan itulah akan tercipta jurang kesenjangan di masyarakat. Ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api (HR Ibnu Majah).

Kepemilikan negara mencakup fai, kharaj, ghanimah, jizyah, ’usyur, BUMN yang dibentuk oleh negara dan harta lain milik negara yang tidak termasuk kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Pendapatan dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara inilah yang menjadi bagian dari APBN negara atau baitul mal. 

Ketiga, adalah distribusi kekayaan dan faktor-faktor produksi. Allah SWT berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59]:7). Lewat dalil ini Allah SWT menetapkan asas distribusi dalam tatanan ekonomi Islam. Distribusi kekayaan menjadi antitesa dari mekanisme produksi barang dan jasa yang dianut oleh kapitalisme. Dengan distribusi kekayaan maka negara akan melihat pertumbuhan ekonomi melalui tercukupinya kebutuhan individu per individu, jadi ukuran kesejahteraan bukan lagi pada terjadinya produksi dan tersedianya barang dan jasa di pasar juga bukan berdasarkan pendapatan nasional (per capita income). Dengan metode distribusi kekayaan ini akan mencegah terjadinya spekulasi pasar, penimbunan barang, dan monopoli pasar. 

Dengan politik ekonomi Islam ini akan memecah persoalan kusut yang ditimbulkan oleh kapitalisme neoliberal. Sumber-sumber kekayaan seperti sumber daya alam tidak mungkin lagi dipermainkan pemerintah dan pemilik modal, penguasaannya sepenuhnya oleh negara dan pemanfaatannya sebesar-besarnya untuk rakyat. Faktor-faktor produksi yang dimanfaatkan sesuai tuntunan Islam akan mengkondisikan pasar domestik Indonesia yang besar menjadi produktif untuk masyarakat Indonesia sendiri. Industri-industri manufaktur pun akan bergairah dengan iklim usaha yang baik, karena barang-barang impor akan diperketat untuk masuk ke pasar domestik Indonesia, para pelaku industri baik domestik maupun asing yang melakukan mopoli akan ditebas, dan menutup keran modal asing. Hasilnya peningkatan besar pada cadangan devisa negara dan pemanfaatan devisa sesuai tuntunan Islam yang mensejahterahkan.

Khilafah Negara Paripurna

Politik ekonomi bukan hanya soal penerapannya saja, tapi juga terkait dengan siapa yang menerapkan dan untuk siapa diterapkan. Tata kelola politik ekonomi juga adalah mengurus seluruh urusan rakyat, maka haruslah diikat dalam institusi negara. Islam memandang seluruh perbuatan manusia harus terikat dengan hukum syariat Islam. Maka Islam telah menetapkan model negara untuk mengatur interaksi dan aktifitas manusia, negara itu adalah Khilafah Islamiyah. 

Perangkat politik ekonomi Khilafah harus berdiri dengan seluruh perangkat-perangkat sistem lainnya. Dengan sistem pendidikan Islam akan menjamin masyarakat bisa menalar setiap masalah dengan cerdas. Dengan sistem hukum Islam akan menutup celah penyimpangan dan pelanggaran masyarakat dalam semua aktifitasnya. Dengan sistem pemerintahan Islam akan terbentuk aparatur negara yang jujur, bermoral, dan berintegritas. Dengan sistem sosial kemasyarakatan Islam akan menciptakan budaya masyarakat yang luhur dan berbudi. Kesemua perangkat sistem Khilafah ini saling terintegrasi dan saling menguatkan. Karena dasar masyarakat dibangun dari kesamaan perasaan, pemikiran dan peraturan, maka Islam adalah ideologi yang mampu membenahi perasaan, pemikiran, dan peraturan masyarakat.

Tidak boleh perekonomian yang kuat berada ditengah buruknya moral pemerintah dan masyarakat. Karena baik dalam aktifitas pribadi maupun negara, Islam menetapkan nilai ibadah dalam semua aktifitas itu. Maka tuntutan menegakkan Khilafah wajib bagi semua umat Islam dan tuntutan rasional lagi luhur bagi non muslim dan semua manusia. Untuk mengakhiri era kapitalisme neoliberal maka dentuman besar revolusi harus bergemuruh luas dan Khilafah bangkit menghapus puing-puing kapitalisme neoliberal, Allahu Akbar. [Arief Shidiq Pahany (Ketua Umum Gema Pembebasan Wilayah Sulawesi Selatan & Barat)]

Posting Komentar untuk "Khilafah Menghapus Kapitalisme Neoliberal"

close