Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebijakan Khilafah Terhadap Non-Muslim

Di antara upaya “kriminalisasi dan monsterisasi” yang dilakukan kelompok-kelompok penentang Khilafah Islamiyah adalah proganda-proganda keliru seputar perlakuan Khilafah Islamiyah terhadap non-Muslim; mulai dari isu penyeragaman keyakinan, pemaksaan orang kafir masuk ke dalam agama Islam, pengusiran, pembatasan hak-hak ekonomi dan politik secara mutlak, diskriminasi, serta propaganda lain yang tidak bertanggung jawab. 

ilustrasi 
Semua ini dilakukan untuk membangun sebuah image bahwa Khilafah Islamiyah dan syariah Islam merupakan musuh keragaman, keberagamaan, kebhinekaan dan kemanusiaan yang harus ditolak dan dijauhi. Padahal propaganda-propaganda sesat dan menyesatkan ini disebarluaskan secara tidak bertanggung jawab, disandarkan pada epistemologi yang rapuh, a-historis dan ditengarai sarat dengan agenda politik culas; yakni menghalang-halangi formalisasi syariah Islam dalam bingkai negara Khilafah Islamiyah.

Di sisi lain, banyak orang—khususnya para politikus dan negarawan—enggan mengusung propaganda penerapan syariah dan Khilafah Islamiyah. Alasannya, propaganda semacam ini sektarian, tidak universal, tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan non Muslim, bahkan dalam batas-batas tertentu dianggap memberangus hak-hak non-Muslim. Anggapan-anggapan miring seperti ini muncul, karena kebanyakan mereka belum memahami hukum Islam yang mengatur perlakuan Khilafah Islamiyah terhadap non-Muslim.

Perlakuan Khilafah Terhadap Non-Muslim

Non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslim, sejalan dengan ketetapan syariah Islam. Hak mereka sebagai warga negara dilindungi dan dijamin oleh Khalifah. Mereka juga diwajibkan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh konstitusi dan undang-undang negara Khilafah.

Perlakuan umum Khilafah terhadap non-Muslim dapat diringkas sebagai berikut:

[1] Khilafah Islamiyah tidak memaksa non-Muslim masuk Islam.

Islam juga tidak memberangus peribadatan-peribadatan mereka. Islam membiarkan orang kafir untuk hidup berdampingan dengan kaum Muslim selama tidak memusuhi dan memerangi kaum Muslim. Orang kafir yang hidup dalam Daulah Islamiyah (kafir dzimmi), mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim.   Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum Muslim. Bahkan Rasulullah saw menyatakan dalam banyak hadis, bahwa siapa menyakiti kafir dzimmi tak ubahnya menyakiti kaum Muslim. Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ اَذَى ذِمِّيًا فَأَناَ خَصَمَه يَوْمَ القِيَامَةِ، وَمَنْ خَاصَمْتُه خَصَمْتُه
Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat (Imam al-Jalil Abu Zahrah, Zuhrat at-Tafasir, 1/1802. Lihat juga: Fath al-Kabir, 6/48; hadis nomor 20038 [hadis hasan]).

[2] Kafir dzimmi tidak dipaksa meninggalkan agama mereka.

Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah. Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, kecuali jika hal itu merupakan syarat yang disebut dalam perjanjian.1 Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair:

وَكَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ: وَمَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِأَوْ نَصْرَانِيَّتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَة
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya. Mereka hanya wajib membayar jizyah (HR Abu ‘Ubaid).

Ketentuan ini juga berlaku bagi orang musyrik. Dari Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib berkata:

كَتَبَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى مَجُوسِ هَجَرَ يَدْعُوهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَمَنْ أَسْلَمَ قُبِلَ مِنْهُ، وَمَنْ لاَ ضُرِبَتْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ فِي أَنْ لاَ تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيحَةٌ وَلاَ تُنْكَحَ لَهُ امْرَأَةٌ
Rasulullah saw. pernah mengirim surat kepada Majuzi Hajar. Beliau mengajak mereka masuk Islam. Siapa saja yang memeluk Islam, diterima. Jika tidak, dipungut atas dia jizyah. Sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanita-wanitanya tidak boleh dinikahi (HR Abu ‘Ubaid).

Jizyah hanya dikenakan atas laki-laki yang telah balig. Dari Nafi’ dari Aslam Maula ‘Umar:

أَنَّ عُمَرَ كَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الأَجْنَادِ: أَنْ يَضْرِبُوا الْجِزْيَةَ، وَلا يَضْرِبُوهَا عَلَى النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَلا يَضْرِبُوهَا إِلا عَلَى مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمُوسَى

Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan agar mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah dari wanita dan anak kecil. Mereka juga tidak diperkenankan memungut jizyah kecuali atas orang yang telah tumbuh mawasi (pubis)-nya.”

Jizyah juga tidak dipungut dari orang-orang yang miskin, lemah dan membutuhkan sedekah2.

[3] Sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kaum Muslim.

Wanita mereka juga halal bagi kaum Muslim. Adapun selain Ahlul Kitab, sembelihan dan wanita diharamkan secara mutlak. Ini didasarkan pada ketetapan Rasulullah saw. kepada Majuzi Hajar:

فِيْ أَنْ لاَ تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيْحَةٌ وَلاَ تُنْكَحَ لَهُ امْرَأَةٌ
Sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya (Majuzi) tidak boleh dinikahi (HR Abu Ubaid).

Muslimah diharamkan secara mutlak dinikahi orang kafir, baik musyrik maupun Ahlul Kitab.3

[4] Dalam hal muamalah, kaum Muslim dipersilakan untuk bermuamalah dengan mereka sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

Kafir dzimmi boleh melakukan jual-beli dan syirkah dengan kaum Muslim. Kafir dzimmi juga boleh ikut berperang bersama kaum Muslim, tetapi perang (jihad) tidak wajib atas mereka.4

[5] Kafir dzimmi menjadi tanggung jawab negara.

Mereka berhak mendapatkan pelayanan, perlindungan dan perlakuan baik dari negara Islam. Inilah hukum-hukum tentang kafir dzimmi.

[6] Terhadap musta’min, orang yang meminta perlindungan keamanan, mereka juga diatur dengan ketentuan-ketentuan khusus.

Musta’min adalah orang yang memasuki negara lain dengan sebuah jaminan keamanan. Sama saja apakah orang yang memasuki negara lain itu kafir harbi atau Muslim. Jika seorang Muslim memasuki dar al-harbi dengan sebuah jaminan keamanan, maka kaum Muslim tidak boleh mengganggu apapun yang dimiliki orang tersebut. Sebab, kaum Muslim itu diperlakukan sesuai dengan syarat-syaratnya. Harta yang dia tinggalkan tidak boleh diambil, di-ghashab atau dimanfaatkan. Akan tetapi, harta itu wajib dizakati. 5 

Seperti halnya kaum Muslim boleh memasuki dar al-kufr dengan jaminan keamanan, demikian juga kaum kafir. Mereka boleh masuk ke dalam Daulah Islamiyah dengan jaminan keamanan.  Rasulullah saw. pernah memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir pada saat Penaklukan Makkah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Telah memberikan jaminan keamanan kepada orang musyrik dan beliau juga melarang mengkhianati orang yang telah diberi jaminan keamanan. Abu Said berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعْرَفُ بِهِ
Setiap orang yang berkhianat kelak akan membawa bendera pada hari kiamat yang dengan bendera itu ia akan dikenal banyak orang (HR al-Bukhari dan Ahmad).

[7] Daulah Islamiyah tidak akan memberikan ijin tinggal di Dar al-Islam selama 1 tahun.

Negara akan memberikan jaminan keamanan selama 1,2 bulan atau lebih. Mereka tidak diberi jaminan keamanan lebih dari 1 tahun. Jika mereka menghendaki tinggal lebih dari 1 tahun, maka mereka diberi pilihan: (1) tinggal di Daulah Islamiyah dengan membayar jizyah; (2) keluar dari Daulah Islamiyah. Jizyah dipungut dari mereka setahun sekali. Selama mendapatkan jaminan keamanan dari Daulah Islamiyah, mereka boleh tinggal tanpa membayar jizyah, kecuali jika mereka tinggal lebih dari 1 tahun. Jika akhir tahun mereka telah meninggalkan Daulah Islamiyah, mereka tidak dikenakan jizyah.6

[8] Jika kafir musta’min melakukan pelanggaran, akan diberlakukan hukum Islam atas mereka, seperti halnya ahludz-dzimmah, kecuali had syirbul-khamr.

Dar al-Islam merupakan tempat pemberlakuan hukum-hukum Islam bagi kaum Muslim, kafir dzimmi maupun musta’min. Rasulullah saw. pernah mengirim surat kepada penduduk Najran (mereka adalah orang-orang Nasrani):

أَنَّ مَنْ بَايَعَ مِنْكُمْ بِالرِّباَ فَلاَ ذِمَّةَ لَهُ
Sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang melakukan jual-beli dengan riba, maka tidak ada dzimmah (perlindungan) bagi dia (HR Ibnu Abi Syaibah, Mushannif fi al-Ahadits wa al-Atsar, 7/426).

Riba merupakan bagian dari hukum Islam. Rasulullah saw telah memberlakukan hukum ini kepada dzimmi yang melakukan praktik riba. Ini merupakan bukti bahwa kafir musta’min akan diperlakukan sebagai kafir dzimmi. 7

[9] Harta kafir musta’min terjaga, sebagaimana jiwa mereka.

Kaum Muslim harus mengganti harga atas babi, dan khamr mereka, jika mereka membunuh babi atau merusak khamernya. Diyat akan dikenakan atas siapa saja yang membunuh kafir musta’min tanpa sengaja. Bila dilakukan dengan sengaja, maka diberlakukan hukuman qishash.8

Jika musta’min meninggal di Daulah Islamiyyah, sedangkan pewarisnya ada di negara lain, hartanya tetap harus dijaga dan dikembalikan kepada pewarisnya dengan bukti dari kaum Muslim atau orang kafir.

Harta tersebut merupakan harta yang terjamin keamanannya sehingga harus diserahkan kepada orang yang berhak mewarisinya. Inilah hukum bagi musta’min.9

Terhadap kafir mu’ahad, yakni orang-orang kafir yang negaranya terlibat perjanjian dengan Daulah Islamiyah (negara Islam), maka mereka diperlakukan sejalan dengan isi perjanjian yang ditandangani oleh kedua belah pihak.

Terhadap kafirharbi—orang kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslim—maka sikap Daulah Islamiyah sangat tegas. Daulah Islamiyah akan memerangi mereka sampai mereka masuk Islam, atau tunduk di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah.

Khatimah  

Inilah hukum-hukum Islam yang mengatur hubungannya dengan orang-orang kafir.

Walhasil stigma buruk penerapan Islam yang dipahami oleh orang kafir akan segera tertepis jika mereka memahami secara mendalam hakikat penerapan syariah Islam dan keluhuran ajaran Islam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:
1       Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/237.
2       Ibid, hlm. 237.
3       Ibid, hlm. 239-240.
4       Ibid, hlm. 240.
5       Ibid, hlm. 234.
6       Ibid, hlm. 234-235.
7       Ibid, hlm. 235.
8       Ibid, hlm. 235.
9       Ibid, hlm. 235.

Posting Komentar untuk "Kebijakan Khilafah Terhadap Non-Muslim"

close