Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi ICMS 2014; Pendidikan Kapitalisme di Ujung Jalan

ICMS 2014 Jakarta
“Bangun tidur, makan, senang-senang, tidur lagi”, demikian ujar salah seorang kawan yang menyoroti siklus hidup generasi produktif umat Islam hari ini. Penulis sepakat. Keseharian manusia di era yang konon modern ini, secara umum memang seperti itu. Waktu dan energi, dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan naluriahnya.

Tentu, pada dasarnya, itu tak salah. Namun bila kemudian menjalani kehidupan untuk sekedar itu, maka lain lagi jadinya. Benar, manusia dikaruniai rasa lapar dan dahaga, maka patut baginya mencari makanan dan minuman. Benar, manusia dikaruniai hasrat seksual dan berkuasa, maka ada kalanya Ia perlu memenuhi keduanya. Benar, manusia dikaruniai rasa ingin memiliki ini dan itu, maka wajar bila Ia berusaha meraih apa yang ingin dimilikinya. Semuanya adalah tabiat manusia. Sebagai bagian dari sistem alam raya ini, Allah Swt sebagai Sang Maha Pencipta memberikan ketetapan atas itu semua.

Namun, manusia bukanlah hewan. Memang, sebagai makhluk lain yang tinggal di bumi, hewan dikaruniai berbagai kebutuhan dan naluri yang sama. Bila salah seorang rocker mengatakan bahwa rocker juga manusia, maka dapatlah dikatakan bahwa hewan juga makhluk hidup. Hewan dibekali potensi hidup yang sama sebagaimana manusia. Memiliki hasrat jasmaniah dan naluriah. Dan karenanya, mereka bertebaran di muka bumi untuk memuaskan kebutuhannya.

Bedanya, hewan yang kerap kali manusia hinakan, tak diberi tugas untuk memperjuangkan apapun, kecuali hanya sekedar untuk memuaskan hasratnya. Tak ada nilai yang perlu diraih, dan tak ada aturan yang perlu ditaati. Cukup berjuang untuk memuaskan segala hasrat jasmaniah dan naluriahnya, dengan siklus yang berulang-ulang hingga pada akhirnya nyawa mereka harus melayang pada waktunya. Namun, hewan tak bisa disalahkan atas cara hidupnya. Karena demikianlah tabiatnya. Mereka bebas hidup sesuai keinginannya.

Manusia tentu tak demikian. Mereka diharuskan memperjuangkan sesuatu yang lain. Lebih dari sekedar memuaskan hasratnya. Manusia perlu meraih nilai dan terikat dengan aturan yang digariskan Penciptanya. Ini karena, manusia dibekali akal untuk melakukan itu semua. Manusia tak bisa sekedar makan untuk memuaskan lapar. Mereka perlu memikirkan cara yang benar untuk meraih makanan, dan memilih makanan yang dibenarkan Penciptanya. Demikian halnya saat memuaskan hasratnya yang lain.

Pendidikan Pencetak Generasi Hewani

Teringat dengan sangat jelas, bagaimana statement seorang praktisi pendidikan yang penulis temui. Meskipun di Sekolahnya bekerja Ia termasuk Guru berprestasi yang kerap mencetak para siswa-siswi yang meraih medali olimpiade, namun Ia menyatakan bahwa saat ini institusi Sekolah itu tidak penting. Sebagai wahana utama pendidikan saat ini, Sekolah gagal memainkan fungsi utamanya sebagai ‘pabrik’ yang secara hakiki menelurkan manusia terdidik.

Dalam kacamata Islam, proses pendidikan dikatakan berhasil tatkala manusia berhasil memahami hakikatnya secara utuh. Bahwasannya, Ia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dan diberi tugas untuk menaati segala perintah serta menjauhi larangannya. Dan karenanya, selepas tiada, Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas yang telah dibebankan pada pundaknya oleh Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Dengan paradigma hidup yang demikian, maka secara alamiah akan muncul kesadaran pada setiap dada manusia, untuk memperjuangkan dan mencari nilai lain selain sekedar memuaskan hasrat jasmaniah dan naluriahnya. Yakni ridho Allah SWT.

Cetakan pendidikan yang benar-benar mendidik bukanlah manusia dengan karakter hewani yang hidup hanya untuk bertebaran mencari nikmat dunia dengan bebas sesuka hatinya. Akan tetapi, pendidikan hakiki adalah sebuah proses yang akan mengantarkan manusia yang memiliki tiga karakter dasar, yakni; yang kuat aqidahnya, yang Islam kepribadiannya, dan yang besar manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Tentu, ini bukanlah sekedar konsepsi khayali yang terkesan hanya omong kosong. Menciptakan sistem pendidikan yang dimaknai dengan konsepsi terdidik sebagaimana yang diurai di atas, adalah sebuah kondisi ideal yang selain berdasar pada kalam Ilahi, juga merujuk pada fakta histori. Generasi dengan ketiga karakter tersebut pernah secara simultan dan konsisten hadir mewarnai berabad-abad jalannya kehidupan. Yakni tatkala umat dipayungi sistem Khilafah yang mampu menjamin keberlangsungan sistem pendidikan Islam, maka kala itu pula mereka mampu meraihnya.

Lantas, ada apa dengan hari ini? Mengapa bisa pendidikan justru menghasilkan generasi ‘hewani’ dan jauh dari perwujudan manusia hakiki? Sesungguhnya, ini semua diakibatkan karena beberapa konsepsi yang salah, yang dibangun di tengah generasi muda Kita. Dimana semuanya bermuara pada penerapan Ideologi Kapitalisme.

Pertama; Pemisahan agama dari kehidupan (Sekularisme). Sebagai Ideologi, Kapitalisme memiliki pandangan mendasar mengenai kehidupan. Pandangan Kapitalisme merujuk pada paham sekularisme. Sebuah paham yang menuntut agar agama tak dilibatkan dalam kehidupan manusia di ruang publik. Peran agama direduksi menjadi sekedar pelepas dahaga spiritual belaka. Imbasnya, pendidikan sebagai bagian dari aktivitas di ranah publik, memproses manusia agar terdidik tanpa bimbingan agama yang komprehensif.

Sekularisme telah menjadikan manusia yang dididik di dalamnya menjadi makhluk yang tak mampu memahami dengan benar apa yang mesti diperjuangkannya. Tak ada hasrat suci untuk benar-benar tunduk dengan segala titah-Nya. Manusia diarahkan menjadi makhluk yang egois. Hidup hanya untuk sekedar memenuhi hasratnya saja. Cukup, dan tak lebih dari itu. Hilang sudah standar Islam dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Frasa ‘hukum syara’ menjadi asing dan kalah menghujam dibanding ‘hukum untung rugi’. Walhasil, Ia dengan mudahnya diotak-atik, bahkan diabaikan untuk membenarkan hasrat untuk selalu mendapatkan untung.

Dari sini, Kita tak perlu heran kegirangan melihat laku-lampah manusia yang menjadi cetakan pendidikan dengan paham seperti ini. Seks bebas bukan lagi hal yang tabu meski Allah Swt dengan tegas mengancam pelakunya dengan hukuman jilid dan rajam. Demikian halnya dengan khamr, tawuran sesama muslim dan yang lainnya. Ancaman neraka di mata manusia sekuler berubah menjadi sesuatu yang mirip berbagai mitos dan dongeng yang kerap diceritakan kakek-nenek di kampung halaman.

Kedua; Pemujaan terhadap nikmat duniawi (Materialisme). Sudah menjadi sebuah tabiat, bahwa manusia yang belum tertancap dalam dirinya aqidah dan syakhsiyah islam, menjadi sangat mudah terombang-ambing dengan kecenderungan yang dikembangkan di tengah-tengah kehidupan. Maka tatkala hari ini Kapitalisme menciptakan kultur hidup yang mengedepankan pemenuhan sebanyak-banyaknya atas nikmat duniawi, banyak manusia –termasuk kaum muslimin- yang tertipu. Mereka diajak berlomba untuk meraih ini dan itu. Sesuatu yang tak akan dibawa setelah mereka mati nanti.

Sungguh menyedihkan, bila kemudian anak-anak yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan dunia ini masih Kita biarkan untuk diarahkan dengan cara yang demikian. Tanyakanlah pada mereka, tentang cita-cita dan harapan terbesar mereka dalam kehidupan. Menjadi pilot? menjadi pengusaha? menjadi dokter? menjadi polisi? atau apa? Semuanya adalah hal yang bersumbu pada cita-cita menjadi orang yang mampu menggenggam kesenangan dunia sebanyak-banyaknya. Walhasil, sepanjang mereka dididik dalam peradaban Kapitalisme, obsesi utamanya hanyalah cita-cita dan harapannya yang demikian saja.

Adakah mereka bercita-cita menjadi seorang mujtahid yang mampu menjadi rujukan di tengah kaumnya? Adakah mereka bercita-cita menjadi mujahid yang menjadi bagian dari pasukan terbaik penakluk Kota Roma? Adakah mereka bercita-cita menjadi ilmuwan yang karyanya memberikan manfaat luas dan kemudahan ibadah bagi banyak kaum Muslimin? Adakah di antara mereka yang bercita-cita menjadi penulis yang zaman pun tak lekang mengenang tintanya sebagai amal jariyah? Bila ada, bersyukurlah. Karena artinya, anda meraih keberhasilan dalam menyelamatkan generasi harapan umat ini dari sistem hidup Kapitalisme yang rusak ini. Mereka adalah harapan sesungguhnya dari umat ini, yang memahami apa sesungguhnya yang harus diperjuangkan.

Ketiga;Pengabdian untuk Kapitalis. Sebagai penguasa hakiki dalam sistem kehidupan hari ini, Para Kapitalis (Pemilik Modal), memiliki banyak kepentingan atas generasi muda yang kini Kita harapkan. Bagi Kapitalis, mereka adalah manusia-manusia potensial yang dapat memainkan perannya untuk membantu memutarkan roda hegemoninya. Karenanya, mereka menghargai betul generasi muda yang hendak menjadi artis sinetron, penyanyi pop rock, dan berbagai role model yang menyesatkan prilaku generasi muda muslim lainnya sehingga tak terpikir untuk berjuang membangkitkan agamanya. Mereka juga sangat menghargai generasi muda intelektual yang berorientasi untuk mempertahankan Ideologi Kapitalisme dalam kehidupan sehingga dapat terus bertahan, dan yang lainnya. Tipuan uang atau jabatan akan menjadi ganjaran bagi mereka yang telah dibutakan oleh orientasi yang salah.

Akhirnya, menjadi jelas di mata Kita, alasan mengapa sebagian generasi muda muslim justru berjalan di atas jalan yang disadari atau tidak merusak agamanya sendiri. Mereka justru menjadi patok-patok dan benteng-benteng yang menguatkan tegaknya Ideologi Kapitalisme. Memperpanjang nafasnya, dan memberi makanan agar tetap dapat hidup dalam bertahun-tahun ke depan. Sedih rasanya melihat mereka, saudara seiman yang semestinya dapat menguatkan jalan Kita dalam menegakkan Ideologi Islam sebagai alternatif tunggal peradaban.

Ujung Jalan Kapitalisme

Penerapan konsep selalu beriringan dengan efek. Termasuk, bicara berbagai konsepsi yang kini ditanamkan oleh Para Ideolog Kapitalis, Kita akan menemukan bagaimana efeknya. Namun, penulis enggan banyak berbicara soal efek. Biarlah saudara yang menyimpulkan bagaimana efeknya. Toh, di luar jendela sana, saudara bisa menyaksikan sendiri soal realitas yang berkicau tentang efek buruk yang ditimbulkan oleh sistem pendidikan di bawah peradaban Kapitalisme.

Daripada lebih banyak berkicau tentang efek buruk itu. Lebih baik saudara saksikan bahwa sesungguhnya Kita masih punya harapan. Gelombang generasi muda yang menantang pongahnya sistem Pendidikan Kapitalisme semakin banyak bertebaran. Mereka mengerti mengapa kerusakan itu terjadi di sana-sini. Karenanya, mereka enggan terjebak dalam lingkaran kerusakan itu. Tak ada dalam diri mereka sebersit keyakinan bahwa Kapitalisme dapat diharapkan untuk mengantarkan generasi muda pada poros perjuangan hidup yang semestinya.

Merekalah para mahasiswa muslim, yang hanya percaya pada Islam dengan segala konsepsinya. Karenanya, aroma skeptisme dan intimidasi yang diberikan oleh para pengawal Kapitalisme tak menyurutkan tekadnya. Terselenggaranya ICMS (Indonesia Congress of Muslim Students) di 90 Kota/Kabupaten telah menjadi saksi, bahwa mereka siap untuk mewujudkan konsepsi Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Jumlah yang mencapai puluhan ribu mahasiswa, dari ratusan pergerakan kampus, semestinya sudah cukup untuk membuat takut para pengawal Ideologi Kapitalisme. Karena mereka bukanlah massa bayaran, mereka adalah masa idealis yang bergerak di atas landasan keyakinan yang shahih.

Mereka tahu betul, soal bagaimana semestinya Negara menciptakan sistem pendidikan. Soal bagaimana kebangkitan hakiki itu dapat diwujudkan di tengah kehidupan. Soal bagaimana mencetak generasi yang secara simultan dan konsisten membangun peradaban yang menawan. Maka, saksikanlah, bahwa dalam waktu dekat, merekalah yang akan mengubah haluan Ideologi Kapitalisme yang selama ini menyesatkan generasi muda dalam jalan kenistaan. Allahuakbar! Wallahualam.[Farhan Akbar Muttaqi, Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia]

Posting Komentar untuk "Refleksi ICMS 2014; Pendidikan Kapitalisme di Ujung Jalan"

close