Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Perayaan Natal Bersama


Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhori no. 7319)

Dalam riwayat dari Abu Sa’id al Khudri Rasulullah bersabda:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ» ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ

“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhori no. 7320)

Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy, menerangkan bahwa hadist no 7319 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat, sedangkan hadist no 7320 berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti mereka dalam masalah aqidah dan ibadah[1]. Oleh karena itu umat Islam perlu berhati-hati dalam mengikuti mereka, agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan tanpa disadari.

Merayakan Natal Bersama

Ada sebagian orang berpendapat bahwa hukum mengikuti perayaan natal bersama, mengirimkan bingkisan Natal dan mengucapkan selamat natal adalah boleh dengan syarat: niatnya hanya untuk menjalin silaturrahmi dan kerukunan serta mendo’akan nabi Isa as sebagai nabi dan rasul, bukan sebagai anak Tuhan. Tulisan ini akan memberikan pandangan yang berbeda dengan pandangan tersebut.

Memang secara tertulis kami tidak menjumpai yang membahas perayaan Natal secara khusus, namun secara umum sudah banyak ulama klasik yang membahas tentang larangan ikut merayakan hari raya orang-orang non muslim,  dan kalau kita masih yakin orang Nashrani adalah non muslim, bukankah hari natal masuk dalam kategori hari raya orang-orang non muslim, sehingga tercakup dalam larangan tersebut? ada beberapa hal yang mendasari pernyataan ini :

Pertama, firman Allah dalam QS. Al Furqan ayat 72 yang menyatakan salah satu sifat hamba Allah (‘Ibâdur Rahmân)

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ …

“dan (hamba-hamba Allah itu) tidak menyaksikan kepalsuan…”

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:

لَا يَحْضُرُونَ الْكَذِبَ وَالْبَاطِلَ وَلَا يُشَاهِدُونَهُ. وَالزُّورُ كُلُّ بَاطِلٍ زُوِّرَ وَزُخْرِفَ، وَأَعْظَمُهُ الشِّرْكُ وَتَعْظِيمُ الْأَنْدَادِ.

Tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebathilan. Dan az zûr adalah setiap kebathilan yang dihiasi dan dipalsukan, dan zûr yang paling besar adalah syirik dan pengagungan kepada berhala. Inilah penafsiran Adh Dhahhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas ra.

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas ra, maksud az zûr pada ayat tersebut adalah hari raya orang-orang musyrik.

Ibnu Juraij dan Mujahid menyatakan bahwa az zûr adalah kebohongan, Ali bin Abi Thalhah dan Muhammad bin Ali menyatakan bahwa maknanya adalah tidak bersaksi palsu. Ibnu Araby menyatakan: pernyataan bahwa az zûr adalah kebohongan adalah shahih, karena semuanya (baik bersumpah palsu, atau menyaksikan kebohongan) semuanya kembali kepada kebohongan.

Dalam pandangan Islam peringatan Natal adalah kebathilan/kebohongan dilihat dari dua segi: pertama peringatan natal adalah peringatan lahirnya nabi Isa as, yang diyakini sebagai salah satu oknum tuhan. Kedua tentang tradisi ini sendiri serta tanggal lahir nabi Isa as. Tradisi ini bukan asli kepunyaan umat nasrani—bukan ajaran Bibel, ataupun dari para “Rasul” mereka, yakni sahabat nabi Isa as. Perayaan ini berasal dari kebiasaan masyarakat penyembah berhala yang kemudian dikembangkan oleh gereja Roma. Menurut Catholic Encyclopedia tahun 1911 dibawah judul “Christmas” diterangkan: “natal bukanlah salah satu upacara gereja, upacara ini berasal dari Mesir yang dilakukan pada zaman penyembah berhala. Dari sumber yang sama, Origen, yang merupakan pelopor pendirian lembaga kepasturan mengakui bahwa : “… didalam kitab suci tidak ada seorangpun yang mengadakan perayaan besar-besaran untuk memperingati hari kelahirannya, hanya para penguasa kafir saja—yakni Fir’aun dan Herod—yang berpesta pora merayakan hari kelahiran mereka. Keterangan ini semakna dengan Encyclopedia Brittanica terbitan 1944. Begitu pula menurut analisa geografis dan geofisika, dikota Bethlehem pada tanggal 25 Desember sedang terjadi musim salju. Namun dalam Lukas 2:8 (lebih lengkap dalam Injil Lukas pasal 2 ayat 1 – 20, dan Injil Matius ayat 1-23) dikatakan bahwa pada saat Yesus lahir, para gembala sedang menggembalakan binatangnya. Jadi menurut Al Kitab sendiri Yesus jelas tidak lahir pada musim salju, karena tidak akan ada rumput-rumputan tumbuh pada musim salju.

Jelas bahwa majelis yang didalamnya ada pengakuan bahwa Isa adalah anak tuhan adalah majelis yang bathil dalam pandangan Islam, walaupun tidak ada kata-kata memperolok ayat-ayat suci Al Qur’an secara langsung. Bukankah kita juga dilarang menghadiri majelis minum-minuman keras walaupun yang hadir disitu adalah muslim, tidak ada yang mengolok-olok ayat Al Qur’an dengan lidah mereka, dan kita tidak ikut minum?. Dan tentunya menyekutukan Allah adalah lebih bathil daripada minum minuman keras.

Kedua, Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا

“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).

Walaupun hadits ini berupa pernyataan/ khabar/berita dan bukan dalam bentuk larangan, namun dapat difahami bahwa setiap umat mempunyai hari raya sendiri-sendiri, dan umat Islam tidak perlu ikut ikutan merayakan hari raya umat yang lain.

Ketiga, Imam Al Baihaqi dalam Sunan Baihaqi Al Kubra, juz 9 hal 234-235 meriwayatkan bahwasanya ‘Umar bin Khattab ra berkata : « …janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah orang-orang musyrik pada hari raya mereka » sedangkan dari jalur Sa’id bin Salamah dikatakan : »… jauhilah musuh-musuh Allah pada hari raya mereka ». Sedangkan Abdullah bin ‘Amru ra. mengatakan : « …barang siapa ikut merayakan hari Nairuz dan Maharjan dan menyerupai mereka sampai mereka mati (dengan tidak bertaubat) maka mereka akan dihimpun bersama mereka (Yahudi) pada hari kiamat » yang terakhir ini walaupun ditujukan untuk hari raya umat Yahudi, namun ini berlaku juga untuk hari raya umat Nashrani.

Ibnu Taymiyyah dalam Iqtidla’ Asy-Syirat Al-Mustaqim mengutip berbagai pendapat antara lain:
Imam Ahmad bin Hanbal: “ Kaum Muslimin telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nashrani…”.

Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farra’: “Kaum Muslimin telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”.

Imam Malik: “Kaum Muslimin telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya (Natal). Sedangkan makanan yang disajikan kepada kita oleh mereka sifatnya makruh; diantar maupun mereka mengundang makan”.

Dari semua hal tersebut diatas, jelaslah bahwa bagi kaum muslimin dilarang ikut merayakan Natal, apalagi yang dilakukan didalam gereja. Dan menurut hemat kami keputusan MUI tgl 7 Maret 1981, yang mengharamkan umat Islam merayakan hari Natal sudah tepat.

Adapun QS Maryam : 33  :

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Ayat ini kurang tepat kalau dijadikan bolehnya kaum muslimin merayakan natal, ayat tersebut hanya menunjukkan boleh-bahkan sunnah-nya mengucapkan selamat dan do’a untuk nabi Isa, bukan hanya pada saat dilahirkan, namun pada setiap saatpun boleh mendoakannya.

Memenuhi Undangan, Mengucapkan Selamat, dan Menerima Hadiah Pada Hari Raya Natal

Ikut merayakan Natal berbeda dengan menghadiri undangan mereka pada hari Natal (misal undangan makan, bukan peringatan natal) dan menerima hadiah mereka. Dalam hal ini dibedakan antara non muslim yang hidup dan tunduk dalam sistem hukum Islam (ahludz dzimmah) dengan kafir harbi.

Untuk kafir dzimmiy/ahludz dzimmah dibolehkan memenuhi undangan mereka pada hari raya mereka dan menerima hadiah (yang tidak diharamkan Islam) dari mereka, selama acara yang dihadiri bukan acara ritual dan makanan yang disajikan bukanlah sembelihan untuk persembahan kepada Al Masih atau disajikan di gereja. Begitu pula kegiatan jual beli dengan kafir dzimmi adalah halal. Yang diharamkan adalah menjual atau juga membelikan benda-benda yang terkait dengan syi’ar agama Nasrani, termasuk disini menjual bahan-bahan untuk ritual agama mereka semisal salib dst. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits tentang kebolehan bermuamalah dengan mereka. Bahkan kegiatan ritual mereka sama sekali tidak boleh diganggu oleh umat Islam, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa mengganggu mereka sama dengan mengganggu Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Al Mushannaf bahwa seorang wanita telah bertanya kepada Aisyah r.a. . Wanita itu berkata : “Sesungguhnya orang-orang Majusi (penyembah api) berlaku baik kepada kami dan pada hari raya mereka, mereka memberi hadiah kepada kami”. Maka ‘Aisyah menjawab : “Adapun yang disembelih untuk hari raya mereka, maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah apa yang berasal dari pohon-pohon mereka (buah-buahan)”.

Dengan demikian tidaklah apa-apa menerima hadiah dari kafir dzimmi pada hari raya mereka. Dan hukumnya sama saja dengan selain hari raya karena bukan termasuk kedalam syi’ar agama.

Adapun mengucapkan salam kepada mereka, ada riwayat dari Abu Hurairah r.a:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan nashrani … (HR. Muslim)

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah “wa’alaikum” (demikian juga dengan anda) (HR. Muslim dari Anas bin Malik)

Doa Bersama Antar Umat Beragama

Adalah lebih terlarang lagi kalau menghadiri prosesi Natal dan ikut berdo’a bersama mereka, walaupun ada yang berdalih tentang bolehnya do’a bersama antar umat berbagai agama, mereka menggunakan peristiwa Nabi yang mengajak orang Nasrani untuk berdo’a dalam rangka mubahalah. Dalih ini tidaklah tepat, karena do’a dalam mubahalah itu adalah dua belah pihak saling berdoa agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta.

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka Katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta [197]’.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 61)

Ayat ini jelas tidak tepat digunakan untuk do’a bersama umat lain yg dalam do’anya sama-sama meminta kebaikan. Allahu A’lam.

[1] فَحَيْثُ قَالَ فَارِسُ وَالرُّومُ كَانَ هُنَاكَ قَرِينَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَسِيَاسَةِ الرَّعِيَّةِ وَحَيْثُ قِيلَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى كَانَ هُنَاكَ قَرِينَةٌ تَتَعَلَّقُ بِأُمُورِ الدِّيَانَاتِ أُصُولِهَا وَفُرُوعِهَا 

Posting Komentar untuk "Hukum Perayaan Natal Bersama"

close