Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Jawab Soal] Ahlus Sunnah Menolak Khilafah?

Soal:
Ada yang mengklaim Ahlus Sunnah, tetapi tidak mau memperjuangkan Khilafah. Alasannya, perjuangan menegakkan Khilafah bukan bagian dari paham Ahlus Sunnah. Mereka juga tidak mempersoalkan hukum apa yang diterapkan oleh negara. Yang penting maqashid-nya. Benarkah demikian?

ilustrasi
Jawab:
Klaim ini jelas tidak benar. Pasalnya, tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan, bahwa menegakkan Khilafah tidak wajib. Berikut ini adalah pendapat ulama Ahlus Sunnah:

1- Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab Syafii:

وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُوْمُ بِهَا وَاجِبٌ بِالْإجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمُ اَلْأَصَمُّ
Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya wajib berdasarkan Ijmak meskipun al-Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak kewajiban Khilafah] (Lihat: Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah,hlm. 5).

2- Ibn Hazm (w. 456 H), dari mazhab Zhahiri:

إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ….
Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji’ah, semua Syiah dan semua Khawarij mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah) (Ibn Hazm, Al-Fashlu fi al-Milal wa Ahwa’ wa an-Nihal, IV/87).

وَاتَّفَقُوْا أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا النَّجْدَاتِ..
Mereka (ulama) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa harus ada seorang imam (khalifah), kecuali an-Najadat (Ibn Hazm, Maratib al-Ijma’, hlm. 207).

3- Imam Abu Ya’la al-Farra’ (458 H), mazhab Hambali:

نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَوْفِ بْنِ سُفْيَانَ الْحِمْصِيِّ(اَلْفِتْنَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ يَقُوْمُ بِأَمْرِ النَّاسِ).
Mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Imam Ahmad ra. dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Himshi berkata, “Adalah suatu ujian jika tak ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan urusan manusia.” (Abu Ya’la Al Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 19).

4- Al-Qahir al-Baghdadi (w. 469 H), mazhab Ahlus Sunnah:

وَقَالُوْا فِي الرُّكْنِ الثَّانِيْ عَشَرَ الْمُضَافِ إِلىَ الْخِلاَفَةِ وَاْلإِمَامَةِ: إِنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاجِبٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ، لِأَجْلِ إِقَامَةِ اْلإِمَامِ يَنْصِبُ لَهُمُ الْقُضَاةَ وَاْلأُمَنَاءَ، وَيَضْبَطُ ثُغُوْرَهُمْ، وَيُغْزِيْ جُيُوْشَهُمْ، وَيَقْسِمُ اْلفَيْءَ بَيْنَهُمْ، وَيَنْتَصِفُ لِمَظْلُوْمِهِمْ مِنْ ظَالِمِهِمْ
Mereka [ulama Ahlus Sunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada Khilafah atau Imamah, bahwa Imamah atau Khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar Imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah; menjaga perbatasan mereka; menyiapkan tentara mereka; membagikan fai’ mereka; dan melindungi orang yang dizalimi dari orang-orang yang zalim.” (Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firaq, I/340).

5- Imam al-Ghazali (w. 505 H), mazhab Ahlus Sunnah-Syafii:

فَبَانَ أَنَّ السُّلْطَانَ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ وَنِظَامِ الدُّنْيَا، وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ، وَنِظَامُ الدِّيْنِ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ اْلآخِرَةِ، وَهُوَ مَقْصُوْدُ الْأَنْبِيَاءِ قَطْعًا، فَكَانَ وُجُوْبُ اْلإِمَامِ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ الشَّرْعِ الَّذِيْ لاَ سَبِيْلَ إِلىَ تَرْكِهِ فَاعْلَمْ ذَلِكَ..
Jelaslah bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedangkan keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para mabi. Karena itu kewajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. Ketahuilah itu!(Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 99).

6- Al-Imam al-Quthubi (w. 671 H), mazhab Maliki:

وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ، إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ.
Tak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari syariah. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikuti dia dalam pendapat dan mazhabnya (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I/264).

7- Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H), mazhab Syafii:

أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ
Mereka [para Sahabat] telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, XII/ 205).

8- Ibn Taimiyyah (w. 728 H), mazhab Hanbali:

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ، بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِيْ آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِالْاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتىَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ” رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ … وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَوْجَبَ اْلأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلاَ يَتِمُّ ذَلِكَ إِلاَّ بِقُوَّةٍ وَإِمَارَةٍ
Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan. Pasalnya, manusia tak akan sempurna kepentingan mereka kecuali dengan berinteraksi karena adanya hajat dari sebagian mereka dengan sebagian lainnya…Tak boleh tidak pada saat berinteraksi harus ada seorang pemimpin hingga Rasulullah saw. bersabda, “Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat satu orang dari mereka untuk menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud, dari Abu Said dan Abu Hurairah). Ini karena Allah telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar, sementara kewajiban ini tak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/390).

9- Ibn Hajar (w. 852 H), mazhab Syafii:

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ.
Mereka [para ulama] telah bersepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan akal (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, XII/205).

10- Imam ar-Ramli (w. 1004 H), mazhab Syafii:

يَجِبُ عَلىَ النَّاسِ نَصْبُ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ، كَتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ…لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَلىَ نَصْبِهِ حَتَّى جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ، وَقَدَّمُوْهُ عَلىَ دَفْنِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ عَلىَ ذَلِكَ
Wajib atas manusia mengangkat imam (khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkan hudud mereka…Hal itu berdasarkan Ijmak Sahabat setelah wafatnya Nabi saw. mengenai pengangkatan imam hingga mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang terpenting, dan mereka mendahulukan hal itu atas penguburan jenazah Nabi saw. Manusia senantiasa pada setiap masa selalu berpendapat demikian (wajib mengangkat imam/khalifah) (Syamsuddin ar-Ramli,Ghayat al-Bayan).

11- Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili:

تَرَى اْلأَكْثَرِيَّةُالسَّاحِقَةُمِنْعُلَمَاءِاْلإِسْلاَمِوَهُمْأَهْلُالسُّنَةِوَالْمُرْجِئَةُوَالشِّيْعَةُوَاْلمُعْتَزِلَةُإِلاَّنَفَراً مِنْهُمْ، وَاْلخَوَارِجُمَا عَدَا النَّجْدَاتِ : أَنَّاْلإِمَامَةَأَمْرٌوَاجِبٌأَوْفَرْضٌمُحَتَّمٌ

Mayoritas ulama Islam—yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syiah dan Muktazilah (kecuali segelintir dari mereka) dan Khawarij (kecuali Sekte an-Najdat) berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, VIII/272).

Inilah pendapat seluruh ulama kaum Muslim, dari berbagai mazhab, khususnya Ahlus Sunnah. Selain itu juga ada pendapat ulama Syiah Zaidiyah:

12. Imam ‘Ali asy-Syaukani (w. 1250 H):

فَصْلٌ يَجِبُ عَلىَ اْلمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ إِمَامٍ: أَقُوْلُ قَدْ أَطَالَ أَهْلُ اْلعِلْمِ اْلكَلاَمَ عَلىَ هَذِهِ اْلمَسْأَلَةِ فِي اْلأُصُوْلِ وَاْلفُرُوْعِ… وقال: وَقَدْ ذَهَبَ اْلأَكْثَرُ إِلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ وَاجِبَةٌ …فَعِنْدَ اْلعِتْرَةِ وَ أَكْثَرِ اْلمُعْتَزِلَةِ وَ اْلأَشْعَرِيَّةِ تَجِبُ شَرْعاً
Pasal: Wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang imam (khalifah): Saya mengatakan, sungguh para ulama telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam perkara ushul dan furu’ (Asy-Syaukani, As-Saylu al-Jarar, IV/hal. 503). Beliau juga mengatakan, “Mayorias ulama berpendapat Imamah itu wajib…Karena itu menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, [Imamah/Khilafah] itu wajib menurut syariah.” (Asy-Syaukani, Nayl al-Authar, VIII/265).

Jadi, tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah, termasuk Syiah, Muktazilah, Murji’ah, Khawarij, juga Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri dan Zaidi, yang mengatakan Khilafah tidak wajib. Dari zaman dulu hingga sekarang, semuanya sepakat, bahwa hukum menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslim.

Ada yang berpendapat, bahwa yang wajib adalah mengangkat khalifah, bukan mendirikan Khilafah. Jawabannya, bahwa Khalifah tidak akan pernah ada, kecuali ada Khilafah. Alasannya, Khalifah adalah kepala negara yang mengepalai Khilafah. Menyebut kepala negara yang mengepalai republik dengan sebutan khalifah jelas keliru, karena manath-nya beda. Harus dicatat, setiap hukum mempunyai manath, dan setiap manath mempunyai hukum. Khalifah adalah kepala negara yang mengepalai Khilafah adalah manath. Karena itu kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah tidak akan gugur dengan pengangkatan seorang presiden. Khalifah dan presiden adalah dua fakta yang berbeda.

Jadi, yang tidak memperjuangkan Khilafah sebenarnya bukan pengikut Ahlus Sunnah, tetapi pengikut al-Asham yang Muktazilah dan an-Najadat yang Khawarij.

Mengenai hukum apa yang diterapkan oleh negara? Pendapat Ahlus Sunnah jelas, yaitu hukum syariah. Alasannya, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada syariah, bukan akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, sedangkan buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syariah (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu I’tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50).

Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Adhuddin al-Iji (w. 757 H) jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan celaan, serta pahala dan dosa, hanya syariah bisa menentukan, bukan akal (Al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah, yang menyatakan, bahwa akal bisa saja memutuskan baik dan buruk.

Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan hukum dengan bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan praktik Ahlus Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah.

Tentang maqashid, pandangan ini dinisbatkan kepada Imam asy-Syathibi (w. 790 H). Namun, Asy-Syathibi sendiri menegaskan, bahwa mendirikan Khilafah/Imamah hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga tidak pernah menggunakan maqashid sebagai alasan untuk menolak kewajiban mendirikan Khilafah (Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, I/127). WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Ahlus Sunnah Menolak Khilafah?"

close