Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kala Penguasa Menabrak Fatwa

“Sekulerisasi, liberalisasi dan pluralisme itu pada hakikatnya adalah berpaling dari petunjuk Allah SWT. Dan itu bukanlah jalan selamat.”

Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan keharaman pluralisme, liberalisme, dan sekulerisasi agama. Ini bukan fatwa baru. Fatwa itu lahir pada Munas VII MUI Juli 2005.

Jokowi Ucapkan Selamat Natal
Nyatanya, fakta menunjukkan yang sebaliknya. Penguasa tak menggubris fatwa tersebut. Ada yang agak takut-takut, tapi ada yang terus terang melabrak fatwa tersebut seperti yang terjadi di rezim baru ini.

Padahal MUI sebenarnya telah memberikan penjelasan yang gamblang tentang definisi isme-isme tersebut. Berikut penjelasan tersebut:

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuaid engan akal pikiran semata.

Sekulerisme agama adalah memishkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Berdasarkan hal itu, MUI menetapkan ketentuan hukum sebagai berikut:

  1. Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
  2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekulerisme dan Liberalisme agama.
  3. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain.
  4. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain lain (pluralitas agama), dalam maslah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang tidak saling merugikan.


“Sekulerisasi, liberalisasi dan pluralisme itu pada hakikatnya adalah berpaling dari petunjuk Allah SWT. Dan itu bukanlah jalan selamat. Sebaliknya merupakan jalan kebinasaan dan menuju kesempitan hidup,” kata Yahya Abdurrahman.

Ia mengutip firman Allah SWT: “dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka baginya kehidupan yang sempit…” (TQS Thaha [20]: 124)

Ibn Katsir menjelaskan di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: “yakni menyalahi perintah (ketentuan)-Ku dan apa yan telah aku turunkan kepada rasul-Ku, ia berpaling darinya dan melupakannya serta mengambil yang lain sebagai petunjuknya. “Maka baginya kehidupan yang sempit” yakni di dunia, tidak ada ketenteraman baginya dan tidak ada kelapangan untuk dadanya …”

Kontrol dan Koreksi Umat

Ibarat gunung, proses sekulerisasi, liberalisasi dan pluralisme sudah hampir mencapai puncaknya. Selama ini penguasa masih agak ragu-ragu untuk membuka kran liberalisasi, dan sekulerisasi karena terhalang oleh reaksi umat Islam.

Nah, rezim yang baru tampaknya sedang melakukan ‘test the water’—menguji kembali reaksi umat—terhadap proses tersebut. Ini bisa dilihat dari pernyataan yang berubah-ubah yang dikatakan oleh para pejabat negara.

“Di sini, umat itu diuji kepeduliaannya,” kata Yahya. Jika, rakyat melakukan kontrol dengan ketat, maka niat pemerintah bisa dihalangi. Sebaliknya, jika rakyat tak peduli maka pemerintah akan semaunya sendiri.

”Kontrol dari publik sangat penting. Juga betapa penting dan strategisnya aktivitas mengoreksi penguasa sehinga harus terus dilakukan oleh umat Islam. Semua itu mestinya makin memotivasi umat untuk terus melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa,” jelasnya.

Ia menjelaskan, kerusakan dan bencana itu bisa dicegah dan dihindari dengan jalan umat melakukan amar makruf dan nahi mungkar, apalagi jika umat mampu menjaga agar penguasa dan aparaturnya terus berada di atas kebenaran. Dan itulah aktivitas yang diperintahkan oleh Islam.

Nah, jika umat tidak melaksanakannya maka bencana akan menimpa umat seluruhnya, sebagaimana sabda Rasul SAW: “Tidak, Demi Allah, sungguh kalian harus memerintahkan yang makruf dan sungguh kalian melarang yang mungkar dan sungguh kalian menindak orang yang zalim dan sungguh kalian membelokkannya menuju kebenaran dan sungguh kalian menahannya dia di atas kebenaran, atau Allah membuat hati kalian saling membenci satu sama lain kemudian sungguh Dia melaknat kalian seperti Dia telah melaknat Bani Israil” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Ia mengingatkan, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa dan menghentikan kemungkaran dan kezaliman itu pada dasarnya merupakan bentuk kasih sayang dan untuk membantu pihak yang zalim agar menghentikan tindakan zalimnya dan pihak yang dizalimi agar terbebas dari kezaliman.

Tujuannya, untuk menyelamatkan semuanya dari kehancuran. Pada hakikatnya, aktivitas itu merupakan aktivitas menyelamatkan masyarakat dari kebinasaan. Rasul saw melukiskan itu: “Perumpamaan orang yang menegakkan ketentuan Allah dan orang yang melanggarnya ibarat satu kaum yang sama-sama naik perahu, sebagian di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Mereka yang di bawah jika ingin mengambil air melewati orang yang diatas. Lalu mereka berkata, “andai kita lubangi tempat kita dan kita tidak menyusahkan orang diatas kita”. Maka jika mereka membiarkan mereka dan apa yang mereka inginkan itu maka niscaya mereka binasa seluruhnya dan jika mereka menindak mereka, niscaya mereka selamat dan selamatkan mereka seluruhnya” (HR al-Bukhari)

Butuh Islam

Selama negeri ini menganut asas liberalisme dan sekulerisme, maka selamanya pula Islam akan disingkirkan. Orang-orang kafir akan leluasa berkuasa, baik secara langsung atau mengendalikan kaum Muslim yang duduk sebagai penguasa.

Maka, kata Yahya, tidak bisa tidak harus ada perubahan sistem. Sebab, pangkal kerusakan itu ada pada sistem yang menjadi pondasi bagi berlangsungnya pengelolaan negara. Sistem inilah yang akan menghentikan para penguasa kafir dan isme-isme dunia untuk menguasai kaum Muslim.

“Jadi koreksi penguasa saja tak cukup. Harus dilengkapi dengan aktivitas dakwah dalam rangka mewujudkan penerapan syariah Islam secara total di tengah kehidupan. Dan itu hanya sempurna di awah sistem khilafah rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian,” tandas Yahya.

Jika hal itu terwujud, jelasnya, itulah manifestasi dari keimanan dan ketakwaan penduduk negeri ini. Dan ketika itu maka keberkahan akan dibukakan dari langit dan bumi. Allah SWT berjanji: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS al-A’raf [7]: 96) [Humaidi] [www.visimuslim.com]

Sumber : Media Umat

Artikel dan Berita Terkait :
Rayakan Natal Menggunakan Sarung, Peci, dan Baju Koko, Jemaat Gereja Dikecam Publik

Posting Komentar untuk "Kala Penguasa Menabrak Fatwa"

close