Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Esensi di balik Kisruh KPK Versus Polri

Akhirnya Jokowi batal melantik BG (Budi Gunawan) sebagai Kapolri. Namun di sisi lain memberhentikan pimpinan KPK, AS (Abraham Samad) dan BW (Bambang Widjojanto) karena statusnya sebagai tersangka. Meski usai putusan diterimanya pra peradilan BG. "Saya putuskan Budi Gunawan untuk terus memberikan kontribusi terbaik bagi Polri agar makin profesional. Bisa diberikan dalam posisi dan jabatan apapun yang nanti diamanatkan padanya," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Rabu (18/2) kemarin. "jebakan hukum" yang kental dengan nuansa rekayasa politik.

ilustrasi
Semua orang tahu bahwa pimpinan Polri maupun KPK dibentuk di atas dasar kepentingan politik tertentu. Sebuah kepentingan untuk lebih memperkuat legitimasi status quo penguasa negeri ini. Dan struktur penting pimpinan tinggi Polri adalah Kapolri, Wakapolri dan Kabareskrim. Dulu Polri dibawah pimpinan Sutarman CS yang berafiliasi dengan Cikeas SBY. Sekarang Budi Gunawan, Badrodin Haiti, dan Budi Waseso (BW) dekat dengan Megawati di balik Jokowi. Tinggal menunggu fit and property, Badrodin Haiti (BH) akan menggantikan BG yang batal dilantik. Menurut info dari penasehat hukum BG, pilihan BH atas usulan BG. Sementara BW masih diharapkan tetap dalam posisi sebagai Kabareskrim. Meski menyisakan persoalan dugaan BH sebagai pemilik rekening gendut sebagaimana yang dialamatkan sama pada BG. Namun kuatnya mempertahankan kelompoknya BG sebagai pimpinan Polri yang dulu menjadi ajudan Megawati ini disinyalir sebagai upaya untuk menutupi kasus terungkapnya SKL BLBI. Yang sebagian pengamat menyebut sebagai bentuk kompensasi politik atas jadinya Jokowi sebagai RI 1. Hal itu ditunjukkan oleh beberapa indikasi diantaranya kesan dikte atas kebijakan BBM oleh Sofyan Wanandi atas Jokowi. Sebagaimana diungkap oleh Kwik Kian Gie dalam acara ILC TV One beberapa waktu yang lampau. Menunjukkan bahwa para taipan konglomerat tersangkut SKL BLBI di belakang Jokowi yang sukses mengantarkannya memiliki kepentingan besar. Hal ini bisa dilihat dari seberapa besar keseriusan pemerintah mengungkap kasus SKL BLBI pada akhirnya. Terungkap atau tidaknya akan sangat ditentukan oleh sinergi dan kolaborasi di antara lembaga penegakkan hukum yang ada. Kejaksaan, Polri dan KPK. Dalam logika status quo, kendali atas Polri dan KPK sebagai pilar pokok penegakkan hukum di negeri thogut ini akan sangat menentukan seberapa optimal terungkapnya kasus hukum yang menjadi sasaran. Dan sebaliknya seberapa rapi terbungkus atau teredamnya kasus hukum yang sengaja dibungkam atas dasar kepentingan politik penguasa. Keputusan Jokowi itu dilakukan di tengah pro kontra yang berkembang di tubuh DPR. elit politik,  dan masyarakat atas BG sejak pengangkatan hingga pembatalannya sebagai Kapolri. Di antara sengketa bebuyutan KPK versus Polri yang terkesan saling serang

Aroma politik kekawatiran terungkapnya kasus SKL BLBI itu nampaknya juga ditunjukkan oleh begitu penting dan perlunya pergantian komisioner KPK terutama jajaran pimpinan KPK. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masuknya AS menjadi pimpinan KPK atas usulan Demokrat. Sedang BW atas usulan Golkar. Hal itu terungkap dari penggalan dialog antara Karni Ilyas dengan Ruhut Sitompul pada acara ILC 3 Pebruari berjudul Sudden Death KPK versus Polri. Meski independensi komisioner atau pimpinan KPK terus diupayakan dibangun tetapi sulit rasanya dipisahkan adanya kepentingan politik tertentu terhadap formasi pimpinan atau komisioner KPK. Disinilah urgensi sebenarnya bagaimana idealisme mewujudkan KPK sebagai badan negara penegak hukum tipikor yang jauh dari kesan tebang pilih. Meski selalu dengan alasan klasik bahwa kinerja penanganan hukumnya mengikuti prosedur terutama seberapa ketersediaan alat bukti yang ada.

Sebagian pengamat menyebut ada 3 alasan di balik konflik bebuyutan KPK versus Polri. Pertama, lahirnya UU KPK adalah bentuk kritik atas kinerja penegakkan hukum 2 lembaga hukum yang ada sebelumnya. Polri dan Kejaksaan. Ini jelas-jelas merupakan serangan psikologis politis terhadap Polri. Kedua, opini publik membentuk semakin positipnya citra KPK. Sebaliknya masih sulitnya membangun citra positif Polri. Ditambah dengan kenyataan bahwa banyaknya capaian prestasi penanganan tindak tipikor yang berhasil diungkap oleh KPK. Ketiga, gaji yang diperoleh oleh pimpinan atau komisioner KPK jauh lebih tinggi daripada pimpinan Polri sebagai lembaga yang sama-sama menjadi penegak hukum.

Jika dicermati, bukan 3 alasan atau alasan lain menyeruak ke permukaan, sebenarnya yang memicu terjadinya KPK versus Polri. Tetapi nampaknya ada kepentingan besar bagaimana mengendalikan kedua lembaga penting negara itu untuk memenuhi political of interest penguasa beserta para kapitalis yang memback upnya. Berikut beberapa hal urutan sederhana untuk membantu memahaminya antara lain : Pertama, tidak mungkin bahwa BG yang sedari awal sudah ditandai merah pada saat penyusunan kabinet tetap dipaksakan diusulkan sebagai kandidat Kapolri jika tidak ada maksud. Dan pencalonan BG mendapatkan restu dari DPR baik dari KMP (Koalisi Merah Putih) maupun KIH (Koalisi Indonesia Hebat) kecuali Demokrat. Karena memang nuansa pencalonan gerbong BG Cs adalah untuk menggusur eksistensi Sutarman Cs yang berafiliasi kuat dengan Cikeas SBY. Tidak bisa dipungkiri ada nuansa pergesekan antara kelompoknya Megawati dengan SBY dalam konteks ini. Kedua, problem pencalonan tunggal BG yang kontroversial setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK inilah yang memicu konflik KPK versus Polri kemudian. Diawali dengan cerita tentang rumah kaca AS dari kompasiana yang diamini oleh si Hasto politisi dari PDI P. Berkembang kemudian penangkapan BW, penetapan tersangka AS dan dugaan kasus hukum atas komisioner KPK yang lain. Ketiga, ujung dari cerita panjang ini adalah tidak jadi dilantiknya BG. Namun dikabulkannya pra peradilan BG yang membebaskannya dari status tersangka. Dan dicalonkannya BH sebagai calon Kapolri baru. Sebagai orang dekat dan yang diusulkan oleh BG. Dimana BW (Budi Waseso) diisukan tetap sebagai Kabareskrim. Di tengah diberhentikannya AS dan BW sebagai pimpinan KPK.

Apa arti sesungguhnya semuanya ini. Adalah sebuah proses perjalanan panjang penuh dengan skenario politik. Dengan mengelola sebuah konflik KPK versus Polri untuk mengendalikan kedua badan penegakkan hukum negara ini. Menggunakan cara menentukan formasi pimpinan tinggi kedua lembaga ini sesuai dengan kepentingan politik penguasa melalui bargaining of power atau kompromi politik. Dimana hampir semua elit politik maupun elit penguasa negeri ini memiliki dugaan skandal kasus hukum masing-masing yang berpotensi digunakan sebagai kartu turf untuk menjatuhkan lawan politiknya. Tinggal menunggu momentum. Akhirnya pembahasan mengerucut kepada pentingnya segera dilantik Kapolri baru. Dan diangkatnya pimpinan KPK baru pengganti AS dan BW. Siapa calon Kapolri baru. Dan siapa pula pengganti AS dan BW. Dimana santer terdengar kabar munculnya nama Taufiequrachman Ruki dan Johan Budi. Semua itu akan sangat ditentukan oleh arah politik yang dikehendaki oleh para elit penguasa. Dari perkembangan fenomena kisruh KPK versus Polri nampaknya berujung pada beberapa target kasus hukum yang berusaha diredam karena mengancam eksistensi status quo antara lain : 1). Bagaimana memastikan kasus rekening gendut tidak dilanjutkan oleh KPK termasuk dugaan atas BG. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Taufiqurrahman Ruki baru-baru ini ketika ditanya tentang hal itu. “Di sana (KPK) kan ada ahli hukum Indriyanto Seno Adji, Adnan Pandu, Zulkarnaen. Nantilah mereka akan mempelajari dengan pendekatan profesi," ujar Taufiqurrahman yang akrab disapa Ruki, dalam perbincangan, Kamis (19/2/2015). Menurut Ruki, peluang dilanjutkan atau dihentikannya kasus Komjen Budi Gunawan kemungkinannya sama. "Probabilitasnya sama (untuk dilanjutkan atau dihentikan). Tidak ada peluang a, b, c. Saya tidak mau mendahului," kata dia. (Detik.com, Kamis, 19/02/2016). 2). Bagaimana mengamankan kasus SKL BLBI yang diduga melibatkan Megawati. 3). Bagaimana memastikan KPK tidak mengusut tuntas kasus Century senilai 6,7 T yang diduga melibatkan Indriyanto Seno Adji sebagai bentuk kompromi politik.

Karakter perilaku kekuasaan seperti ini memang menjadi tabiat para penguasa dan kapitalis penyokongnya di sistem politik manapun. Terutama rezim dan sistem Demokrasi di negeri ini. Yang membedakan hanyalah apakah hukum yang dipakai sebagai acuan adalah hukum buatan manusia atau Tuhan Pencipta Manusia. Jika hukum manusia yang dipakai maka hukum hanyalah menjadi alat dan tunduk pada kepentingan manusia. Namun jika hukum Tuhan Pencipta manusia yang dipakai acuan maka manusia tinggal menterjemahkan dan menjalankannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Jauh dari nisbi dan relatif. Jauh dari celah digunakan untuk memenuhi kepentingan politik penguasa. Karena ada aturan main yang dipahami kaedah penafsirannya secara baku oleh para faqih fiddin yang mukhlish. Dan hal itu hanya ada pada Islam yang memuat ajaran syareah, khilafah, dakwah dan jihad. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'alla di dalam Al Qur'an Surat Al-Maa-idah : 3 "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Wallahu a'lam bis showab. [Abu Fikri (Aktivis Revivalis Indonesia)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Esensi di balik Kisruh KPK Versus Polri"

close