Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerja Sama Militer Dalam Negara Khilafah


Kerja sama militer adalah kesepakatan-kesepakatan yang ditandatangani oleh dua atau lebih negara dalam bidang militer yang cakupannya meliputi butir-butir perjanjian yang telah disepakati. Misalnya, kedua negara terikat untuk saling memberikan bantuan militer, jika salah satu negara yang mengikat perjanjian tersebut diperangi oleh negara lain, atau memerangi negara lain.

Kerja sama ini kadang berupa pertukaran informasi, strategi, pelatihan militer, pertukaran pasukan, peralatan perang, dan lain sebagainya. Namun, kadang kerja sama ini bersifat menyeluruh, yakni melibatkan seluruh negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut, atau kadang hanya melibatkan beberapa negara yang terikat dengan perjanjian tersebut.  Kondisi seperti ini terjadi, jika salah satu negara yang mengikat perjanjian tersebut diserang oleh negara lain. Dalam kondisi seperti ini, kadang seluruh negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut diwajibkan untuk membantu negara yang diserang musuh, baik dalam bentuk mengirimkan pasukan, meminjamkan peralatan militer, memberikan bantuan konsultasi, dan lain sebagainya.   Namun, kadang tidak semua negara yang terlibat di dalam perjanjian tersebut melibatkan diri dalam pertikaian tersebut secara langsung, tetapi mereka bermusyawarah untuk memutuskan apakah turut mengumumkan perang terhadap negara agresor atau tidak.

Keputusan untuk mengumumkan perang terhadap negara yang menyerang salah satu negara yang turut menandatangani kerja sama militer tersebut didasarkan pada kepentingan masing-masing negara yang ikut menandatangani perjanjian tersebut.   Hanya saja, semua bentuk kerja sama militer ini mengharuskan setiap negara yang ikut menandatangani perjanjian itu untuk memberikan bantuan secara militer kepada salah satu anggota yang diserang musuh.

Pada dasarnya, kerja sama militer seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, dan sama sekali tidak mengikat umat Islam walaupun khalifah telah menandatangani perjanjian tersebut.  Karena kerja sama militer seperti ini menjadikan kaum Muslim berperang di bawah kepemimpinan orang kafir, dan di bawah bendera kufur.   Selain itu, kerja sama militer seperti ini telah menjadikan kaum Muslim berperang untuk melanggengkan eksistensi kaum negara kufur (negara kufur).  Semuanya ini merupakan tindakan yang diharamkan.

Seorang Muslim tidak boleh berperang, kecuali di bawah kepemimpinan kaum Muslim, dan di bawah bendera (panji) Islam.  Imam Ahmad dan Nasai telah menuturkan sebuah hadits dari Anas, bahwa dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian meminta penerangan dari api kaum Musyrik’ Maksud hadits ini adalah, “Janganlah kamu menjadikan api kaum Musyrik untuk menerangi kalian.”  Api di sini merupakan bentuk “kinayah” [kiasan] dari peperangan.   Orang-orang Arab Jahiliyyah telah menggunakan ungkapan ini untuk meminta bantuan militer kepada kaum yang telah menjalin pakta militer dengan mereka.  Karena itu,  hadits ini sebenarnya melarang kaum Muslim berperang bersama kaum Musyrik dan menggunakan panji mereka.

Kebijakan Khilafah

Berdasarkan fakta dan hukum kerja sama militer di atas, maka bisa disimpulkan, bahwa hukum asal kerja sama militer antara negara khilafah dengan negara kafir, secara mutlak haram. Ketika, negara kafir tersebut sebagai negara, dengan bendera dan posisinya sama-sama kuat dengan negara khilafah. Namun, jika negara kafir tersebut tunduk di bawah kepemimpinan dan bendera negara khilafah, di mana posisi khilafah kuat, sementara negara kafir tersebut lemah, sehingga meminta bantuan kepada Negara Khilafah, maka kerja sama seperti ini, menurut Dr Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya, al-Jihad wa al-Qital, hukumnya boleh.

Alasannya, karena Nabi SAW pernah menerima Bani Khuza’ah sebagai sekutu, setelah Perjanjian Hudaibiyyah, dan mengumumkan perang melawan kaum Kafir Quraisy, ketika Bani Bakar sekutu Quraisy menyerang Bani Khuza’ah. Dalam teks Perjanjian Hudaibiyyah disebutkan, intinya “Siapa saja yang ingin bergabung dalam akad dan perjanjian Rasulullah, maka dipersilakan. Siapa saja yang ingin bergabung dalam akad dan perjanjian kaum Quraisy, maka dipersilakan.”

Posisi Negara Islam dan kaum kafir Quraisy di sini jelas sama, sementara Bani Khuza’ah dan Bakar, posisinya berada di bawah keduanya. Ini bisa dijadikan dasar, bahwa ketika negara khilafah lebih kuat, sekaligus memimpin dengan kepemimpinan dan benderanya, maka entitas lain yang hendak bergabung dengan khilafah diperbolehkan. Kerja sama dengan Bani Khuza’ah ini juga dimanfaatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi alasan menyerang Quraisy. Inilah yang menjadi alasan Penaklukan Kota Makkah, tahun 8 H.

Namun, jika posisi negara khilafah lemah, atau setidaknya sama dengan negara kafir, terikat dengan kepemimpinan dan bendera mereka, atau setidaknya sama, maka kerja sama militer seperti ini termasuk dalam larangan di atas. Selain itu, kerja sama seperti ini juga bisa membahayakan negara khilafah. Inilah yang terjadi, ketika Khilafah ‘Utsmaniyyah mengikatkan diri dengan Jerman dalam kerja sama militer saat Perang Dunia I. Akibatnya, ketika Jerman kalah perang, maka Khilafah ‘Utsmaniyyah pun terkena imbasnya.

Karena itu, selain fakta kuat dan lemahnya negara mkhilafah ketika mengadakan kerja sama militer ini, Dr. Muhammad Khair Haikal juga menggunakan kaidah, “La dharar wa la dhirar fi al-Islam” [Tidak boleh ada sesuatu yang berbahaya dan membayakan dalam Islam] sebagai patokan. Jika kerja sama ini bisa membahayakan, atau mengantarkan negara khilafah dalam bahaya, maka kerja sama seperti ini haram. Contoh terbaik dalam kasus ini adalah Perjanjian AS-Uni Soviet tahun 1961. Dampak dari perjanjian ini, perang dingin memang berakhir, tetapi setelah Uni Soviet mulai lemah, AS mengubah kebijakannya terhadap Uni Soviet.

Kesimpulan

Dengan demikian, hubungan kerja sama militer antara negara khilafah dan negara kafir, bisa disimpulkan sebagai berikut:
  1. Hukum asal kerja sama militer negara khilafah dengan negara kafir, sebagai dua institusi negara, tidak boleh [haram].
  2. Negara khilafah juga tidak boleh meminta bantuan militer kepada negara kafir, sebagai sebuah negara. Namun, diperbolehkan meminta atau mendapat bantuan dari individu rakyat negara kafir, bukan sebagai negara [institusi].
  3. Negara Khilafah boleh melakukan kerja sama militer dengan negara kafir, sebagai sebuah negara, dengan syarat kepemimpinan dan bendera di tangan negara khilafah. Posisi negara khilafah juga lebih kuat dibanding negara kafir. Dengan syarat, kerja sama militer tersebut tidak membahayakan atau menimbulkan bahaya bagi negara khilafah.
  4. Jika kerja sama militer negara khilafah dengan negara kafir yang kepemimpinan dan benderanya di tangan negara khilafah tersebut bisa membahayakan atau menimbulkan bahaya bagi negara khilafah, maka hukumnya haram. [KH. Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kerja Sama Militer Dalam Negara Khilafah"

close