Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme Mengancam Negeri

Indonesia Terancam Neoliberalisme dan Neoimperialisme
Gaung Rapat dan Pawai Akbar (RPA) 1436 H membahana ke pelosok negeri. RPA yang mengangkat tema "Bersama Umat Tegakkan Khilafah" yang diselenggarakan pada Sabtu (30/5/2015) di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Senayan - Jakarta, dihadiri oleh sekitar seratus ribu kaum muslim dari berbagai kalangan mualai dari kalangan dosen, guru, pelajar, mahasiswa, insan media, pengusaha, ulama, mubalighah, pedagang sampai ibu-ibu majlis ta'lim. 

Salah satu orator yang mengisi RPA adalah Ustadz Farid Wajdi, beliau menyampaikan orasi yang bertema "Indonesia terancam Neo Liberalisme, Neo Imperialisme dan Separatisme". Dalam orasinya, beliau menyampaikan bahwa Indonesia memiliki limpahan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Namun sayangnya, kekayaan alam yang melimpah itu belum dapat dinikmati rakyat Indonesia. Rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, akan tetapi juga dalam berbagai bidang yang lainnya, seperti bidang politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dsb. Semua kondisi ini disebabkan karena Indonesia saat ini tengah berada dalam kungkungan neoliberalisme dan neoimperialisme yang makin luas dan makin mencengkeram. 

Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik, seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Sehingga keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing. 

Kebijakan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM adalah bukti yang sangat kuat bahwa rezim ini lebih mendahulukan kepentingan asing dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun. 


Pada ranah legislatif, kita juga dapat melihat bagaimana intervensi asing juga terjadi dengan sangat nyatanya. Ada lebih dari 76 UU yang draft-nya diberikan dari pihak asing, seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga sedang dalam ancaman neoimperialisme.

Neoimperialisme dapat dikatakan sebagai penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, tapi kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan.

Neoliberalisme dan neoimperialisme ini berdampak sangat buruk bagi rakyat. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik, seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain. 

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan di saat kampanye atau sebelum pemilihan. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti Freeport, adalah bukti nyata diabaikannya aspirasi rakyat serta ketundukan pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal. 

Oleh karena itulah, jelas sekali negeri ini harus segera diselamatkan. Dan tak ada pilihan lain kecuali wajib diselamatkan dengan Islam. Yakni dengan penerapan syariah dan khilafah. Jadi, Save Indonesia with Sharia and Khilafah. Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah. []  Rep. Lilis Holisah [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme Mengancam Negeri"

close