Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Puasa Menuju Khilafah


Alloh SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS al-Baqoroh [2]: 183).

Sesungghnya puasa berpotensi mensucikan badan dan mempersempit jalan-jalan setan. Oleh karenanya, telah tetap dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hadis:

“يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”

“Wahai para pemuda,siapa saja di antara kalian yang sanggup biayanya, maka menikahlah. Dan siapa saja yang tidak sanggup, maka berpuasalah, karena puasa adalah benteng baginya”.(HR Bukhari [No. 5066] dan Muslim [No. 1400] dari Abdulloh bin Mas’ud).

Keterangan:

Firman Alloh, “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”, yakni para nabi dan umat-umatnya sejak Nabi Adam AS sampai hari ini, sebagaimana ditunjukkan oleh keumuman isim maushul (alladziena/orang-orang). Dari Ibnu Abbas dan Mujahid RA, bahwa mereka adalah Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Dan dari Hasan Bashri, as-Sudi danasy-Syi’bi, bahwa mereka adalah kaum Nasrani.

Firman Alloh, “agar kalian bertakwa”, yakni agar kalian menjauhi maksiat, karena puasa itu dapat mendiamkan syahwat sebagai induk maksiat, atau dapat memecah syahwat. (Tafsiral-Alusie, 2/121, Syamilah).

Sesungguhnya Alloh SWT telah memulai dengan berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian…” dan mengakhiri dengan berfirman, “agar kalian bertakwa”. Kondisi seperti ini sebagaimana firman-Nya pada dua ayat sebelumnya, yakni;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barang siapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa”. (QS al-Baqoroh[2]: 178-179).

Keterangan:

Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) sebanyak seratus ekor unta (sekitar milyar rupiah). Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan diakhirat dia mendapat siksa yang pedih.

Pada dua ayat diatas, Alloh SWT juga telah memulai dengan berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian…”, dan mengakhiri dengan berfirman, “agar kalian bertakwa”, sama persis dengan ayat tentang puasa di atas. Dan di dalam Alqur’an hanya ayat-ayat terkait kewajiban puasa dan qishash di atas yang berkarakter seperti itu. Ini menunjukkan bahwa kewajiban serta pungsi qishash sama persis dengan kewajiban serta pungsi puasa. Keduanya sama-sama diwajibkan agar kalian bertakwa. Dan terkait ayat qishash Alloh menambahkan kalimat, “Yaa ulil albaab” atau terjemahnya “hai orang-orang yang berakal”. Ini menunjukkan bahwa kewajiban serta pungsi qishash hanya bisa dipahami dan diterima oleh orang-orang yang berakal. Artinya membutuhkan kecerdasan lebih. Tidak seperti kewajiban serta pungsi puasa yang setiap orang yang beriman tidak kesulitan untuk memahami serta menerimanya.

Qishash adalah macam dari uqubat berupa jinayat, karena uqubat itu terdiri dari empat macam; hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. (Taqiyyuddien an-Nabhani, Nizhamal-Uqubat, 1/6, Syamilah).

Keterangan:

1. Hudud adalah uqubat (sanksi hukuman) yang ditetapkan oleh syara’ pada maksiat (kejahatan) untuk mencegah terjatuh pada maksiat yang sama. Sedang maksiat yang harus dijatuhi hudud itu ada enam; zina, homo (liwath),menuduh zina (qadzaf), meminum khamer, mencuri, murtad (keluar dari agamaIslam) dan bughat (pemberontak terhadap pemerintahan yang sah secara syara’(khilafah/khalifah) atau begal yang merampas harta benda dan membunuh.

2. Jinayat adalah penganiayaan terhadap tubuh yang mewajibkan qishash atau harta, kemudian jinayat dipakai untuk nama uqubat yang dijatuhkan terhadap penganiayaan itu.

3. Takzir (ta’zir) adalah uqubat terhadap maksiat yang tidak memiliki had dan tidak pula kafarot, untuk pelajaran dan membuat jera.

4. Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap peraturan negara (seperti peraturan lalu lintas), kemudian uqubat yang dijatuhkan atasnya dinamai mukhalafat.

Uqubat telah disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindakan melakukan kejahatan (jarimah). Alloh SWT berfirman; “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal”, yakni dalam pensyariatan qishash bagi kalian, yaitu membunuh si pembunuh, ada hikmah yang besar, yaitu keberlangsungan serta menjaga darah kehidupan. Karena ketika sipembunuh mengerti bahwa ia akan dibunuh, maka ia tidak akan berani melakukan pembunuhan. Maka pada kondisi yang demikian ada kelangsungan hidup bagi jiwa-jiwa yang tidak berdosa, karena pada umumnya kondisi orang berakal, ketika ia mengerti bahwa ketika ia membunuh maka ia dibunuh, maka ia tidak akan berani maju untuk membunuh. Dan seperti inilah karakter semua uqubat sebagai pencegah. Artinya dengan uqubat manusia akan tercegah dari melakukan tindakan kejahatan serupa.

Kejahatan (jarimah) adalah perbuatan buruk, dan perbuatan buruk adalah perbuatan yang telah ditetapkan buruk oleh syara’. Oleh karenanya, suatu perbuatan tidak dianggap sebagai kejahatan, kecuali ketika syara’ menetapkan bahwa perbuatan itu buruk, maka ketika itu baru dianggap kejahatan, dengan tidak memandang derajat keburukannya, yakni tidak memandang besar atau kecil kejahatannya. Sesungguhnya syara’ telah menjadikan perbuatan buruk sebagai dosa yang harus dijatuhi uqubat (sanksi hukuman) atasnya. Maka dosa adalah kejahatan itu sendiri. (Taqiyyuddien an-Nabhani, Nizham al-Uqubat, 1/1, Syamilah).

Uqubat di dunia itu harus ditegakkan oleh imam atau pengganti/wakilnya, yakni ditegakkan oleh negara (daulah), dengan menegakkan hudud, melaksanakan hukum-hukum jinayat, takzir, dan mukhalafat.

Uqubat di dunia bagi orang yang berdosa, atas dosa yang telah dilakukannya, itu menggugurkan uqubat di akhirat. Oleh karena itu, uqubat adalah pencegah (zawajir) dan penebus/pengganti (jawabir). Dikatakan pencegah, karena mencegah manusia dari perbuatan dosa dan kejahatan, dan dikatakan penebus, karena menebus uqubat di akhirat. Maka uqubat akhirat itu gugur dari seorang muslim dengan uqubat negara di dunia terhadapnya.

Dalilnya adalah hadis riwayat Imam Bukhari dari Ubadah bin Shamit RA, ia berkata:

“كنا عند النبي – صلى الله عليه وسلم – في مجلس فقال : بايعوني على أن لا تشركوا بالله شيئا ، ولاتسرقوا ولاتزنوا ، وقرأ هذه الآية كلها ، فمن وفى منكم فأجره على الله ، ومن أصاب من ذلك شيئا فعوقب به فهو كفارة له ، ومن أصابه من ذلك شيئا فستره الله عليه إن شاء غفر له ، وإن شاء عذبه”.

“Kami pernah satu majlis bersama Nabi SAW,lalu beliau bersabda: “Berbai’atlah kepadaku, atas dasar “Tidak menyekutukan sesuatu dengan Alloh, tidak mencuri, tidak berzina,…” (beliau membaca ayat itu sampai selesai). Maka siapa saja diantara kalian yang menepati bai’atnya, maka pahalanya disisi Alloh. Siapa saja yang menerjang sesuatu dari bai’atnya, lalu ia dijatuhi uqubat, maka uqubat itu penebus baginya (dari uqubat akhirat). Dan siapa saja yang menerjang sesuatu dari bai’atnya, lalu Alloh menutupnya atasnya,maka apabila berkehendak maka Dia mengampuninya, dan apabila berkehendak maka Dia menyiksanya”.

Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa uqubat dunia atas dosa tertentu, yaitu uqubat negara bagi pelaku dosa, itu menggugurkan uqubat akhirat darinya”. (Taqiyyuddien an-Nabhani, Nizham al-Uqubat, 1/3, Syamilah).

Pendalaman Materi:

1. Sesungguhnya puasa telah disyariatkan untuk mensucikan badan dan mempersempit jalan-jalan setan. Sedang uqubat telah disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindakan melakukan kejahatan.

2. Puasa  harus ditegakkan oleh imam batin, yaitu akal, karena akallah yang mengatur kebutuhan jasmani dan mengarahkan potensi kehidupan berupa naluri-naluri, untuk tujuan beribadah kepada Pencipta alam semesta termasuk manusia. Dan akallah yang mengarahkan hati agar selalu ikhlas beribadah kepada-Nya.

3. Uqubat harus ditegakkan oleh imam lahir, yaitu khalifah, karena hukum uqubat itu berlaku untuk seluruh kaum muslim di dunia yang terbukti melakukan kejahatan. Sedangkan raja dalam sistem kerajaannya yang terbatas tidak akan bisa menegakkan uqubat secara sempurna, apalagi terhadap seluruh kaum muslim. Juga pemimpin negara yang lainnya seperti presiden, tidak akan bisa, bahkan mustahil menegakkan uqubat, karena mereka bisa menjadi kepala negara nasional justru dirancang dan diarahkan untuk menolak penerapan hukum-hukum Islam termasuk uqubat.

4. Di samping ada kesamaan karakter dalil Alqur’an yang menjadi asasnya seperti telah dijelaskan di atas, juga ada kesamaan karakter dalil hadis dimana disebutkan padanya bahwa puasa adalah benteng (junnah) dan imam (khalifah) adalah benteng, sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ  رضى الله عنه ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليهوسلم قَالَ : « الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، … متفق عليه

Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Puasa adalah benteng,…”. (HR Bukhari [Shahih al-Bukhari, 7/170] dan Muslim [Shahih Muslim, 6/157], Syamilah). Dan hadis berikut;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: « إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ ». متفق عليه

Dari Abu Hurairoh RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya Imam adalah benteng yang dibuat berperang dari belakangnya dan dibuat perlindungan”. (HR Bukhari [Shahih al-Bukhari, 10/458] dan Muslim [Shahih Muslim, 6/17], Syamilah).

Akhir Kata:

Dari pemaparan di atas paling tidak ada tiga kesamaan antara puasa dan pelaksanaan uqubat oleh imam; 1) Sama dalam karakter dalil dari Alqur’annya, yaitu diserukan kepada orang-orang yang beriman dan berpungsi agar kalian bertakwa, 2) Sama dalam karakter dalil dari hadisnya, antara puasa sebagai benteng dari syahwat dan hawa nafsu dan imam pelaksana uqubat sebagai benteng dari kejahatan umat manusia yang telah menjadi budak hawa nafsu dan syahwat, dan 3) sama sebagai kewajiban dari Alloh-nya yang harus ditegakkan oleh imam, baik imam batin maupun imam lahir.

Dan masih ada satu kesamaan, yaitu sama-sama wajib diimani, diamalkan, dan diperjuangkan. Kalau dalam puasa kita harus melatih dan melibatkan anak-anak,maka dalam menegakkan khalifah dan khilafah yang akan menerapkan uqubat, kita juga harus melatih dan melibatkan anak-anak. Kalau dalam puasa kita harus menjaga dan menghindari dari hal-hal yang bisa membatalkannya atau menghilangkan pahalanya, maka terkait penegakkan khalifah dan khilafah, kita juga harus menjaga dan menghindari dari hal-hal yang dapat menggagalkan atau membelokkannya sehingga tidak menyimpang dari jalan yang lurus dan tidak kehilangan pahalanya. Kalau terkait puasa kita harus mempersiapkan uang dapur dan belanja lebih, maka terkait penegakkan khalifah dan khilafah, kita juga harus ber-infaq lebih. Dan kalau kita merasa berdosa besar karena meninggalkan kewajiban puasa, maka kita juga harus merasa berdosa besar karena tidak berjuang menegakkan khalifah dan khilafah untuk menegakkan uqubat yang diantaranya adalah qishash. Wallohu a’lam. [Abul Wafa Romli] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Dari Puasa Menuju Khilafah"

close