Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Quo Vadis Islam Nusantara


Presiden Jokowi kembali menegaskan gagasan Islam nusantara. Hal tersebut disampaikan dihadapan 40 ribu jama'ah Nahdlatul Ulama (NU) saat acara Istighosah Akbar dalam rangka menyambut Ramadlan 1436H di Masjid Istiqlal, Jakarta. Acara tersebut sekaligus menandai pembukaan Munas Ulama NU. Jokowi melalu sambutannya mengatakan "Alhamdulillah, Islam kita Islam nusantara, Islam yang sopan santun, penuh tata krama dan toleransi". Dilain kesempatan saat Jokowi ketemu dengan kepala-kepala negara lain, dirinya selalu menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar didunia. Sambil berkomentar "Untuk itulah kekuatan Indonesia,".(Jawa Pos, 15/15)

Membonsai Islam

Hal diatas menguatkan anasir kita bahwa sesungguhnya opini Islam nusantara sengaja dijadikan "komoditas" oleh rezim Jokowi, dengan menggaet legitimasi ulama khususnya melalui salah satu ormas terbesar di Indonesia. Apa yang sedang dimainkan rezim ini berupaya mengkampanyekan Islam nusantara berimbas pada sikap ketidakpercayaan diri terhadap wajah Islam yang sesungguhnya. Karena Islam, itu ya satu, Islam titik, Tidak boleh ditarik dan dilabeli dengan jargon-jargon sempit dan tendensius yang menyempitkan makna keuniversalan dan orisinalitas Islam. Islam adalah ajaran yang datangnya dari Allah Swt melalui Muhammad Rasullah Saw untuk mengatur hubungannya manusia  dengan Allah Swt dalam bentuk aqidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam bentuk muamalah dan uqubat serta mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam bentuk makanan, minuman dan akhlaq. Sebagai sumber hukum utama Islam berupa Aal-Qur'an dan As-sunnah serta yang ditunjukkan oleh keduanya berupa ijma' sahabat dan qiyas. Walaupun Islam yang bermula di tanah arab dan Al-Quran berbahasa arab lantas Islam dapat dilabeli sebagai Islam arab dengan segala coraknya. Sedangkan Islam yang masuk Indonesia, seenaknya sendiri dilabeli dengan Islam cap nusantara. Perlakuan ini sangatlah tidak sesuai dengan Islam. 

Kalau tadi Jokowi menyatakan bahwa umat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar didunia  sebagai kekuatan, maka jargon Islam nusantara justru mengecilkan kekuatan tersebut. Islam dan umat Islam tidak bisa dipisahkan. Ketika umat Islam yang besar justru dikerdilkan dengan Islam nusantara maka kekuatan itu akan sirna. Karena kita tahu bahwa Islam nusantara itu sebagai antitesa ( baca: dampak kekalahan intelektual) efek opini yang menyudutkan Islam oleh tangan-tangan barat.

Stigma Negatif

Istilah Islam nusantara tidak bisa dipisahkan dari imbas global stigma negatif terhadap Islam dan kaum muslimin. Dalam hal ini barat, berhasil membuat skenario untuk menciptakan opini bahwa Islam khususnya ditimur tengah berwajah seram. Merekalah dalang yang membuat kondisi timur tengah notabene poros peradaban Islam carut-marut penuh konflik dan darah sambil menampilkan simbol-simbol Islam. Simbol-simbol Islam inilah yang dilemparkan kepublik. Sehingga masyarakat dunia menangkap tengah Islam timur tengah tidak ramah, santun dan toleran. Disisi lain menggambarkan nusantara sarat dengan tradisi yang lebih toleran, moderat dan tidak radikal.

Selain itu, barat berupaya memberikan label-label tendensius kepada Islam. Seperti Islam tradisonalis, Islam radikalis dan Islam moderat. Tujuannya tidak ada lain memecah belah Islam. Sayangnya upaya itu menuai hasilnya. Beberapa konflik mulai muncul antar umat Islam. Masing-masing kelompok yang telah diklasifikasikan oleh barat bertengkar terhadap perkara yang tidak prinsipil atau perkara ushul yang tak perlu diperdebatkan. Itu semua sangat menyita perhatian umat Islam sampai memalingkan dari problematika utama yang sedang dihadapi oleh umat Islam yaitu mengembalikan kehidupan Islam. 

Barat berhasil memperpanjang umur peradaban kapitalisme dengan memukul mundur musuh utamanya yaitu Islam dan kaum muslimin. Sampai umat Islam terjangkit penyakit amnesia alias lupa diri. Lupa terhadap hakikat skenario global barat yang membuat carut marut negeri Islam, khusunya ditimur tengah. Sampai anggapan yang muncul, kesalahan ditimpakan kepada umat Islam timur tengah. Anggapan bahwa akar masalahnya karena umat Islam arab yang berIslam ala arab. Akhirnya, upaya penegakan syariah Islam dan khilafah selalu identik dengan kekerasan.

Meluruskan Pandangan

Kondisi salah faham yang tersistematisasi ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Umat Islam harus dijelaskan duduk perkaranya. Bahwa menganggap Islam nusantara sebagai upaya untuk meramahkan Islam adalah salah sasaran. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diluruskan terhadap pandangan keliru ini. Pertama, umat Islam harus dijelaskan tentang Islam yang sesungguhnya. Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islam bukan sebatas agama spiritual tetapi juga sebagai ideologi. Bukan pula Islam yang dibaca menurut kacama barat kapitalisme yang sekuler. Islam itu satu tidak bisa dikarakterisasi berdasarkan kultur dan budaya lokal. Islam datang justru ingin menghapuskan ajaran kufur dan budaya jahiliyyah. 

Kedua, umat Islam harus dijelaskan tentang sejarah peradaban Islam yang begitu agung dibawah naungan daulah Islam dan khilafah Islamiyyah. Sekaligus difahamkan tentang hubungan Islam dan negara yang sangat tidak bisa dipisahkan. Pola pembacaaan sejarah Islam juga melalui proses edukasi yang sistematis dalam kerangka yang positif. Ketika khilafah Islam menegakkan syariah secara kaffah maka batas-batas imajiner negara bangsa yang selama ini dikonstruksi oleh penjajah akan hilang. Syariah akan menjadi nafas budaya seluruh negeri Islam. Semua negeri melebur dalam satu khasanah Islam yang agung. Islam yang ramah hanya dapat muncul dari tangan peradaban Islam. Mustahil mengharap kerahmatan Islam dari peradaban kapitalisme. Sehingga Islam nusantara mustahil mewujudkan impiannya sebagai  Islam yang ramah dan toleran selama kebijakan hukum masih diberlakukan diatas hukum kapitalisme. Akhirnya Islam nusantara hanya menjadi boneka barat. 

Ketiga, perlu meningkatkan kecerdasan kesadaran politik umat Islam. Akibat dari sekulerisasi kehidupan yang panjang menimbulkan disparitas kesadran umat terhadap politik Islam sangat menganga. Sehingga, umat Islam buta memahami kejadian-kejadian politik yang bersliweran disekeliling mereka dengan suatu cara pandang yang khas yang sarat propaganda. Kesadaran politik dapat mengentaskan umat Islam dari kebodohan dan tidak mudah termakan oleh isu-isu murahan. Selain itu, kesadaran politik merupakan instrumen penting dalam membangkitkan umat Islam. [Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Quo Vadis Islam Nusantara "

close