Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Negeri yang Belum Merdeka Setelah 70 Tahun Hari Kemerdekaannya


Orang mungkin belum lupa, ketika Hizbut Tahrir Indonesia menggelar Rapat dan Pawai Akbar di bulan Rajab 1436 H yang lalu dengan tajuk, “Bersama Ummat Tegakkan Khilafah”, dengan tema sentral, “Selamatkan Indonesia dari Neo-Imperialisme dan Neo-Liberalisme”. Tema yang menggambarkan kondisi Indonesia yang sesungguhnya. Siapapun penguasanya, selama sistemnya sama, Indonesia tetap tidak akan berubah.

Tak lama setelah seruan ini, meletuslah Peristiwa Tolikara. Semua tahu, peristiwa ini hanya permukaan gunung es. Karena di balik itu semua menguak fakta adanya konspirasi global untuk melepaskan Papua dari Indonesia, yang selama ini sudah mereka kangkangi. Tak kurang ada 30 negara bermain di sana, dan mempunyai kepentingan bisnis yang tak terkira. Konflik SARA hanya senjata untuk memicu rencana besar yang sudah mereka rancang jauh sebelumnya. Lagi-lagi, penguasa dan negara tak berdaya.

Bulan Ramadhan 1436 H, kita juga dikejutkan dengan rontoknya Bursa Saham Cina. Ketika itu, penulis memprediksi, Cina akan mengalami krisis ekonomi, sebagaimana krisis tahun 1998 dan 2008. Karena faktor saham, PT, bank konvensional dan mata uang. Krisis pun akan melanda Indonesia, karena penguasa baru Indonesia baru saja mendatangkan investasi besar-besaran dari Cina. Jika Cina krisis, Indonesia pun sama.

Tapi, rupanya Cina mempunyai jurus untuk menyelamatkan krisis ekonominya, dengan mendevaluasi mata uang Yuan. Mendevaluasi, artinya nilai mata uang Cina diturunkan nilai tukarnya hingga mencapai prosentase tertentu, dengan mematok kurs mata uangnya.  Cara yang hampir mirip seperti ini pernah dilakukan oleh Malaysia, dengan menetapkan kurs tetap, 1 USD = 4 RM, di era Mahatir. Mahatir pun segera mereposisi cadangan USD-nya dengan Ponsterling, dan mata uang keras dunia yang lainnya. Buktinya, Mahatir berhasil keluar dari krisis, dan mengentaskan Malaysia dari krisis ekonomi tahun 1998.

Tapi, “jurus kungfu” Cina ini tentu mempunyai dampak bagi negara lain. Dahlan Iskan, dalam tulisannya, di Jawa Pos [13/8/2015], meramalkan akan terjadi perang mata uang, sebagai dampak devaluasi Yuan. Ternyata dampak langsung dari pematokan Yuan itu langsung dirasakan oleh Indonesia. Dolar terkerek naik, dan rupiah tertekan, karena banyak yang memburu dolar. Lihatlah, dari 1 USD = Rp. 13,400 menjadi Rp. 13,700 per dolar. Inilah yang dijadikan momentum oleh Jokowi-JK untuk merushuffle kabinetnya. Entah benar untuk menyelesaikan masalah perekonomian yang sedang bergejolak, atau karena kepentingan lain, nyatanya reshuffle justru menyisakan banyak masalah.

Kisah-kisah Di Balik Reshuffle 

Saat reshuffle diumumkan, banyak masyarakat yang bertanya, “Mengapa kog menteri ini yang diganti, yang itu tidak?” Misalnya, dari keempat Menko, semua diganti, kecuali Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan [PMK], yang dijabat Puan Maharani. Padahal, dari keempat-empatnya, justru yang selama ini menjadi sorotan adalah Puan. Tapi, justru dialah yang tidak diganti. Belum lagi, digantinya satu menteri di kementrian teknis, yaitu Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, yang justru dianggap kinerjanya sangat bagus.

Bahkan, Nasihin Masha, Jum’at [14/8], menulis panjang lebar tentang Rachmat Gobel. Dalam tulisan yang dibuatnya setelah bertemu RG itu mengungkapkan banyak hal, antara lain mafia tata niaga di Indonesia. Berikut ini:
“Problem tata niaga Indonesia adalah karena rantai distribusi yang terlalu panjang dan bersifat mafia. Ada kartel yang mengatur harga barang sesuai selera mereka. Karena itu, kita mengenal akrab sebutan mafia beras, mafia daging, mafia minyak goreng, mafia gula, mafia garam, mafia cabai, mafia bawang, dan seterusnya. Ada pula sebutan samurai dan naga. Intinya, distorsi tata niaga ini merugikan konsumen, petani, dan peternak. Pedagang kecil yang berada di ujung mata rantai pun bagian dari korban.
Tentu sangat aneh, negeri yang subur ini menjadi importir beras, jagung, daging, kedelai, gula. Bahkan, negeri dengan pantai yang termasuk terpanjang di dunia ini juga mengimpor garam dalam jumlah yang besar. Ini bukan karena peneliti tak menemukan varietas yang baik. Juga, bukan karena insinyur tak menemukan teknik bertani dan beternak yang bagus.
Ini semata-mata karena ada kartel yang membuat peternak dan petani terhuyung-huyung, bahkan pingsan. Petani dan peternak menjadi malas karena merugi atau untung tipis. Ada upaya menciptakan ketergantungan pada impor. Karena itu, situasi ini pada akhirnya merugikan bangsa dan negara ini.
Gobel menyatakan perang pada semua mafia itu. Bahkan, dia memanggil para samurai dan naga yang cuma berjumlah kurang dari hitungan jari tangan. Tak hanya itu, ia juga lebih menguatkan peran Bulog dan koperasi. Ini juga untuk memberi ruang bagi pedagang pasar untuk bisa untung dan jaminan pasokan.
Apalagi, ia memiliki program 5.000 pasar tradisional. Ini lebih adil karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Hasilnya cukup baik. Selama Lebaran, harga kebutuhan pokok stabil, tak ada lonjakan. Hanya harga daging yang naik. Daging memang yang paling rumit. Selain ini menyangkut makhluk hidup–ada masa pertumbuhan tertentu dan perkembangbiakan yang tak bisa masif dalam seketika–juga karena penguasanya adalah negeri kuat: Australia.
Dan, sepekan sebelum reshuffle, pukulan itu diberikan. Harga daging melambung tak terkendali, bahkan pedagang mogok. Begitu reshuffle dipastikan terjadi, hari itu juga daging ada lagi di pasar. Begitu terang benderang peperangannya.
Negara kalah, Merah Putih di bulan kemerdekaan ini tak bisa berkibar. Gobel dicopot.
Indonesia juga merupakan surga bagi penyelundupan dan banjir impor barang berkualitas rendah. Inilah yang juga ditata Gobel. Pintu-pintu penyelundupan diawasi ketat. Pintu-pintu masuk impor diatur ulang agar barang kualitas rendah tak bisa masuk, termasuk pakaian bekas yang memukul industri garmen rakyat. Cina adalah negeri yang terpukul kebijakan ini.
Memang, di tengah ekonomi global yang lesu, angka ekspor merosot. Namun, dengan mengerem laju impor, neraca perdagangan Indonesia tetap surplus. Salah satu legacy Gobel adalah pelarangan penjualan miras di minimarket.
Tentu, Gobel memiliki sejumlah kekurangan. Dia tidak atraktif saat berbicara, bukan hanya diksi dan intonasi, tapi juga ekspresi dan irama. Dia juga terlalu rendah hati untuk memanfaatkan media massa dalam mengekspos kinerjanya.” 

Di penghujung tulisannya, Nasihin Masha menuliskan, “Terlalu banyak menteri yang lebih layak dicopot, tapi Gobel tak punya daya politik. Itulah makna reshuffle kali ini.” Kalimat ini sekaligus menjelaskan apa yang tersirat di balik reshuffle kabinet. Apa yang dialami Gobel bukan hal yang baru. Sebelumnya, Rizal Ramli dan Kwik Gian Gie, sebagaimana yang dituturkan kepada penulis juga mengalami hal yang sama, saat keduanya menjabat sebagai Menko.

Ironi Setelah 70 Tahun Kemerdekaan

70 tahun merdeka bukanlah usia yang pendek. Usia 70 tahun bukan saja matang, tetapi sudah tua. Tapi, apalah daya, nyatanya di usia setua ini, bangsa dan negeri ini nyatanya belum merdeka. Secara fisik mungkin sudah, karena tak ada lagi penjajah yang menginvasi dan menodongkan senjata ke kepala kita. Tetapi, secara non-fisik, nyatanya belum.

Kisah Tolikara dengan Papua, tambang emas, Freeport, dan gerakan separatismenya, adalah fakta. Hancurnya mata uang Rupiah, dikuasainya 90% kekayaan alam Indonesia, dan cengkraman kartel dan mafia di seluruh Indonesia oleh asing dan aseng adalah fakta. Tidak berdayanya negara dan penguasanya di hadapan mereka di satu sisi, sementara begitu perkasanya mereka ketika menindak umat Islam di sisi lain, adalah fakta.

Masihkah kita menutup mata, bahwa bangsa dan negeri ini belum merdeka? Masihkah menutup mata, bahwa Indonesia yang diproklamirkan 70 tahun lalu merdeka itu faktanya belum merdeka? Iya, negeri yang dihuni mayoritas umat Islam ini nyatanya tak berdaya. Umat Islam lemah, terpinggirkan, bahkan nyaris tertindas. Mengapa? Apa salah mereka?

Jawabannya itu ada pada hadits Nabi saw. saat baginda memekikkan sabda di atas Jabal Ajyad, “Qulu kalimat[an] wahidah tu’thunaha yakhdha’ lakum al-‘Arab, wa yu’thi al-jizyata lakum al-‘A’ajim.” [Ucapkanlah satu kata, jika kalian memberikannya, maka seluruh bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan orang non-Arab akan membayar jizyah kepada kalian]. Nabi melanjutkan, “Qulu La Ilaha illa-Llahu Muhammad Rasulu-Llah.” [Nyatakanlah, tiada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah. Muhammad adalah utusan Allah].

Tepat, 13 tahun setelah itu, Nabi saw. mendapatkan kekuasaan di Madinah. Ketika La Ilaha illa-Llahu Muhammad Rasulu-Llah ini dijadikan dasar negara, dan hukum positif yang tak hanya mengatur kehidupan umat Islam, tetapi juga Yahudi dan Musyrik di Madinah. Hanya dalam waktu 9 tahun, seluruh Jazirah Arab tunduk dan menjadi wilayah Negara Islam yang dipimpin oleh Nabi saw. Setelah baginda saw. wafat, estafet kepemimpinannya dipegang oleh para Khalifah. Dua Emperium, Romawi dan Persia pun tunduk kepadanya. Apa yang disabdakan Nabi saw. pun terbukti.

Namun, setelah kalimat tauhid itu tidak lagi menjadi dasar negara, dan hukum positif yang mengatur kehidupan umat Islam, mereka pun hina dan tak berdaya. Negeri kaum Muslim yang mayoritas Muslim itu pun hingga kini tetap terjajah, setelah kalimat tauhid itu dicampakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tepatnya, setelah runtuhnya Khilafah, 3 Maret 1924 M.

Kalimat tauhid itu masih ada, dan menghujam di dalam dada-dada umat Islam, tetapi hanya digunakan saat beribadah mahdhah saja. Ketika shalat, puasa, haji dan zakat. Selebihnya, kalimat tauhid itu mereka campakkan entah ke mana. Lihatlah, saat umat ini melakukan aktivitas politik, pemerintahan, peradilan, ekonomi, sosial, pendidikan, sungguh jauh dari kalimat tauhid yang mereka ikrarkan. Mereka kemanakan, kalimat tauhid itu? Maka, wajar jika mereka tidak pernah memenangkan kontestasi. Kalau pun menang, tentu yang mereka hasilkan bukanlah sistem yang Allah titahkan.

Allah SWT berjanji memberikan kekuasaan kepada orang Mukmin yang melakukan amal shalih, jika mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun [Q.s. 24: 55]. Artinya, mereka harus benar-benar men-tauhid-kan Allah, bukan hanya dalam ibadah mahdhah mereka saja, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan yang lain. Kekuasaan bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang Allah titahkan. Itulah Khilafah Rasyidah. Kekuasaan yang akan mengakhiri penjajahan, dan mengembalikan kemuliaan umat Islam.

Tanpanya, negeri kaum Muslim terbedan ini pun tidak akan pernah merdeka untuk selamanya. Maka, pilihannya dengan Khilafah kita akan merdeka, atau tanpa Khilafah, dan selamanya kita akan tetap terjajah.

Merdeka dengan Khilafah.. Allahu Akbar..[ KH Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kisah Negeri yang Belum Merdeka Setelah 70 Tahun Hari Kemerdekaannya"

close