Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jaminan Kesehatan dalam Islam


BPJS sesungguhnya merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU yang sudah ada sebelumnya, yaitu No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). UU BPJS ini ini menetapkan ada dua jenis layanan BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014.

Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, disebutkan pembiayaan JKN berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasal 19 ayat 1 disebutkan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.

Dalam pasal 1 butir ke-3 UU No 40 Tahun 2004 disebutkan: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang sifatnya wajib.

Dengan demikian BPJS memiliki kewenangan untuk mengambil iuran secara paksa kepada rakyat dalam setiap bulannya, dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidupnya. Uang yang diambil tersebut juga tidak akan dikembalikan. Pengembaliannya hanyalah dalam bentuk layanan kesehatan yang mengikuti standar BPJS, yaitu pada saat sakit saja.

Konsekuensinya, jika rakyat tidak mau membayar maka akan dihukum oleh negara dengan sanksi, berupa denda sebesar 2% dan sanksi yang lain, yaitu tidak akan mendapat pelayanan publik, seperti untuk mengurus sertifikat tanah, mengurus IMB (Ijin Mendirikan Bangunan), mengurus ijin usaha, dsb. (Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI, 2013).

Dengan melihat konsep di atas, kita tentu layak bertanya: apakah konsep yang mendasari keberadaan BPJS di atas layak disebut sebagai konsep jaminan kesehatan oleh negara? Bukankah yang berlaku adalah sebaliknya, yaitu rakyatlah yang menjamin kesehatan dirinya, melalui iuran yang wajib selalu dibayarkan kepada BPJS dalam setiap bulannya?

Dengan demikian konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mendasari BPJS di atas sesungguhnya adalah konsep yang mengelabuhi rakyat Indonesia. Jika konsep BPJS itu dapat menipu rakyat, mengapa konsep tersebut tetap dipaksakan berlaku di Indonesia?

Jawabannya, karena konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digunakan oleh BPJS itu sesungguhnya berasal berasal dari WTO (Word Trade Organization), yaitu institusi perdagangan global bentukan Barat, pimpinan Amerika Serikat, yang wajib memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, yang disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) tahun 1994 (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak,” www.hizbut-tahrir.or.id).

Dengan kata lain, konsep yang melandasi lahirnya BPJS tersebut sesungguhnya muncul dari pandangan sistem ekonomi kapitalisme ala Barat. Sistem ekonomi ini memiliki pandangan bahwa penataan ekonomi yang “baik” adalah jika negara atau pemerintah tidak ikut campur dalam pengelolaan ekonomi. Semakin sedikit peran pemerintah dalam mengelola ekonomi maka negara itu akan semakin efisien dan efektif ekonominya (Samuelson, 1999).

Dalam sistem ekonomi ini, aktivitas ekonomi semuanya akan digerakkan oleh sektor swasta. Lantas apa kekuatan yang akan menggerakkan aktivitas ekonomi swasta ini? Yang akan menggerakkan adalah kekuatan mekanisme pasar, yaitu adanya the invisible hands (tangan-tangan yang tidak kelihatan), yang akan senantiasa mengatur titik temu antara kekuatan pernawaran (supply) dan permintaan (demand) secara otomatis, agar senantiasa menuju ke arah keseimbangan ekonomi (Deliarnov, 1997).

Konsep seperti inilah yang selanjutnya mendasari kelahiran BPJS. Negara tidak perlu mengurus langsung kebutuhan layanan kesehatan rakyatnya. Permintaan kebutuhan akan layanan kesehatan (demand) dari rakyat dengan sendirinya akan memunculkan penawaran (supply) pelayanan kesehatan oleh sektor swasta. Dalam hal ini, BPJS-lah yang akan berperan sebagai pihak swasta, yang telah ditunjuk oleh Pemerintah, untuk menjalankan “bisnis” asuransi kesehatan kepada rakyatnya.

Dengan kata lain, JKN pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak Pemerintah ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Institusi tersebut adalah BPJS (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak,” www.hizbut-tahrir.or.id). Corak layanan kesehatan dengan mekanisme pasar seperti ini saat ini lebih dikenal dengan corak layanan kesehatan ala ekonomi neoliberalisme.

Konsep JKN ala Barat itu akhirnya menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk UU SJSN (2004) dan BPJS (tahun 2011). Semua itu terjadi lantaran Pemerintah Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan melaksanakannya, melalui program yang disebut Structural Adjusment Program (program penyesuaian struktural) melalui LoI (Letter of Intent) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis tahun 1998 yang lalu (Arim Nasim, “SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial,” Tabloid Media Umat, Edisi 118, 20 Desember 2013 – 2 Januari 2014, hlm. 14).

Jaminan Kesehatan dalam Islam

Pandangan Islam dalam jaminan kesehatan sangat bertolak belakang dengan pandangan ekonomi neoliberalisme tersebut. Dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk dalam urusan kesehatan. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab Imam atau Khalifah (Kepala Negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:

فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Di antara tanggung jawab Imam atau Khalifah adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (primer) bagi rakyatnya secara keseluruhan. Yang termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi rakyat adalah kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

مَنْ أَصْبَحَ آمِناً فِي سِرْبِه، مُعَافىِ فِي بَدَنِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيا بِحَذَافِيْرِهَا

Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam hadis tersebut ditunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan primer atau dasar sebagaimana makanan. Dengan demikian keamanan dan kesehatan masuk dalam kategori kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, menurut pandangan Islam.


Bagaimana cara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya? Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara yang wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Ketentuan ini didasarkan pada Hadis Nabi saw., sebagaimana penuturan Jabir ra.:

بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بِنْ كَعَبْ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَّاهُ عَلَيْهِ

Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu (HR Abu Dawud).

Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Dalil yang lain dapat dipahami dengan maksud yang sama, sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhayn karya Imam al-Hakim. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata:

مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ مَرْضًا شَدِيْدًا فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيْبًا فَحَمَانِي حَتىَّ كُنْتُ أَمْص النُّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ اْلحَمِّيَةِ

Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464).

Hadis di atas juga menunjukkan, bahwa Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Kedua hadis di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.

Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Layanan kesehatan wajib diberikan diberikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang lagi strata ekonomi rakyatnya. Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.

Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa, sebab tanggung jawab pemimpin negara untuk memberi layanan pada rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah SWT. Hal itu telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:

فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun, hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Pasalnya, yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktik swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum kebolehan berobat dengan membayar dan dalil umum kebolehan jual-beli (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Penutup

Dari seluruh uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa adanya Jaminan Kesehatan Nasional, yang pelaksanaannya diberikan kepada BPJS Kesehatan, dapat dianggap sebagai bentuk pengambilan harta rakyat secara paksa (bukan atas dasar kerelaan). Padahal pengambilan harta rakyat secara paksa oleh BPJS tersebut dapat dikategorikan sebagai pengambilan harta di antara sesama manusia secara batil. Hal itu benar-banar dilarang oleh Allah SWT, melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perniagaan atas dasar suka sama suka (saling rela) di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).

Keberadaan Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS dapat juga dikategorikan sebagai bentuk kebohongan Pemerintah kepada rakyatnya. Sebabnya, yang senantiasa disampaikan kepada rakyat, program BPJS ini adalah sebuah bentuk layanan kesehatan yang gratis kepada rakyatnya, namun pada faktanya tidaklah gratis. Sebabnya, dalam BPJS pelayanannya berbasis asuransi, bukan pelayanan yang benar-benar gratis. Perilaku Pemerintah seperti itu sangat dicela oleh Rasulullah saw., melalui sabdanya:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Muslim).

Dengan demikian, jika kita mengharapkan adanya jaminan kesehatan yang benar-benar sesuai syariah maka kita tidak dapat berharap lagi kepada negara yang tidak menerapkan syariah. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, yakni Khilafah Islamiyah, bukan dari sistem yang lain. Sistem Khilafah inilah yang wajib kita ikuti dan kita tegakkan. Khilafahlah model pemerintahan yang dimanahkan oleh Rasululah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dwi Condro Triono, Ph.D] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Jaminan Kesehatan dalam Islam"

close