Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Tunjangan DPR


Kondisi ekonomi Indonesia kian lemah tak dirasakan dampaknya oleh anggota dewan. Setelah permintaan pembangunan klinik dan gedung baru. Kini tunjangan anggota DPR dinaikan. Pantas atau tidak, rakyat yang akan menilainya. Kritik tajam disampaikan Anggota Bdan Anggaran Fraksi Nasdem, Ahmad M Ali. Ia mengganggap bahwa dalam situasi perekonomian yang lesu dan minim prestasi, sangat tidak pas jika anggota DPR meminta kenaikan tunjangan. Bahkan legislator asal Sulawesi Tengah  menyebutkan bahwa tidak pantas memikirkan perut sendiri saat sebagian kalangan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) (Selasa, 15/9/2015, teropongsenayan.com)

Selain gaji dan tunjangan ternyata anggota DPR mendapat tambahan penghasilan. Salah satunya uang rapat. Uang yang diterima berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Besaran uang saku yang diterima variatif bergantung durasi atau lamanya waktu rapat. Selain itu antara rapat di gedung DPR dengan di luar gedung DPR juga tidak sama. Ada jiga uang saku setelah kunjungan selesai (Rabu, 16/9/2015, teropongsenayan.com).

Beberapa kondisi tersebut membuat hati rakyat kian geram. Bagaimana tidak, mereka yang mengaku sebagai elit dan wakil rakyat. Tak banyak yang peduli akan nasib rakyatnya. Sebaliknya, mereka berpesta di atas derita dan air mata rakyat. Ironis!

Buruk Rupa, Cermin Dibelah

Orang pun akan sesukanya menyebut anggota DPR. Masih teringat sebutan Taman Kanak-Kanak oleh Gus Dur. Ada benarnya juga melihat kondisi saat ini. Mereka pun merengek meminta apa pun layaknya anak kecil. Jika tidak terpenuhi anak kecil pun akan menangis bahkan ngambek. DPR bisa juga disebut Dewan Pembicaraan Rakyat. Tingkah polahnya tak lepas dari sorotan mata rakyat. Banyak pula yang mempermasalahkan dan menjadi bahan ejekan. Rakyat pun kian tak mau ambil pusing dengan tingkah anggota dewan.

Kondisi seperti ini memberikan cermin buruk bagi rakyat. Pertama, ada gambaran yang tertanam di benak rakyat jika  jadi pejabat pasti kaya. Kedua, tanpa uang sebagi logistik pejabat tak dapat berpikir logis. Ketiga, tujuan sesungguhnya menjadi pejabat untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Keempat, ukuran kesuksesan pemerintahan didasarkan pada uang. Tanpa itu pemerintahan tak akan jalan. Kelima, jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya isapan jempol. Keenam, rakyat pun semakin memahami sistem politk demokrasi liberal tak akan mampu membawa kesejahteraan.

Selain itu, sistem politik demokrasi-liberal tidak bertujuan mengurusi urusan rakyat. Saat ini dapat dilihat, mereka sibuk untuk mengamankan diri dari jeratan hukum. Saling sandra dan buka-bukaan kartu AS. Berbicara di media massa demi pencitraan dan eksistensi diri. Menciut di media sosial untuk saling menjatuhkan maratabat sesamanya. Mereka pun tak berani bertatap muka dengan rakyat. Seolah-olah tingkah mereka sudah mencerminkan ‘atas nama rakyat.’Akibatnya rakyat dibuat melongo melihat tontonan lucu ini. Takyat pun tak tahu harus berbuat apa?

Buruk rupa, cermin dibelah. Itulah gambaran pemerintahaan. Cukuplah kesenangan itu diwakili mereka. Biar rakyat sekadar mendapat sisa. Segala anggaran pun banyak yang tidak terserap untuk kepentingan rakyat. Sekali lagi, rakyat dibuat gigit jari. Tak ada salahnya menyimak kata-kata bijak dari Muhammad Hatta:

"....semakin bijak pemimpin-pemimpin rakyat melakukan pimpinan, bimbingan, dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, unsusr-unsur kebhinekaan itu lambat laun akan meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ketuggalikaan. Tetapi bila salah pemimpin oelh orang-orang berjiwa kecil yang tidak berjiwa kenegaaraa, akibat sebaliknya yang tidak diingin bisa pula terjadi..." (Bung Hatta Menjawab, 1980).

Kegaduhan politik dan pemerintahan saat ini menunjukan buruknya penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Kondisi seperti ini akan senantiasa berlangsung, selama sistem yang dibangun tidak menunjukan kebaikan. Apa pun namanya, koalisi atau opisisi, rakyat kian tak mengerti. Urusan kepentingan kedua kubu tak akan selesai. Ya, itulah politik demokrasi. Karena itu, rakyat butuh pencerahan dalam sistem politik ini yang akan memberikan kebaikan. Inilah esensi mencoba untuk mengenalkan sistem politik Islam yang bersumber dari Sang Pencipta.

Politik Islam

Politik dalam Islam bermakan mengurusi urusan umatnya. Pelaksanaan hukum dan tata aturan berdasarkan sumber hukum Islam, yaitu quran dan sunnah. Ciri khas politik Islam terletak pada peran penguasa dan rakyat. Ketika penguasa mendapatkan mandat untuk memimpin. Hal itu bermakna mereka diminta untuk peduli dan mengatur urusan rakyat berdasar syariah. Tugas rakyat memberikan koreksi kepada penguasa tatkala lalai dan keluar dari syariah.

Hubungan penguasa dan rakyat bukan seperti atasan dan bawahan. Keduanya seperti sahabat yang saling mengingatkan dalam kebaikan. Penguasa juga bukan kebal akan kritik. Karena hakikatnya yang menjalankan roda pemerintahan adalah manusia. Kesalahan dan kelalaian juga hal yang biasa. 

Mejelis umat dalam sistem Islam sebagai penyambung lidah rakyat. Terdiri dari berbagai golongan yang mempunyai tugas untuk mengotrol jalannya pemerintahan. Majelis umat tidak disibukkan dengan pembuatan Undang-Undang. Kerjanya jelas dan tidak tumpang tindih. Tidak ada koalisi atau oposisi. Yang ada kerja rapi dan apik untuk membangun negeri.

Sebagai pelayan umat, penguasa dan majelis umat diberikan tunjangan yang diambilkan dari Baitul Maal. Tak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Pemberiannya pun wajar sebagai kopensasi mengurusi urusan rakyat. Fasilitas yang diberikan pun sesuai untuk menunjang kinerjanya. Tanpa mengada-ada dan meminta ini dan itu yang tidak jelas. Kinerja pun menjadi amal ibadah dan pahala di sisi Allah.

Oleh karena itulah, sistem politik Islam seperti oase di tengah padang pasir. Tatkala politik demokrasi semakin menimbulkan gaduh dan ketidakpastiaan. Saatnya poltik Islam menjadi pilihan. Hal ini penting menjadi mainstream bersama bagi siapa pun yang ingin membangun negara berdaulat. Sungguh sistem politik Islam dapat terlaksana dalam bingkai negara yang menerapkan syariah Islam. itulah Khilafah. [Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah-Divisi Politik-HTI Jawa Timur)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Menyoal Tunjangan DPR"

close