Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Freeport


Arah opini berjudul "Papa Minta Saham" di balik rekaman pembicaraan Setyo Novanto (Ketua DPR RI) yang diungkap di sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) menghadirkan Sudirman Said (Menteri) dan Maroef Sjamsoeddin (Preskom PT Freeport Indonesia dan Mantan Wakabakin) adik Syafrie Sjamsoeddin (Wamenham dan Mantan Pangdam Jaya) menarik dicermati. Meski opini yang mencatut nama Jokowi, Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan itu agak tenggelam oleh Pilkada Serentak yang tidak sesuai dengan spirit awalnya. Baik dari sisi budget yang dikeluarkan maupun dari sisi pelaksanaannya. Intinya Pilkada serentak beberapa hari kemarin tidak efesien, partisipasi politik rendah (golput tinggi), sarat politik uang dan kampanye hitam. Terlalu banyak fakta di lapangan untuk mengungkap kebenaran penyimpangan Pilkada kemarin, karena sudah menjadi rahasia umum.

Sementara itu jika kita melihat kasus Freeport seperti menyingkap sebuah cengkeraman asing yang semakin menguat. Dan mengindikasikan beberapa kemungkinan skenario di balik mencuatnya kasus rekaman kontroversi ini. Kemungkinan tersebut antara lain : Pertama, di tengah santernya isu bagi-bagi saham seolah menyiratkan banyaknya kepentingan yang terlibat mulai dari pejabat negara atau mantan pejabat negara yang menduduki posisi tinggi di Freeport, DPR RI, Presiden, Wapres, dan Menteri. Dengan kata lain keberadaan Freeport sangat diharapkan oleh banyak orang penting di negeri ini keberlangsungannya. Kasus Setyo Novanto mengindikasikan celah rendahnya negosiasi Indonesia atas kontrak penambangan oleh Freeport. Terbukti terbitnya surat oleh Sudirman Said berupa lampu hijau perpanjangan kontrak yang harusnya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019 sebelum habis kontraknya tahun 2021. Siapa yang diuntungkan dari semua permainan ini, tentu saja Asing (AS) di balik PT Freeport yang diibaratkan oleh beberapa kalangan sebagai "VOC Gaya Baru". Kedua, jika benar Jokowi memutus kontrak PT Freeport karena begitu kuatnya desakan dari berbagai kalangan pasca terungkapnya pembicaraan Setyo Novanto maka selain ancaman arbitrase Internasional, Indonesia akan menghadapi kemungkinan potensi disintegrasi Papua Merdeka. Sejarah telah mencatat upaya ke arah sana telah lama dikawal secara serius oleh Amerika dan Australia, apalagi armada laut AS beserta pasukan ribuan jumlahnya mengawal cukup ketat di kawasan tersebut. Secara kalkulasi politik lebih mudah mengendalikan Freeport dengan konsep Papua Merdeka ketimbang tetap menjadi bagian dari Indonesia karena rata-rata orang Papua termasuk yang menyebar di Timika dan beberapa titik lokasi di area penambangan di Tembagapura masih terbelakang, berpendidikan rendah dan dikehendaki seperti itu agar tidak muncul sikap kritis terhadap daerahnya yang dicabik-cabik sumber daya alamnya. Sementara Kuala Kencana praktis dipergunakan sebagai perumahan karyawan dalam negeri dan asing berikut fasilitas umum yang menunjang tidak ada satupun pemukiman penduduk pribumi. Memang skenario kedua ini tipis kemungkinannya, selain masih kuatnya kepentingan dalam negeri terutama kelompok Papa Minta Saham untuk mempertahankan Freeport juga secara geoekonomipolitik Papua berbeda karakternya dengan Timur Leste yang dulu bernama Timtim. Hampir di semua titik sekitar Freeport mulai dari Timika, Kuala Kencana hingga Tembagapura dikawal oleh seluruh kesatuan TNI Polri. Sebuah sistem keamanan tingkat tinggi yang melibatkan semua personel di hampir semua kesatuan TNI Polri demi mengamankan aset Freeport dari ancaman para perusuh pribumi pemegang hak sumber daya alam sah yang bersenjatakan sangat sederhana dan sangat memprihatinkan. Sekedar diketahui bahwa Timika adalah kota tempat konsentrasi populasi di kawasan Freeport yang berepidemi AIDS tertinggi. Selain karena kultur mabuk-mabukan dan ganti pasangan bebas juga datang limpahan pekerja seks komersial dari Jawa untuk memenuhi syahwat para pekerja domestik dan asing baik di Timika maupun Tembagapura yang banyak berdiri pub-pub atau bar-bar. Sebagai ilustrasi  saat penulis datang ke Timika tahun 2004, masih ditemukan pemandangan salah satu anggota DPRD di Timika buang hajad besarnya di sekitar rumah dinasnya bukan di WC yang sudah disediakan. Bisa dibayangkan keterbelakangan sosial, kultur dan pendidikannya di tengah arogansi kesewenang-wenangan Asing bersama para antek-anteknya mengeruk bumi Papua. Pemandangan yang sangat ironis di tengah santernya cerita seputar konflik kepentingan antar kesatuan untuk memperebutkan asset di antara para perwira yang ditugaskan di Freeport dari penuturan salah seorang perwira sekembalinya dari tugas. Ketiga, sebagaimana diketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa AS dan barat bukanlah pemain utama satu-satunya untuk investasi di Indonesia saat ini. Jokowi telah secara sistematis dan smooth memfasilitasi keterlibatan kelompok Aseng dalam negeri maupun negara seperti RRC dan Taiwan dalam investasi-investasi strategis. Setidaknya berikut gambaranya : 1) Penolakan membayar pajak para cukong dengan alasan macam-macam diantaranya pelemahan ekonomi menyebabkan terjadi defisit APBN sekitar Rp 500 triliun sehingga ada dorongan untuk berhutang pada RRC 2) Hutang swasta Cina sudah melewati Pemerintah, ini seolah-olah ada upaya penyengajaan agar nilai rupiah jatuh hingga membawa dollar keluar dengan alasan apapun. BI dipaksa mau tidak mau meminjam Yuan untuk menstabilkan nilai rupiah. 3) Proyek-proyek yang didanai Yuan seperti KA super cepat, pembangkit listrik, pelabuhan dan lain-lain disertai dengan suplai tenaga kerja dari China hingga diprediksikan 5 tahun ke depan terdapat sekitar 10 juta buruh Cina dari RRC. 4) Modus pembakaran hutan-hutan HPH/HTI yang diduga melibatkan seperti Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas nampaknya disengaja untuk mengganti ratusan pemegang HPH/HTI dengan corporate-corporate China. Selain ada dugaan pula permintaan dana Climate Change kepada Dunia yang disediakan RRC sebagai ganti konsesi wilayah RI. Dari kondisi tersebut, mungkinkah RRC dipersiapkan untuk dilibatkan lebih jauh ganti kelola SDA Papua yang saat ini dikerjakan Freeport. Kemungkinan skenario ketiga ini kelihatannya juga jauh dari kenyataan mengingat begitu besarnya cengkeraman Asing (AS dan Barat) melalui Freeport.

Dalam kondisi seperti ini desakan atas kebijakan melanjutkan maupun memutus kontrak Freeport hanya akan menjadi kanalisasi kepentingan politik para Asing Aseng beserta para anteknya. Ini semua menggambarkan bahwa Indonesia benar-benar dalam cengkeraman Asing dan Aseng. Dan menunjukkan ketergantungan politik yang sangat tinggi terhadap para penjajah Asing Aseng melalui pintu investasi dan hutang. Diperlukan keberanian politik penguasa yang bukan antek dan sistem politik yang kapable untuk memutus segala bentuk ketergantungan politik dan ekonomi para penjajah. Sistem volitik yang berbeda karakternya dengan sosialis komunisnya RRC. Dan kapitalis liberalisnya AS dan Barat. Karena pilihan mengikuti sistem politik penjajah hanya akan melanggengkan jalannya penjajahan. Sebaliknya sejarah telah mencatat bahwa Islam telah memiliki sistem politik Khilafah dijalankan oleh Khalifah amanah yang mampu mewujudkan keberdayaan politik ekonomi dan semua aspek hingga mampu mewujudkan ekspansi kekuasaan di hampir 1/3 belahan dunia menaungi dan memberikan kesejahteraan warga negara di dalamya baik muslim maupun non muslim. Wallahu a'lam bis showab. [Abu Ummah Al Makassar i (Pemerhati Sosial Politik)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Dilema Freeport"

close