Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islamophobia di Balik Terorisme


Berdasarkan warning dari FBI dan Australia Federal Office, akhirnya Densus 88 antiteror mabes Polri menangkap  terduga teroris di sejumlah tempat pada Sabtu (19/12). Seperti biasanya, terduga teroris pun dikaitkan dengan pesantren, ustadz, bendera hitam bertuliskan kalimah tauhid dan ISIS. Ujung-ujungnya, Islam dan kaum muslim. Sebagaimana yang pernah penulis sampaikan bahwa dampak ISIS adalah monsterisasi Islam. Dan, semakin hari semakin terlihat siapa sebenarnya di balik ISIS, tidak lain adalah sang dalang terorisme itu sendiri (baca : Amerika Serikat).

Untuk melemahkan revolusi Suriah, Amerika Serikat mengkotak-kotakkan perjuangan rakyat Suriah. Sebagai tabir penutup kepalsuannya, AS pun mendorong dunia untuk menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Terakhir, 34 negara muslim berkoalisi menyambut seruan AS. Ternyata target koalisi 34 negara muslim itu bukanlah hanya ISIS, tetapi ditujukan juga terhadap para pejuang Islam lainnya, yang notabene sangat berseberangan dengan ISIS. Dengan kemunculan ISIS, AS membawa negara-negara dunia ke arah ‘perang dunia ketiga’, yakni perang di bawah pimpinan AS melawan terorisme. Hanya saja, jika perang dunia pertama dan kedua terdiri dari suatu blok negara yang melawan blok negara yang lain. Sedangkan perang melawan terorisme merupakan perang AS melawan paranoid kebangkitan Islam.  

Hal ini sudah terbaca jauh-jauh hari dari Grand strategy baru Amerika Serikat. Grand strategy yang dicanangkan sejak berakhirnya Perang Dingin ini memiliki tujuh elemen. Pengamat politik internasional, Budi Mulyana, mengutip lima dari tujuh elemen tersebut, yaitu : Pertama, mempertahankan dunia unipolar, dan harus mencegah munculnya kompetitor baru di Eropa dan Asia. Kedua, terorisme merupakan ancaman baru. Ketiga, mengganti konsep pencegahan (deterrence) Perang Dingin. Saat ini, pencegahan, kedaulatan, dan perimbangan kekuatan harus berjalan bersama. Karena ancaman saat ini bukan negara adikuasa, tapi jaringan teroris transnasional. Keempat, memaknai ulang arti kedaulatan. Karena kelompok-kelompok teroris tidak dapat ditangkal. Amerika Serikat harus disiapkan untuk melakukan intervensi di mana-mana, kapan saja bertindak lebih dahulu menghancurkan ancaman. Kelima, Amerika Serikat perlu memainkan peran langsung dan leluasa untuk memusnahkan ancaman. 

Jelas bahwa AS menggunakan terorisme sebagai senjata perang ideologinya terhadap Islam. Paul Wolfowitz pernah menyatakan bahwa ''Saat ini, kita sedang bertempur melawan teror-perang yang akan kita menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran. Jelas suatu tantangan, tapi juga harus kita menangkan.'' Donald Rumsfeld, juga pernah berbicara  tentang keberadaan tentara Amerika Serikat di Irak bahwa ''Jika tentara Amerika Serikat keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi teroris dan menjadi basis penyebaran Negara adidaya Islam yang akan mengancam dunia.... Irak akan menjadi basis negara Khilafah yang baru yang akan meluas ke Timur Tengah. Serta Presiden Amerika Serikat, George W Bush, pada tanggal 6 Oktober 2005 menyebutkan dengan menyamakan perang melawan terorisme saat ini dengan perang melawan komunisme. Baginya, ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita.
Amerika Serikat, sekutu dan para agennya pun terus berupaya memalingkan manusia dari Islam. Mereka menciptakan islamophobia di tengah masyarakat. Terorisme, radikalisme dan berbagai tindakan kekerasan lainnya selalu diidentikkan dengan Islam. Khilafah atau negara Islam, Jihad, Syariah, Ar royah (bendera hitam bertuliskan kalimah tauhid), sampai kitab suci Al Quran,  merupakan simbol-simbol Islam yang selalu diserang. Stigmatisasi terhadap pesantren, rohis, situs Islam online dan berbagai kegiatan kajian keislaman terus dilakukan sampai saat ini. Inilah kriminalisasi simbol-simbol Islam.

Kriminalisasi Islam dan simbol-simbolnya ini memiliki target yang jelas, yakni menjauhkan Islam dari masyarakat. Karena perbuatan setiap manusia akan tergantung pada pemikirannya. Jika seseorang sudah menganggap syariah sebagai sesuatu yang menakutkan, serta termakan monsterisasi kegiatan keislaman. Maka, tentu saja ia akan semakin menjauh dari Islam. 

Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa AS, sekutu dan para agennya memaknai terorisme secara opportunistik. Jika ada oknum kaum muslim yang melakukan aksi kekerasan bahkan baru terduga, media-media mereka pun mem-blow up-nya habis-habisan. Tetapi, jika pelakunya bukanlah kaum muslim, beritanya disembunyikan dan ditenggelamkan. Bahkan, genosida yang dilakukan AS dan sekutumya di Irak, Afghanistan, Palestina, Suriah dan negeri-negeri muslim lainnya, media mainstream tidak menyebutnya sebagai tindakan terorisme. Sungguh biadab.

Padahal kalau kita kaji secara faktual, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror. Jadi, stigmatisasi Islam dan kaum muslim dengan istilah terorisme merupakan sesuatu yang tendensius.  Hal  itu tidak sesuai dengan fakta yang ada dan juga tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dari ajaran Islam. Allah SWT berfirman : "Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (TQS Al Anbiyaa` : 107). serta firman Allah Swt : "Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim." (TQS An Nahl : 89)

Islam adalah agama yang sangat menghargai hidup manusia. Karenanya, Islam sangat melarang pembunuhan jiwa tanpa hak. Islam pun menetapkan sanksi yang tegas kepada pelakunya. Oleh karena itu, aktifitas penyerangan bersenjata di negeri yang tidak dalam kondisi perang, semisal Indonesia, jelas dilarang Islam. 

Islam merupakan agama yang sempurna. Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridloi-Nya. Islam anti terhadap tatanan kehidupan yang penuh penjajahan dan penindasan, Allah Swt menyebutnya sebagai hukum jahiliyyah. Imam Suyuthi menjelaskan bahwa kondisi kaum jahiliyyah pada saat itu, kaum yang kuat menindas yang lemah di antara mereka. Kaum terpandang mengeksploitasi budak-budak mereka. Allah Swt berfirman, yang artinya “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki?” (TQS. Al Maidah[5]: 50). Pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) pasti akan memunculkan penjajahan sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, serta penjajahan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Karena jika keluar dari standar wahyu, standar yang akan dipakai manusia pasti hanyalah hawa nafsunya.

Islam anti penjajahan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rabi bin Amir di hadapan panglima Rustum, dengan tegas ia sampaikan bahwa dakwah Islam bertujuan untuk membebaskan seluruh manusia, dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi menghamba hanya kepada Allah Swt semata.

Tidaklah aneh jika negara-negara penjajah Barat sangat membenci Islam. Karena hanya Islam-lah yang akan membuat masyarakat dunia bangkit melawan penjajahannya. Apalagi, jika perlawanan ini berwujud nyata dalam negara khilafah yang menerapkan Syariah secara kaffah. 

Inilah urgensi pelabelan terorisme terhadap Islam, bagi negara penjajah AS. Karena tegaknya syariah dan khilafah bermakna berakhirnya penjajahan mereka terhadap negeri kaum muslim. Berakhir pula seluruh perampokan SDA besar-besaran yang mereka lakukan di negeri-negeri muslim. Wallohu a’lamu bishshowwaab.  [(Ary Herawan, Ketua DPD II HTI Kota Tasikmalaya)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Islamophobia di Balik Terorisme"

close