Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Gafatar, LGBT, dan Revisi UU Anti Terorisme


Oleh : Abu Ummah Al Makassar i 
(Pemerhati Sosial Politik)

Ketiga kata judul di atas sesungguhnya menggambarkan konstelasi persoalan semua sektor yang terjadi di negeri ini. Dan kebenaran ternyata banyak dibentuk oleh opini media. Nampaknya sekarang telah berlaku era dimana digital culture menjadi lingkungan yang melingkupi berbagai sektor kehidupan. Siapa yang memegang kendali media maka dialah yang akan memenangkan pertarungan dan menentukan kebenaran. Hal itu nampak dalam prosesi pertarungan pilpres yang mengantarkan Jokowi sebagai RI 1. Dimana kekuatan kendali atas media menjadi kunci kemenangan berbagai pertarungan politik. Hal sama yang akan diuji cobakan pada pilkada DKI Jakarta untuk mengantarkan Ahok terpilih kembali. Termasuk bagaimana media mengekspose kasus bom Sarinah Thamrin yang disinyalir buah hasil perbuatan ISIS. Di tengah kontradiktifnya bantahan oleh Nurseha, Ibu Can Alias Fajar, di rumahnya, gang Abu Jie RT 01 RW 01, Kelurahan Penatol, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin 15 Februari 2016 bahwa telah terjadi baku tembak dengan Densus 88 dan menyatakan bahwa Can alias Fajar terduga teroris itu sebenarnya telah ditembak saat tidur sebagaimana diberitakan oleh Tempo.co.id, Selasa, 16 Februari 2016 melalui Akhyar M Nur. Sekalipun kekuatan media pada jamaknya juga ditopang oleh kekuatan lain seperti ekonomi dan politik. Tulisan ini tidak sedang mencermati ketiga isu yang direpresentasikan oleh judul tulisan di atas secara mendetil namun mencoba memahami bagaimana media mengkonstruksi opini sedemikian rupa seolah-olah memainkan psikologi massa larut dalam ritme permainan opini media yang dibentuk. Hingga pada titik tertentu masyarakat terutama kelompok-kelompok penekan (kelompok-kelompok islam) sulit melihat dan membedakan mana yang prioritas disikapi secara serius - cepat. Dan mana yang bertahap. Ibarat sebuah serangan, umat menghadapi berbagai tekanan dalam bentuknya yang beragam mulai dari liberalisasi sosial budaya (Gafatar, LGBT, Agama baru, Nabi baru, dll), liberalisasi ekonomi (pencabutan subsidi sosial pada BBM, pajak ditingkatkan, TDL tinggi, UMR rendah, tenaga kerja outsourching, privatisasi BUMN, pengelolaan SDA oleh asing, ketergantungan ekonomi melalui hutang luar negeri asing dan aseng dll), liberalisasi politik (munculnya politik pragmatism, dagang sapi, wani piro, liberalisasi uu - konstitusi dll).

Setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu dicermati di antara berkembangnya opini Gafatar, LGBT dan Revisi UU Anti Terorisme antara lain :

Pertama,  fenomena Gafatar dan LGBT bahkan berita tentang pembunuhan seseorang yang diekspose secara all out terjadi di balik latar masifnya pembahasan UU Anti Terorisme, RUU LGBT, RUU KUB yang menjadi prolegnas tahun ini. Baik revisi UU Anti Terorisme, RUU LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) dan RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama) merupakan payung regulasi yang akan sangat menentukan wajah masa depan kehidupan kaum muslimin di negeri muslim terbesar dunia ini. Apakah semakin diberikan keleluasaan ataukah semakin diintervensi cara beragama sesuai dengan arahan status quo. 

Kedua, pembahasan revisi UU Anti Terorisme dilakukan di balik gencarnya pembahasan Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas). Yang terbaru adalah kunjungan Jokowi ke AS menemui Obama membicarakan agenda AS-ASEAN Summit untuk merealisasikan konsep "Single Market" dan "Production Base" yang sudah diterjemahkan oleh Jokowi dalam sebuah strategi kebijakan ekonomi bertitel MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia).  Dimana Indonesia benar-benar disiapkan sebagai penyangga koridor ekonomi penyuplai bahan mentah dan bahan tambang sekaligus sebagai pasar manufacturing yang potensial dengan populasi 250 juta jiwa penduduk. Sekalipun disisi lain pada forum itu juga dibahas kemungkinan pemberdayaan sektor UKM dan industri kreatif digital yang belum sepenuhnya ditemukan pola kebijakannya.

Ketiga, pembahasan revisi UU Anti Terorisme akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan perbincangan tentang keamanan, radikalisme, dan pembangunan infrastruktur sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.  Diantaranya seperti yang disampaikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan di hadapan 12.000 warga Sulsel dari kalangan TNI, Polri, PNS dan tokoh-tokoh masyarakat, Rabu, 3 Februari 2016, di Tripple C, Tanjung Bunga Makassar. Didampingi dengan Pangdam Wirabuana, Kapolda Sulselbar dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Luhut menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap respon masyarakat Sulawesi Selatan pada acara tersebut. Sebelumnya juga terdapat forum yang dihadiri oleh Danny Pohmanto dan Syahrul Yasin Limpo bersama para pengusaha Sulawesi Selatan membicarakan pentingnya pembangunan infrastruktur di Sulawesi yang menjadikan fokus pada pembangunan bandara Sultan Hasanuddin dan penyelesaian pembangunan rel KA. Lebih lanjut dua kepala daerah propinsi dan kotamadya tersebut berkomitmen menggunakan sumber dana APBD untuk membiayainya. Terdapat kesan seolah pembangunan infrastruktur yang notabene lebih untuk kepentingan investor asing (kapitalis global) ketimbang rakyat membutuhkan lisensi keamanan sebagai basis merealisasikan agenda ekonominya. Lisensi keamanan yang menjadi jaminan lancarnya pembangunan infrastruktur dalam logika para investor adalah lisensi terjaminnya keamanan dari ancaman radikalisme. Dan ancaman radikalisme yang dimaksud oleh investor asing (kapitalis global) adalah kelompok islam yang sedari awal membawa stereotype perlawanan terhadap kekuatan imperalisme barat. Inilah makna arti pentingnya Jokowi mepresentasikan keberhasilan menanggulangi terorisme di Indonesia di forum AS-ASEAN Summit dan Timur Tengah. Seperti halnya sikap bersama beberapa kementrian dan pemerintah daerah untuk memastikan jaminan keamanan dari ancaman radikalisme sebagaimana yang diminta oleh para investor Asing maupun Aseng. Susahnya, jika hal tersebut menjadi mindset maka bisa jadi radikalisme menjadi proyek yang berjalan terus seiring dengan kebutuhan jaminan keamanan dari ancaman radikalisme oleh para investor. Mindset seperti itu seolah menjelaskan arti ajuan anggaran sebesar 1,9 trilliun Rp oleh pemerintah untuk penanggulangan terorisme yang mengiringi derasnya tuntutan atas revisi UU Anti Terorisme.

Keempat, mencuatnya secara masif isu LGBT dan Gafatar yang direspon secara total oleh beberapa kelompok islam seakan-akan mengalihkan perhatian pada revisi UU Anti Terorisme dan ujung penyelesaian kontrak karya akhir Freeport yang dihiasi dengan berita diresmikannya kantor OPM di Wamena sebagai simbol potensi disintegrasi Papua. Hal ini semakin menunjukkan kuatnya berbagai kemungkinan skenario atas Papua tetap dalam kendali Asing baik menjadi bagian dari NKRI atau memisahkan diri seperti Timur Leste. Gerakan OPM dianggap tidak dalam domain yang diatur dalam revisi UU Terorisme sekalipun jelas-jelas beragenda mendirikan negara dalam negara karena kuatnya intervensi Asing (Inggris, AS dan Australia). Di sisi lain sebagian kelompok bereuforia dengan mengembalikannya pada UUD 1945 yang sudah terlanjur diliberalisasi sebagai solusi atas problem tersebut.

Kelima, masifnya isu Gafatar, LGBT dan revisi UU Anti Terorisme dengan latar sikap diterimanya secara terbuka investasi Aseng terutama investor China yang akan menentukan perubahan peta konstelasi politik ekonomi Indonesia tidak saja dalam kendali Asing melainkan Aseng. Dan sudah barang tentu akan mempengaruhi profil kebijakan politik ekonomi negeri ini. Hal itu ditunjukkan di antaranya : 1) Peresmian pengurus baru GEMA INTI (Indonesia Tionghoa) Sulawesi Selatan di Makassar, Minggu, 21 Februari 2016 yang akan dihadiri oleh Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Walikota Makassar Danny Pohmanto dan Panglima Wirabuana Mayjen Agus Surya Bakti dan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan). 2) Sosialisasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung bertitel "Merentang Manfaat Kereta Cepat dan Pengembangan Sentra Ekonomi Baru",  Jum'at, 19 Februari 2016, di Grand Royal Panghegar Hotel Jl Merdeka No 2 Bandung Jabar yang dihadiri oleh tokoh Jabar, tokoh muda, BIN, Kapolda, Pangdam, Pemprov, beberapa Pemkab, BPN, Pengamat, Pers. Pimpinan PT dan lain-lain. 

Akhirnya kita memahami bahwa revisi UU Anti Terorisme di tengah isu Gafatar dan LGBT yang menyisakan pertanyaan dan kekhawatiran antara lain : kemungkinan munculnya abuse of power Densus 88, pelanggaran HAM lebih banyak lagi pada penindakan terduga terorisme, rekayasa kasus terorisme sebagai proyek sebagaimana yang disampaikan oleh Komnas HAM, dilema informasi intelijen dari pihak mana (BIN atau Polri) sebagai alat bukti, penambahan waktu penahanan berikut mekanismenya yang membuka ruang penyalahgunaan kewenangan, pemutusan status kewarganegaraan di tengah prinsip kewarganegaraan Indonesia yang menyisakan pekerjaan bagaimana mekanisme pengadilannya, dan lain-lain mengisyaratkan keinginan kuat bagaimana membuat format penanganan terorisme secara kuat yang disinyalir disebabkan oleh radikalisme aksi. Ke depan bukan mustahil akan disasarkan juga kepada yang diduga melahirkan radikalisme pemikiran.  Setidaknya ada dua tipe format yang dihadapi oleh umat islam saat ini jika kita kaji peta opini media yang berkembang di antara Gafatar, LGBT dan RUU Anti Terorisme. Pertama, serangan liberalisasi sosial budaya melalui LGBT dan Gafatar. Kedua, serangan untuk meredam kelompok-kelompok islam yang disinyalir berpotensi mengancam kepentingan politik dan ekonomi para kapitalis global baik dari kalangan asing maupun aseng dalam bentuk kerangka perundang-undangan seperti revisi UU Anti Terorisme misalnya. Bagaimana seharusnya menyikapi berbagai serangan multi sektoral ini. Semuanya akan berpulang pada seberapa keyakinan dan kreatifitas berbagai kelompok islam menghadapinya. Untuk bentuk serangan tipe yang pertama mungkin lebih mudah mengadvokasinya dengan membentuk Pos Layanan Informasi dan Advokasi Korban Gafatar dan LGBT misalnya. Tetapi untuk bentuk serangan tipe yang kedua dibutuhkan keberanian karena menyangkut masalah keamanan dan eksistensi kelompok-kelompok Islam.  Wallahu a’lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Antara Gafatar, LGBT, dan Revisi UU Anti Terorisme"

close