Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesepakatan Gencatan Senjata Amerika Serikat & Rusia adalah Kesepakatan Untuk Memerangi Islam


Oleh : H. Luthfi Hidayat

Kesepakatan gencatan senjata sementara selama dua minggu (hasil Kesepakatan Munich, 22 Februari 2016 M/13 Jumadil Awal 1437 H) di Suriah yang diusung oleh Amerika Serikat dan Rusia –dan kemudian diaminkan oleh PBB—dikabarkan mulai berlangsung Sabtu (27/02/2016) waktu 00.00 (GMT Damaskus). 

Dalam teks kesepakatan tersebut dijelaskan bahwa Federasi Rusia dan Amerika Serikat, dalam kapasitas mereka sebagai pemimpin masyarakat internasional dalam rangka mendukung Suriah, dan untuk mencapai penyelesaian krisis di Suriah, dengan penghormatan penuh terhadap peran organisasi PBB. Sepenuhnya meyediakan fasilitas untuk menghentikan krisis di Suriah dan menciptakan kondisi transisi yang kondusif. Kesepakatan ini juga ditentukan oleh masyarakat Suriah dengan dukungan PBB untuk implementasi penuh Deklarasi Munich (11 Februari 2016), Resolusi Dewan Dewan Keamanan PBB 2254, Deklarasi Wina 2015, dan Deklarasi Jeneva di tahun 2012.

Teks kesepakatan tersebut juga menyatakan bahwa untuk menyertakan dalam kesepakatan tersebut, semua oposisi bersenjata yang terlibat di Suriah, dengan pengecualian organisasi ISIS, oposisi Jabah Nusrah dan kelompok lainnya yang diidentifikasi teroris oleh PBB. 

Bagi kaum muslim yang terus mencermati lima tahun Revolusi Suriah –yang diberkati—, adanya gencatan senjata, kesepaktan damai, deklarasi, meja perundingan, dan diplomasi lainnya, benang merahnya adalah strategi Amerika Serikat (sebagai sutradara) untuk menekan pihak oposisi militer Suriah, sekaligus istirahat sejenak, memfokuskan diri, mengumpulkan kekuatan baru untuk kembali menggempur mujahidin ikhlas di Suriah.

Kesepakatan gencatan senjata ini hakikatnya adalah kesepakatan –Amerika Serikat dan Rusia—untuk bersepakat memerangi para mujahidin yang tetap ikhlas memperjuangkan tegaknnya Syari’ah Islam dan Khilafah Islamiyah di Suriah. Taktik ini telah dilakukan berulangkali oleh musuh-musuh Islam untuk memadamkan cahaya Allah SWT. 

Sudah menjadi catatan sejarah, bahwa kaum muslimin secara militer sangat sulit ditaklukkan. Bagi mujahidin yang ikhlas dalam berjihad, Allah akan membantu mereka dengan balatentara malaikat dari langit dalam setiap peperangan. Sementara kaum kafir, tentara Rusia, Rezim Assad dan sekutunya, meski dilengkapi dengan persenjataan yang canggih dan modern, mereka selalu stress, lelah, dan memerlukan “istirahat” dalam setiap peperangan. Peperangan bagi mereka adalah neraka dunia. Sementara bagi mujahidin, perang (jihad) adalah “rekreasi” yang sangat menggembirakan dengan garansi surga dari Allah SWT. Tidak ada kata “kalah” dalam jihad fi sabilillah. 

Tabiat busuk menjelang gencatan senjata juga telah ditampakkan oleh Rusia. Selang sebelum gencatan senjata ini --27 Februari 2016-- jet-jet tempur Rusia melancarkan serangan operasi besar-besaran menargetkan wilayah oposisi Suriah. Kepala Observatorium HAM Suriah, Rami Abdel Rahman melaporkan bahwa pesawat tempur Rusia terpantau mengintensifkan serangan di wilayah oposisi Suriah di Ghauta, Homs, dan Aleppo (Kiblat.net). 

Sehingga sikap pemimpin Jabhah Nusrah adalah tepat, yakni menolak adanya gencatan senjata di Suriah dan meminta faksi oposisi untuk meningkatkan serangan melawan rezim Assad beserta sekutunya. Dalam sebuah pesan audio yang diterbitkan pada hari Jum’at (26/02), Abu Muhammad Al-Jaulani menyeru faksi oposisi Suriah untuk memilih antara berjuang bersama saudara seimannya, atau melaksanakan gencatan senjata dengan rezim Assad.
“Waspadalah terhadap trik dari Barat dan Amerika ini, karena mereka hanya akan mendorong anda untuk kembali di bawah ibu jari rezim yang menindas,” katanya.

Adalah tabiat Amerika –dan sekutunya--, bahwa kondisi nyata dari hal ini bukanlah gencatan senjata, bukan pula untuk mencapai perdamaian, apalagi untuk menghentikan pertumpahan darah. Gencatan senjata ini hahikatnya akan memfokuskan Amerika, Iran, Rusia, Eropa dan Basyar Assad untuk membom yang mereka identifikasi dengan teroris. 

Bahkan menurut Al Jazira, beberawa waktu yang lalu Amerika Serikat dan Rusia telah membentuk tim untuk memetakan wilayah yang dikontrol kelompok yang dianggap teroris, untuk selanjutnya menjadi target serangan (Al- Jazeera.net). Dan tidak ada maksud lain yang mereka sebut dengan teroris ini adalah kecuali mujahidin yang ikhlas di Suriah.

Taktik gencatan senjata –dengan rangkaian persoalan nyata yang terjadi-- bukan hal baru bagi Amerika dan Sekutunya. Ingatan kita belum hilang pada peristiwa Konferensi Riyadh akhir tahun 2015, oposisi ditarik ke meja perundingan –dengan peran gencar KSA--, namun Rusia secara massif membom mujahidin Suriah. AS membiarkan, dan negeri-negeri muslim menonton. Dan petinggi Rusia sendiri beberapa kali mengungkap bahwa sasaran mereka “meleset” terhadap kelompok ISIS.

Gencatan senjata ini juga merupakan bentuk arogansi Amerika dan Rusia untuk terus “memaksa” pihak-pihak oposisi, negeri-negeri Islam, dan masyarakat dunia untuk “mengaminkan” berbagai kesepakatan (Deklarasi Munich, Resolusi PBB 2254, Deklatasi Wina 2015, dan Deklarasi Jenewa 2012) yang sudah disiapkan Amerika Serikat–termasuk PBB—untuk membentuk masyarakat Sekuler rencana mereka. Bagi Amerika, di Suriah apakah Basyar Assad atau bukan, itu sudah tidak penting lagi. Yang penting Suriah masa depan tetap dalam kontrol mereka. Dan siapa saja yang tidak sepakat hal tersebut dengan mudah dicap dengan teroris. 

Umat ini sesungguhnya memiliki pengalaman berharga tentang gencatan senjata dari revolusi Palestina selang waktu 1936-1939. Adalah setiap kali pejuang (mujahidin) Palestina mencetak berbagai kemenangan militer atas penjajah Yahudi. Segera pendukung Yahudi berteriak untuk melakukan gencatan senjata. Para penguasa Muslim –pengkhianat-- kemudian berlomba-lomba melindungi orang-orang Yahudi atas serangan Mujahidin. 

Gencatan senjata tersebut memberikan kesempatan Yahudi untuk beristirahat, memperbaharui aktivitas, memantapkan konspirasi dan kekuatan mereka. 

Yahudi kemudian kembali memulai serangan –meski harus melanggar kesepakatan gencatan senjata dan itu diaminkan oleh PBB--, sampai mereka meraih kemenangan dengan menyatakan negara mereka Yahudi pada tahun 1948. Kemudian tahun 1967 pertempuran kembali terjadi, Yahudi melawan kekuatan sisa dari pejuang Palestina. Akhirnya negara Yahudi menjadi sebuah realitas yang diterima oleh hampir semua pihak internasional.

Apa yang terjadi dengan revolsi Suriah –yang diberkati—tidak jauh berbeda. Amerika Serikat sebagai sutradara terus menggunakan kekuatan diplomasi, dibantu dengan kekuatan fisik (Rezim Assad, Iran, Eropa, dan Rusia) untuk mencapai tujuan mereka seperti mereka mendirikan negara Yahudi di Palestina.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali Imran 200). [VM]

Posting Komentar untuk "Kesepakatan Gencatan Senjata Amerika Serikat & Rusia adalah Kesepakatan Untuk Memerangi Islam"

close