Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menitip Harapan ke Pak Dr. Warsito


"Saya setuju kalau penelitian harus didanai dan memang ada resiko gagal. Di situlah pentingnya institusi khilafah yang memastikan bahwa penelitian yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai swasta.” (Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, Head of Kalbe Genomics (KalGen) Laboratory; Postdoctoral Research Fellow Harvard Medical School)

***
Salah satu isu kesehatan yang banyak meramaikan media sosial belakangan adalah tentang Pak Warsito. Beberapa media online mengabarkan bahwa beliau hijrah ke Warsawa, Polandia. Namun Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir memastikan ini belum terjadi, “Warsito itu belum ke luar negeri. Sekarang saja saya juga pakai alatnya beliau dalam kaitannya bagaimana untuk pengurusan badan,” (CNN Indonesia dan Media Indonesia, 11 Februari 2016).

Banyak beredar tulisan *testimoni* yang menyatakan pasien kanker sembuh setelah berobat memakai rompi antikanker Pak Warsito. Kata “sembuh” tentu mudah dipahami. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sembuh diartikan sebagai, “menjadi sehat kembali (tentang orang sakit, dari sakit atau penyakit); pulih:”.

Dalam diskusi di facebook dr. Tonang Dwi Ardyanto, (Anggota Tim Kanker di RS Moewardi Surakarta, pengajar di FK UNS Solo), ada yang menyatakan bahwa sebanyak 8000-an relawan pasien Dr. Warsito, ‘sembuh’.

Dokter Tonang lantas menjelaskan, “Konsep relawan penelitian, lain sekali dengan konsep ‘relawan’ yang dirujukkan ke ‘mereka yang telah atau akan berobat ke Pak Warsito’. Hal ini kembali mengingatkan untuk membedakan Tujuan Penelitian dan Tujuan Terapi. Apakah lantas tidak ada gunanya data dari 8000 an tersebut? Tetap, tetap ada gunanya sebagai suatu data empirik. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pak Warsito, saya sarankan, mangga coba dilakukan kajian terhadap 8000 orang itu. Misalnya: (1) apakah metode yang dipakai sejak ‘subyek’ pertama sampai ke 8000 itu sama, atau sudah ada perubahan? Kalau berbeda, maka kita kelompokkan juga sekian dengan metode versi 1 misalnya, sekian yang dengan versi 2 (modifikasi atau perbaikan dari versi 1). Modifikasi atau perbaikan ini tidak hanya soal metode alat, tetapi juga dosis, cara pemberian, durasi pemberian, frekuensi pemberian, dsb. Kalau semua masih menggunakan metode yang sama, kita bisa langsung lanjut ke langkah selanjutnya.”

“Ke-(2) Mohon tidak tergesa-gesa menetapkan kriteria sembuh. Kami lebih mengenal klausul “Disease Free Survival”, “5 years survival rate”, “Relaps rate”, “Residual atau Minimal Relaps Rate” dll. Mangga dinilai, dikelompokkan dan dianalisis. Sertakan data-data lengkap tentang ‘subyek’ dari data antropometri, klinis, laboratorium, radiologis, perjalanan terapi, gejala dan tanda yang timbul, kemampuan menjali Dailiy Activitiy, sampai final condition (bertahan sekian tahun, atau meninggal karena relaps, karena penyakit lain, dsb).”

“Setelah data-data itu terkumpul, mangga disajikan di Pertemuan Ilmiah atau di publikasi jurnal sehingga bisa dianalisis oleh masyarakat ilmiah kedokteran. Data empirik itu dapat dijadikan dasar untuk melaksanakan suatu uji klinis yang sistematis. Bila hasil uji klinis tsb sudah bisa dipublikasikan juga, akan masuk pada kajian Health Technology Assesment (HTA). Dalam hal HTA ini, lingkup kajian bersumber dari iptek kedokteran. Setelah analisis lengkap dari sisi kedokteran, kemudian dianalisis dari sisi manajemen ekonomi, sosial sampai budaya. Setelah lolos, maka ditetapkan, dikualifikasikan dan diklasifikan sebagai suatu pilihan terapi di RS.”

“Mohon dengan sangat mohon maaf, untuk semua itu, syaratnya adalah: data-data yang lengkap dan sistematik. Penjelasan bahwa “sekitar 70% sembuh” tentu wajar bila mendapat pertanyaan kritis “apa kriteria sembuh”. Apakah ada follow up pada “pasien” tsb? Berapa lama? Tentu dapat dipahami bila ada rasa ketersinggungan karena justru Para Onkolog sendiri sangat berhati-hati menyebut “sembuh” untuk terapi kanker ini.”

“Mangga Pak, ini hanya usul ringkas dan sederhana. Sekedar berusaha menjembatani. Kalau ada data spt itu, saya yakin diskusinya akan lebih terarah, tanpa menimbulkan rasa gerah. Semoga ada yang bisa dipetik.”

Lantas bagaimana dengan paper Dr. dr. Sahudi Salim di Unair  yang menyimpulkan bahwa ECCT dapat membunuh sel kanker tanpa menimbulkan efek samping jika dibanding kemoterapi, radioterapi, maupun operasi?

Pak Ahmad Utomo, yang mempelajari molecular genetics and pathology of lung inflammation di Harvard Medical School menyatakan, “Disertasi di Unair itu sebenarnya sangat sederhana dan tidak akan lolos peer review journal. Penelitian tsb memang disetting harus ‘berhasil’ karena tidak ada perbandingannya. Jadi inilah dampak ketika penelitian tercampur dengan klinik beliau (yang sudah memperkerjakan puluhan orang). Kualitas S3 kita memang serba salah.. Kalaupun (suatu penelitian) dipublikasi(kan di jurnal) “internasional”, komunitas ilmuwan paham kok ada maqamnya masing2…”

Menurut Pak Ahmad Utomo, “Dalam dunia ilmiah, kekeliruan Pak Warsito ada dua. Pertama, tidak melibatkan perhimpunan spesialis kanker seperti PERABOI (Perhimpunan Bedah Onkologi Indonesia), PERHAMPEDIN (Perhimpunan Penyakit Dalam Indonesia), dan POI (Perhimpunan Onkologi Indonesia). Kenapa perlu melibatkan mereka? Itulah ciri ilmuwan yang memiliki adab. Ilmu onkologi medis itu seperti ilmu ushul fiqh, ada asumsi dasar atau kaidah yang diperhatikan. Kalau itu dilanggar maka tidak ada bedanya dengan JIL jaringan islam liberal yang memperkosa kaidah ushul. Pak Warsito mendefinisikan parameter survival dalam bentuk persentase (pie chart) Menurut pakem ilmu medis, seharusnya menggunakan grafik kaplan meir yang menggambarkan dua hal: proporsi survival dan rentang waktu…”

“Kedua, dalam uji klinis ada beberapa tahap yang tidak boleh dilompati. Fase 1 dan 2 bertujuan untuk memastikan teknik baru adalah aman. Fase 3 dan 4 bertujuan untuk membandingkan bahwa teknik baru memiliki hasil yang sama atau lebih baik dari terapi yang ada. Fase 3 ini juga dikenal dengan randomized prospektif trial...”

“Caranya adalah mengumpulkan jumlah pasien tertentu. Lalu dibagi dalam dua kelompok. Kelompok A dengan terapi konvensional, kelompok B terapi konvensional plus terapi baru. Pasien dirandomisasi, misalnya, pasien dengan nomor pendaftaran ganjil masuk kelompok A dan nomor genap masuk kelompok B. Disini ada kekhilafan Pak Warsito yang kedua. Mayoritas pasien dikenakan biaya. Karena pasien sudah bayar, apakah pasien mau dirandomisasi?”

“Setelah terapi dilakukan, lalu pasien di kedua kelompok dimonitor survival-nya 5 tahun mendatang sambil di ikuti berapa saja yang akhirnya meninggal dalam per tahun hingga 5 tahun…”

Dokter Tonang selalu menegaskan, “Kami di bidang kedokteran bukan tidak tahu atau tidak membaca temuan atau laporan seperti hasil karya Pak Dr. Warsito Purwo Taruno. Kami sangat menghargai niat baik beliau. Akan sangat baik bila pemerintah memayungi dengan membiayai penelitian ilmiah skala besar justru untuk membuktikan bahwa temuan tersebut memang merupakan pilihan yang baik. Bila sudah kita dapatkan bukti itu, saya berpendapat, kalangan dokter juga akan mudah menerima, sebagaimana juga berlangsung pada upaya saintifikasi jamu sebagai obat herbal. Bila itu kita capai, semua akan senang. Rakyat senang, pemerintah senang, kalangan dokter juga senang.”

Tetapi, maukah pemerintah mendanai penelitian Pak Warsito?

Pak Ahmad Utomo menyatakan, “Sebagai peneliti kanker, saya paham betul betapa dhaif-nya manusia dihadapan Sang Pencipta. Kesempurnaan manusia juga merupakan kelemahannya. Tidak ada klinisi waras yang bisa menjamin apapun. Para klinisi dan peneliti hanya mengobservasi dan mencatat terobosan yang ada, baik yang fenomenal seperti obat imatinib mesylate yang berhasil mengendalikan chronic myeloid leukemia, maupun yang inkremental seperti terapi target untuk kanker kolorektal metastatik. Dulu median survival hanya 10 bulan kira2 15 tahun yang lalu, kini kita bisa melihat separuh bisa bertahan lebih hingga hampir 40 bulan. Saya setuju kalau penelitian harus didanai dan memang ada resiko gagal. Di situlah pentingnya institusi khilafah yang memastikan bahwa penelitian yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai swasta…”

Lantas apakah nasib penelitian Dr. Warsito harus menunggu tegaknya khilafah seperti pendapat Pak Ahmad Utomo di atas?

Mungkin tidak harus begitu. Menurut dokter Annisa Karnadi, karya orang Indonesia pun bisa digunakan sebagai standar terapi. Bu Annisa menulis tentang Protokol Yogya, “Protokol Yogyakarta ini merupakan metode pengobatan susunan obat untuk pasien leukemia (Acute lymphoblastic leukemia – ALL) sampai usia dua tahun. Komposisi obat dan biayanya yang lebih murah sekitar sepersepuluh sampai seperduapuluh dibandingkan dengan pengobatan di negara asing.”

“Protokol Yogyakarta pada awalnya mendapat kritikan dari dunia internasional. Tapi ternyata setelah dijalankan angka kematiannya kecil dan angka kesembuhannya besar dan tidak kalah dengan pengobatan di luar negeri. Bahkan, biayanya justru lebih murah. Saat ini, delapan dari sepuluh penderita kanker anak terutama leukemia yang dirawat di RSUP Dr Sardjito bisa disembuhkan. Hal ini terjadi karena ada Protokol Jogya. (Sebelumnya, angka harapan hidup di negara berkembang itu hanya 20%). Salah satunya Erlinda. Terdiagnosis leukemia di umur 1.5 tahun. Umur ketika anak masih lucu-lucunya. Tentu tidak mudah menerima kenyataan pahit ini! Tidak terima, Eka dan Evi, kedua orang tuanya kemudian berupaya membawa Erlinda cek ulang di rumah sakit lain. Namun, setelah melakukan diskusi panjang, keinginan itu ditinggalkan. Keduanya memilih berserah dan segera melakukan pengobatan. Setelah menjalani pengobatan selama dua tahun, Erlinda bebas dari obat. Sekarang Erlinda sudah berusia 15 tahun (2012) dan dinyatakan sembuh. Monggo digugling, sampai ke Pubmed pun bisa ketemu lho.”

Dari jauh saya hanya bisa menitip harapan dan mendoakan agar Pak Warsito diberikan kesabaran dan ketabahan untuk mengawal penemuannya. Rontgen menunggu 32 tahun sejak lulus PhD untuk menerima Nobel atas penemuan sinar yang di kemudian hari diberi nama dirinya, sinar Rontgen alias X-ray. Marie Curie akhirnya meninggal dengan kondisi menderita kanker darah anemia aplastik karena terpajan bahan-bahan radioaktif selama puluhan tahun.

Meski Rontgen dan Marie Curie adalah ‘orang kafir’, semoga kita semua bisa meneladani dan memetik hikmah dari pengorbanan beliau semuanya.

Colchester, 13 Februari 2016.

Posting Komentar untuk "Menitip Harapan ke Pak Dr. Warsito"

close