Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ULAMA dan POLITIK


Oleh : H. Luthfi Hidayat

Politik adalah pengaturan urusan umat dengan sudut pandang ideologi. Warna sebuah masyarakat selaras dengan orientasi ideologi politiknya. 

Ulama sebagai pewaris Nabi, tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan politik. Pelita politik kehidupan sangat ditentukan oleh peran para ulama. Dunia politik akan gelap, arah kebijakan tersesat, jika ulama tidak hadir dalam dunia politik. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda; 

إِنَّ مَثَلَ الْعُلَمَاءِ فِي الْأَرْضِ كَمَثَلِ النُّجُومِ فِي السَّمَاءِ يُهْتَدَى بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ فَإِذَا انْطَمَسَتْ النُّجُومُ أَوْشَكَ أَنْ تَضِلَّ الْهُدَاة. 
"Permisalan para ulama` di bumi seperti bintang-bintang di langit, digunakan sebagai petunjuk dalam kegelapan daratan dan lautan. Jika bintang-bintang itu hilang, dikhawatirkan orang-orang yang mencari petunjuk menjadi sesat." (HR. Ahmad)

Pengaturan kehidupan politik Bani Israil oleh para Nabi mereka. Demikian juga saat fajar peradaban Islam. Rasulullah saw diutus selain sebagai Nabi dan Rasul, beliau adalah kepala Negara di Madinah. 

Setelah Rasul saw wafat, urusan politik dan pemerintahan kaum muslimin dipangku oleh para Khalifah. 

Mereka khulafa ur rasyidin, pengganti posisi Rasul sebagai kepala negara, adalah para ulama. Figur seorang Khalifah (kepala negara) saat itu tidak bisa dipisahkan dengan figur ulama. Mereka adalah seorang ulama yang berkuasa, penguasa ulama.

Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khathab adalah shahabat yang alim. Utsman bin Affan adalah penghafal Al Qur’an. Sementara Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah gudangnya ilmu. 

Selepas Khuafa ur Rasyidin, peran strategis ulama juga tidak pernah terpisahkan dengan kehidupan politik. Ulama seperti Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Al Ghazali, adalah para ulama yang senantiasa konsen terhadap persoalan politik. Peran penting mereka dalam kehidupan politik terlihat dari perhatian mereka terhadap keputusan-keputusan Khalifah terkait dengan urusan kaum Muslimin. 

Imam Ahmad bin Hanbal—semoga Allah merahmati beliau-- menyatakan: 

إذا خشي العالم تقية أن يقول الحق والجاهل يجهل فمتى يعرف الحق
“Jika seorang ulama takut mengemukanan kebenaran, sementara orang bodoh ada dalam kebodohannya, bagaimana mungkin kebenaran akan bisa diketahui oleh manusia?”. 

Imam Abu Hanifah lebih memilih panjara, untuk mempertahankan prinsip bahwa "al qur'an bukan makhluk" di hadapan penguasa. 

Imam Al Ghazali meninggalkan bait kata-kata betapa penting peran ulama. 

"فساد الرعايا بفساد الملوك، و فساد الملوك بفساد العلماء"

“Rusaknya rakyat adalah dikarenakan rusaknya penguasa, dan rusaknya penguasa dikarenakan karena rusaknya para ulama”. 

Peran nyata politik ulama adalah melakukan muhasabah atas keputusan politik penguasa. Menyuruh kepada yang makruf dan mencegar atas kemungkaran. Karena kebaikan dan kemungkaran yang terjadi di masyarkat sangat terkait dengan keputusan politik pengusa, sehingga perlu dimuhasabah. 

Rasul saw mengingatkan bahwa jihad yang paling utama adalah ketegasan ulama dalam mengingatkan penguasa. 

َ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِر

"Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dhalim, atau pemimpin yang dhalim."

Peran politik seorang ulama adalah menjelaskan sebuah kebenaran politik. Politik seringkali mengaburkan tujuan dan menyembunyikan hakikat kebenaran. Peran politik seorang ulama adalah mengungkap hakikat kebenaran politik. Peran politik ulama demikian adalah merepresentasikan Firman Allah.

(وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ)

“dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Al Baqarah 42)

Firman Allah Ali Imran 187.

(َ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ)

"Hendaklah kamu menerangkan (hakikat kebenaran) kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan (kitab itu) ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.”

Demikian pula Firman Allah Al Baqarah 159.

(إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati”.

Saat penjajahan terjadi di negeri-negeri Islam, peran politik ulama juga tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan para ulama. Tinta emas peran ulama dan santri dalam mengusir penjajah tidak bisa dihapus. Semangat jihad senantiasa menjadi motivasi mereka dalam mengusir penjajah. 

Saat negeri-negeri Islam merdeka secara fisik, Barat yang kafir kemudian tetap menancapkan sistem Politik Sekuler di negeri-negeri Islam. Ini adalah bencana politik bagi umat Islam. Sistem politik ini pelan tapi pasti terus menggerus peran strategis ulama dalam kehidupan politik. Ulama semakin jauh dan terjauhkan dari kehidupan politik. 

Hakikat keterpisahan peran ulama dengan politik ini adalah keniscayaan penjajahan politik Barat terhadap umat Islam. Selama ulama jauh dari persoalan politik, abai terhadap keputusan-keputusan politik, umat ini selalu dalam posisi rendah dan terjajah. [VM]

Posting Komentar untuk "ULAMA dan POLITIK"

close