Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Upaya Formalisasi LGBT Manifestasi Perang Politik & Ideologi


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)

Barat ‘konsisten’ membuat makar dengan melahirkan keadaan stagnan di seluruh Dunia Islam. Implikasinya, gelora Islam menurun dan padam. Hingga hari ini opini LGBT masih panas, serangan Barat dengan perlawanan umat Islam atas opini LGBT ini memang tidak seimbang. Serangan Pradaban Barat didukung oleh PBB, gabungan negara, perusahaan raksasa, media TV dan media sosial, dan disempurnakan penguasa-penguasa pengkhianat negeri muslim. Sementara pihak Islam saat ini nyatanya hanya ada pada umat itu sendiri. Islam tidak punya kekuatan negara dengan segala perangkatnya.

Barat masih melanjutkan serangannya dengan dua kekuatan utama: politik dan tsaqâfah (pemikiran). Dahulu Barat tidak hanya memecah-belah wilayah Dunia Islam menjadi beberapa bagian, tetapi juga menikam dari dalam. Barat memicu bangkitnya gerakan-gerakan sekuler liberal di dalam tubuh negeri-negeri Islam. Isu LGBT dijadikan alat penggerak Barat untuk menghancurkan kaum muslimin. HAM, liberalisme, demokrasi dan turunannya menjadi lahan subur berkembangnya perilaku menyimpang bahkan mendorong agnotisme, menolak mengakui aturan agama.

Agresif dan Massif

Pemikir-pemikir barat berupaya mencari dalih pembenaran, Altman (1996)  melabeli fenomena LGBT sebagai “global queering”. Menurut Jackson (2009), kapitalisme dan pasar di tengah proses globalisasi telah berkontribusi secara signifikan dalam mengembangbiakkan budaya dan identitas kelompok homoseksual. Menurutnya, globalisasi yang ditandai dengan intensifikasi cross-border arus modal, barang, manusia,dan bahkan ide merupakan simbol dari kesalingterhubungan global masyarakat dan budaya. Pada saat yang sama, globalisasi tidak hanya melahirkan homogenisasi tetapi juga hibridisasi budaya sehingga melahirkan bentuk baru budaya lokal (new forms of local culture) yang sekaligus juga paralel dengan budaya global (Barat). Sehingga, global queering, menurutnya, perlu dipandang sebagai hasil dari pengaruh budaya lokal dan transnasional.

Perjuangan identitas ditandai dengan banyaknya organisasi dan komunitas LGBT yang memperjuangkan identitasnya. Setidaknya terdapat sebanyak 119 organisasi atau komunitas LGBT di 28 dari 34 provinsi di Indonesia (Oetomo dkk. 2013). Jumlah tersebut belum termasuk organisasi-organisasi yang concern pada hak-hak asasi manusia dengan perjuangan pada hak-hak LGBT.

Hal tersebut terlihat dengan terbentuknya jaringan-jaringan komunitas LGBT, baik yang berskala nasional, regional maupun internasional. Dalam skala nasional, hingga tahun 2013 terdapat dua jaringan organisasi nasional LGBT yang menghimpun 119 organisasi LGBT (Oetomo dkk. 2013). Jaringan organisasi dan komunitas LGBT tersebut misalnya Jaringan Gay, Waria dan Laki-laki yang Berhubungan Seksual dengan Laki-laki/LSL Indonesia (GWL-INA) dan Forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer (LGBTIQ). Adapun di tingkat regional atau internasional, jaringan-jaringan organisasi LGBT misalnya The Global Alliance for LGBT Education (GALE), International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA), serta Island of South East Asia Network of Male and Transgender Sexual Health (ISEAN).

Melalui jaringan nasional dan regional tersebut, kelompok dan organisasi LGBT berusaha mengorganisasikan usaha merebut dan memperjuangkan identitas mereka. Caranya melalui kampanye-kampanye hak asasi manusia dengan beragam media, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di Indonesia, peringatan hari melawan homophobia IDAHO digunakan untuk menyuarakan hak-hak mereka di berbagai daerah. Selain itu, pertemuan-pertemuan di level nasional dan regional digagas untuk mendesak pemerintah menerima LGBT sebagai kelompok sosial dan memberikan hak-hak kaum LGBT sebagai warga negara. Misalnya pada tahun 2013 digelar pertemuan level regional di Bali untuk menggagas Being LGBT in Asia, yakni mengenai bagaimana seharusnya LGBT hidup dan diperlakukan dalam masyarakat Asia.

Pergerakan organisasi dan komunitas LGBT di negeri ini banyak disokong oleh dana dari lembaga asing. Diungkap di halaman 64 Laporan “Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia”, hasil dokumentasi Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia pada 13-14 Juni 2013 di Bali sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in Asia” oleh UNDP dan USAID. Diungkap bahwa sebagian besar organisasi mendapat pendanaan dari lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari AusAID, UNAIDS dan UNFPA. Ada sejumlah negara Uni Eropa yang pernah mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan paling luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organsiasi Belanda, kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi organisasi-organisasi LGBT.

Media Proxy War

Posisi geografis Indonesia yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa menempatkan Indonesia dalam wilayah tropis yang hanya merasakan dua jenis musim; kemarau dan penghujan. Sehingga di Indonesia bisa bercocok tanam sepanjang tahun. Indonesia juga masih memiliki lebih dari 5.000 m kubik air bersih per kapita per tahun. Dari sisi kepemilikan migas dan gas metana batu bara, sumur-sumur minyak, gas, dan simpanan batu bara di hampir diseluruh wilayah Indonesia telah diolah perusahaan-perusahaan asing yang memiliki modal besar.

Selain itu, posisi geopolitik Indonesia yang tepat di tengah negara-negara Five Power Defense Arrangement (FPDA), yaitu perjanjian kerja sama pertahanan negara-negara persemakmuran Inggris, menyimpan kerawanan yang patut menjadi perhatian serius.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menilai, fenomena kemunculan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer. Menurut dia, ancaman perang proksi itu berbahaya bagi Indonesia karena negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung berhadapan. Oleh karena itu, fenomena pendukung LGBT yang meminta komunitasnya dilegalkan itu wajib diwaspadai. "(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya," kata mantan kepala staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini.

Ia menjelaskan, perang proksi itu menakutkan lantaran musuh tidak diketahui. Kalau melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan. "Kalau perang proksi, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang modern semua hancur. Itu bahaya," paparnya. Ia menambahkan, perang modern tidak lagi melalui senjata, tapi menggunakan pemikiran. "Tidak berbahaya perang alutsista, tetapi yang berbahaya cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap ideologi negara," tuturnya. (republika.co.id 23/2)

Sifat dan karakteristik perang telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Barat mengurangi imperialism secara konvensional. Namun, adanya tuntutan kepentingan Barat telah menciptakan perang-perang jenis baru. Diantaranya perang proxy. Perang proxy atau proxy war adalah sebuah konfrontasi antardua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal.

Biasanya, pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa nonstate actors yang dapat berupa LSM, ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan. Melalui perang proxy ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan nonstate actors dari jauh. Proxy war telah berlangsung di Indonesia dalam bermacam bentuk, seperti gerakan separatis dan lain-lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lepasnya Timor Timur dari Indonesia yang dimulai dengan pemberontakan bersenjata, perjuangan diplomasi, sampai munculnya referendum merupakan contoh proxy war yang nyata. Celah Timor tanpa diduga menyimpan minyak dan gas bumi dalam jumlah yang fantastis. Australia pun ingin menguasai kandungan minyak di celah Timor dengan pembagian yang lebih besar. Setelah perjanjian celah Timor dengan Indonesia berakhir, Australia menggunakan isu hak asasi manusia, menyerukan perlunya penentuan nasib sendiri untuk rakyat Timor Timur.

Di jalur diplomatik, Australia juga membujuk PBB untuk mengeluarkan sebuah resolusi Dewan Keamanan agar mengizinkan pasukan multinasional di bawah pimpinannya masuk ke Timor Timur dengan alasan kemanusiaan, menghentikan kekerasan, dan mengembalikan perdamaian.

AS dan Kapitalisme Biang Keladi

Setidaknya ada 27 perusahaan raksasa yang mendukung pernikahan sejenis, beberapa diantaranya : Apple, Starbucks, Google, Facebook, eBay, Nike.inc, Gap, Microsoft, Instagram dan Mastercard, yang mayoritas berasal dari Amerika serikat. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak segan mendonorkan dana yang tidak sedikit untuk menyokong pergerakan LGBT dan media massa yang secara aktif bertindak sebagai promotor paham kotor ini.

Posisi Amerika sebagai negara pertama dalam konstelasi politik dunia, dengan kekuatan politik dan ekonominya terbukti menjadi tumpuan utama gerakan LGBT. Salah satu buktinya adalah dalam program Being LGBT in ASIA” yang diluncurkan UNDP, AS mengucurkan dana hingga US$ 8 juta dari USAID, sejak Desember 2014 hingga September 2017. Kekuatan media massa AS pun secara agresif turut mengangkat isu LGBT dengan berusaha menanamkan opini keharuan untuk melegalkan dan menerima segala bentuk penyimpangan orientasi dan ekspresi seksual tersebut oleh masyarakat secara luas. 

Efek US-ASEAN Summit akan semakin memperburuk keadaan, ratusan juta Muslim di Asia Tenggara akan menjadi target dari kepentingan banyak perusahaan, aktor non negara dan tatanan nilai destruktif yang diimpor dari AS. Termasuk perilaku dan budaya merusak seperti LGBT yang terus menggasak masuk ke negeri-negeri Muslim dan mendapat suplai kekuatan ekonomi dari perusahaan-perusahaan raksasa AS. Promosi tentang LGBT ini jelas sangat berbahaya bagi masyarakat Muslim karena akan membawa generasi umat manusia pada ambang kepunahan, menyebarkan wabah penyakit dan mengakibatkan depopulasi manusia.

Belajar dari jejak kerusakan yang telah diukir di negara AS sendiri, dimana di negeri mereka telah mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kemunduran moral dan peradaban. Pembangunan pesat senantiasa diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tingginya angka bunuh diri, hingga anjoknya angka kelahiran dan pernikahan akibat massifnya pelibatan perempuan sebagai angkatan kerja. Maka penjajahan Barat harus dilawan. [VM]

Posting Komentar untuk "Upaya Formalisasi LGBT Manifestasi Perang Politik & Ideologi "

close