Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Valentine Day Tolak, Kalau Demokrasi?


Oleh: Muhamad Afif Sholahudin 
(Mahasiswa UIN Bandung)

Dalam sejarahnya, Valentine Day bukanlah berasal dari Islam. Pemeran sejarahnya bukan dari Islam, dan prakteknya pun bertentangan dengan ajaran Islam. Valentine day berasal dari pagan Lupercalia yang aktivitas utamanya adalah seks massal. Menurut Ustadz Felix, Perayaan Lupercalia adalah kebudayaan pagan Romawi untuk memuja Lupercus sang dewa kesuburan dan Hera dewi pernikahan. Aktivitasnya diisi dengan seks massal, karena inti perayaannya adalah kesuburan. Kemudian Paus Gelasius mengesahkan perayaan ini menjadi hari raya gereja pada tahun 496 Masehi. Nama Valentine Day adalah perubahan dari nama Lupercalian Festival. Dikaranglah cerita mengenai St. Valentinus yang mati demi cinta, hingga cerita tentang Valentine sampai sekarang pun terdapat berbagai versi. Tahun 1969 gereja melarang Valentine Day karena diketahui pembenaran Lupercalian. Tapi kenyataannya St. Valentinus sudah mengakar kuat dalam benak kaum kristiani.

Sedalam apapun kita pelajari sejarahnya, sangat bertentangan dengan budaya Islam yang benar-benar menjaga pergaulan tiap individu. Efeknya pun semakin jelas, tiap hari V-Day penjualan kondom di Indonesia meningkat. Bahkan di Amerika Serikat, tanggal 14 Februari diperingati sebagai Nation Condom Week karena maraknya pergaulan bebas di sana. Buruknya, banyak umat muslim yang merayakan momentum ini untuk berkasih sayang dengan lawan jenisnya. Naudzubillah min dzalik.

Bagaimana dengan demokrasi? Demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoriter dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (Abad X-XV M). Di satu sisi, dominasi gereja dan Raja Eropa agar seluruh aturan (pemerintahan, politik, ekonomi) harus tunduk kepada dogma gereja yang diputuskan oleh raja sebagai wakil tuhan. Jadi siapa saja yang menentang dogma gereja, termasuk ilmu pengetahuan, harus diberantas. Di sisi selanjutnya, terjadi pertentangan para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran agama katolik dalam kehidupan. Kondisi ini mulai muncul saat peristiwa Reformasi Gereja dan Renaissance, titik tolak meruntuhkan dominasi otoriter gereja. Hingga pasca Revolusi Prancis tahun 1789, muncul jalan tengah dari dua sisi tadi, yakni terciptanya paham sekulerisme yang memisahkan agama dan kehidupan. Agama dibolehkan hanya dalam urusan manusia dengan tuhannya, sedangkan dengan manusia lain tidak boleh, seperti ekonomi, politik, dsb. Karena urusan Negara tidak boleh diurus oleh agama, maka tidak ada pilihan lain selain urusan itu diserahkan kepada manusia yang membuat aturannya sendiri. Maka terciptalah slogan demokrasi -yang pasti sudah kita hapal- “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, dengan substansinya kedaulatan di tangan rakyat.

Kalau disimpulkan, dua budaya tadi tidak ada yang berasal dari Islam. Kalau ingin menilai seimbang, maka seharusnya kedua-duanya termasuk paham yang harus ditolak. Lantas bagaimana sikap kita sebagai aktifis penolak Valentine Day namun masih mendukung Demokrasi?

“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian dari ayatku  dan ingkar terhadap sebahagian yang lainnya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat...” (QS Al Baqarah: 85). [VM]

Posting Komentar untuk "Valentine Day Tolak, Kalau Demokrasi?"

close