Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepemimpinan Wanita Patutkah Diperjuangkan?


Oleh : Mia Yunita, SP. (*)

Mulai terlihat gerak politik para wanita yang bersiap mencalonkan diri dalam pemilahan kepada daerah pada masing-masing wilayah Indonesia.  Mereka siap bersaing meraih kepemimpinan daerah dengan para pria. Contohnya seperti Desy Ratnasari yang siap dicalonkan sebagai gubernur Jakarta mendatang (Suara.com 7/03/2016). Di era Reformasi, Megawati Soekarnoputri pernah menjadi presiden wanita Indonesia pertama. Kini, di pentas pemerintahan Indonesia pun menyusul nama-nama muslimah yang menjabat sebagai kepala daerah, seperti Tri Risma Harini (Walikota Surabaya), Illiza Sa’auddin Djamal (Walikota Banda Aceh) dan belum termasuk para camat, lurah & bupati wanita lainnya di Indonesia.  Sejarah di Indonesia mencatat adanya kepemimpinan wanita (muslimah) di Kerajaan Aceh Darussalam. Ada 4 wanita yang pernah menjadi Sultanah dari 31 Sultan yang pernah bertahta, yaitu  Sri Taru Tajul Alam Safiatuddin (1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H) dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H). 

Di kelas dunia, Benazir Bhutto bukanlah nama yang asing sebagai kepala negara  Pakistan. Tak ketinggalan, Sheikh Hasina, kepala negara Bangladesh yang memimpin dalam dua periode (1996-2001 dan 2009-hingga sekarang) kemudian Naveeda Ikram, seorang muslimah pertama pemimpin kota Bradford, Inggris pada 24 Mei 2011, Vero George Mousa Baboun atau Bashaer Otthman sebagai walikota wanita Allier, Palestina (Mei 2015),  Zahra Sadr A’dzham Nuri walikota wanita pertama Iran (April 2015), Zakra Alwach walikota wanita pertama Irak (Februari 2015), juga Afsana Muhammad walikota wanita Gujarat (4 April 2015).  

Realita para muslimah yang merambah ranah kekuasaan pemerintahan dalam pemberdayaan peran politik ini menjadi dalil pembenaran bagi muslimah untuk menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Fenomena diskriminasi wanita dalam berbagai sektor dan hukum positif yang menyamakan posisi pria-wanita (kesetaraan gender) menjadi tambahan dalil atas idealisme kepemimpinan wanita.

Bila kekuasaan wanita dalam pemerintahan tersebut sebagai idealisme saviour of women, apakah nasib para wanita, remaja putri termasuk anak sudah terselamatkan?  Seberapa jauh sudah langkah idealisme mereka agar para wanita mendapatkan pengayoman yang optimal dari negara serta terbebas dari belenggu hedonis & kapitalistik yang mencekik? Akhirnya di sini saya berpikir, wanita ataupun pria yang menguasai tampuk pemerintahan bersistem Kapitalis Sekuler pengusung demokrasi, nasib rakyatnya tak akan pernah beranjak dari keterpurukan.

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita,” demikian Rasulullah bersabda ketika beliau mengetahui penduduk Persia telah mengangkat Buwaran binti Syairarawaih bi Kisra sebagai ratu karena ayah & saudara laki-lakinya terbunuh saat terjadi suksesi & pertumpahan darah. 

Islam telah memberikan posisi yang mulia bagi wanita.  Wanita dibolehkan menjadi pemimpin bagi kaumnya (sesama para wanita) baik dalam mengelola usaha pribadi, bekerja juga beraktivitas politik bersama partai politik Islam sesuai koridor syariah.  Umar bin Khatab bahkan pernah mengangkat asy Syifa sebagai qadhi hisbah yang menangani persengketaan di pasar. 

Tugas pokok bagi wanita di dalam Islam adalah sebagai seorang ibu & pengatur rumah tangga (ummu wa rabbatul bayt). Terkait konteks dalam pemerintahan, berdasarkan hadis Rasulullah tentang Ratu Kisra maka wanita memang tidak berhak atas kekuasaan di dalamnya. Jabatan pimpinan negara (khalifah), mu’awin, wali, ‘amil atau jabatan pemerintahan lainnya jelas di dalam Islam tidak boleh dijabat oleh wanita.

Bagaimana dengan para wanita produktif  yang berstatus a). belum menikah, b). janda, c). tidak memiliki keturunan, d). memiliki anak-anak yang dewasa sehingga tidak terlalu banyak menangani urusan rumah tangga lagi?  Apakah realita tersebut menjadi pengecualian agar bisa menjabat di dalam pemerintahan?  Tentu saja tidak.  Para wanita tersebut tetap memiliki tugas sebagaimana kodratnya, yaitu meri’ayah umat dengan dakwah juga memberikan kontribusi kepada Khilafah dan umat dengan kemampuan yang ia miliki. Kontribusi yang diberikan yaitu mengaplikasikan seluruh ilmu baik ilmu Islam & ilmu umum yang ia miliki untuk kemajuan Islam sekaligus tetap mengurusi kedua orang tuanya sebagai aktivitas birrul walidayn, juga melayani & mendidik anak-anaknya selaku ibu. Kewajiban melayani suami juga tetap ada untuk istri yang tidak memiliki keturunan juga bagi ibu yang anak-anaknya sudah dewasa. 

Sungguh hanya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang mampu mengoptimalkan peran wanita dalam kiprahnya berkontribusi bagi umat sesuai syariah. Wallahu’alam bish shawab. [VM]

(*) Member grup FB “Belajar Nulis”, Tinggal di Banjarmasin.

Posting Komentar untuk "Kepemimpinan Wanita Patutkah Diperjuangkan?"

close