Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Muslim Myanmar (Masih) di Bawah Acungan Senjata


Oleh : Umar Syarifudin (*)

Nama aktivis pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, masuk ke dalam daftar 18 tokoh yang akan menduduki posisi kabinet baru pimpinan presiden terpilih Htin Kyaw. Partai pimpinan Aung San Suu Kyi, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan pemilu bersejarah di Myanmar pada bulan November 2015 lalu.

Politisi Burma Aung San Suu Kyi tengah disorot media internasional tentang sikap marah saat mengetahui dia diwawancara seorang Muslim untuk sebuah acara di BBC. Suu Kyi diwawancara oleh Mishal Husain untuk program Radio 4. "Tidak ada yang memberi tahu saya, saya akan diwawancara seorang Muslim," kata Suu Kyi, seperti yang dilansir dari indepedent.co.uk, Sabtu (26/3). 

Penerima Penghargaan Nobel Perdamaian dari Myanmar, Aung San Suu Kyi emosi ketika wawancara dengan salah satu wartawan BBM, Mishal Husain. Dilansir Tribune, setelah mendapat sejumlah pertanyaan dari Husain, Suu Kyi yang dianggap sebagai simbol kebajikan di negara Barat, bergumam marah saat off-air, "Tidak ada yang bilang aku akan diwawancarai oleh seorang Muslim." Suasana tidak mengenakkan antara dua wanita asal Asia tersebut mengemuka setelah sebuah buku berjudul The Lady Dan The Generals: Aung San Suu Kyi And Burma's Struggle For Freedom karya Peter Popham, terbit. 

Selama sesi wawancara, Husain berulang kali meminta Suu Kyi untuk menghukum sentimen anti-Islam dan gelombang pembantaian massa Muslim di Myanmar. Namun, Suu Kyi menolak melakukannya. Suu Kyi memang tidak pernah memberikan pernyataan yang tegas mendukung Muslim Rohingya, Muslimin yang dianiaya di Burma barat. Sepuluh ribu orang tanpa negara, tanpa rumah, dan tanpa hak karena kebijakan Pemerintah Burma. Suu Kyi menolak kekerasan di Arakan. Tapi, ia juga tidak mau mengakui kekerasan tersebut dilakukan oleh Buddha Arakan, seperti yang dikatakan oleh Human Right Watch. Hal ini membuat banyak pihak, terlebih dunia Barat, terkejut atas ketidakmampuannya melihat dan mengutukan kekerasan yang terjadi di Arakan. Mengingat nama besarnya, banyak pihak yang berharap ia akan berbicara dan menghentikan kekerasan yang terjadi. (republika.co.id 26/03/16)

Selama ini Suu Kyi banyak dikecam karena tidak mengeluarkan pernyataan apapun terkait penganiayaan etnis minoritas Roingya. Hingga kini sebanyak 140.000 orang masih hidup dalam kesengsaraan di kamp-kamp pengungsi di berbagai lokasi di Myanmar selama tiga tahun terakhir. 
Di negeri yang sebagian besar warganya bisa dikatakan anti-Muslim bungkamnya Suu Kyi adalah lebih untuk mengamankan partai politiknya yang akan resmi memerintah Myanmar pekan depan. Namun, bagi umat Muslim Myanmar, kisahnya jauh lebih rumit. Sebagian besar dari mereka mendukung Suu Kyi, namun muncul kekhawatiran Suu Kyi tidak banyak menaruh simpati pada masalah ini.

Cara Nazi

Rejim militer Myanmar menggunakan cara Nazi dan ketakutan terhadap Islam, atau Islamfobia, untuk memusnahkan Muslim Rohingya secara sistematis. Penyelidikan selama 18 bulan yang dilakukan peneliti Queen Mary University of London mengungkapkan pemerintah, dengan dukungan militer di tingkat negara bagian — didukung biksu nasionalis garis keras — mendalangi penghancuran minoritas paling tertindas di negeri itu. Kelompok yang dipimpin oleh biara menyebarkan sentimen anti-Muslim, yang mereka tuduh berusaha mengambil alih Myanmar dan mengalahkan mayoritas Buddha.

Ratusan orang tewas dalam kekerasan agama di Myanmar. Pada tahun 2012, sebuah insiden di negara bagian Rakhine berujung pada 140.000 orang yang pergi mengungsi, dan sebagian besar adalah anggota minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki negara. (voaindonesia.com, 1/9/2015)

Puluhan tahun terjadi Pembantaian Muslim Burma atau Myanmar. Media massa ‘sunyi’ dalam mengupas bagaimana perjuangan dan kondisi Muslim Burma selama ini. Kelompok aktivis hak asasi manusia internasional hanya membciarakan Suu Kyi, padahal SLORC (State Law and Order Restoration Council—atau Dewan Restorasi Penguasa dan Hukum Negara) melakukan banyak tindakan brutal terhadap Muslim Burma. Operasi militer Burma mulai muncul ke permukaan pada 1998 seiring dengan munculnya Suu Kyi yang mendapatkan penghargaan perdamaian Nobel pada tahun 1991.

Tahun 1886, Inggris menjajah Burma, dan sebelumnya umat Muslim dan Hindu di negara ini hidup berdampingan dalam damai. Tahun 1938, Inggris mulai menurunkan tangan besinya. Lebih dari 30.000 Muslim Burma dibunuh secara missal, dan 113 masjid diberangus.Setelah kemerdekaan Burma tahun 1948, nasib bangsa Muslim tidak juga berubah. Mereka menjadi korban kekerasan pemerintah dan militer, dan jumlahnya bahkan sampai 90.000 ribu orang yang tewas. Tahun 1961, pemerintah Burma menyatakan bahwa Budha adalah agama negara dan semua orang Islam harus belajar nilai dan budaya agama Budha.Lewat kudeta militer, Jenderal Ne Win mendeklrasikan Burma sebagai Negara sosialis.Tahun 1982, Ne Win menyatakan Muslim Rohingya sebagai pendatang ilegal.

Sementara diskriminasi terhadap Muslim Burma terus berjalan tanpa diketahui banyak oleh dunia internasional. Tahun 1990. Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu untuk pertama kalinya. Namun SLORC, tidak mengakui kemenangan Suu Kyi dan sebaliknya menangkap dan memenjarakannya. Bukan hanya pada Suu Kyi, SLORC juga kejam terhadap Muslim Burma.Mereka tak segan menembak langsung di tempat jika mendapati orang Islam sedang shalat di masjid.

Pada tahun 2012 kerusuhan rasial pecah antara suku Rakhine dan Rohingya yang dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Rakhine oleh para pemuda Rohingya yang disusul pembunuhan sepuluh orang pemuda Muslim dalam sebuah bus oleh orang-orang Rakhine. Menurut pemerintah Myanmar, akibat kekerasan tersebut, 78 orang tewas, 87 orang luka-luka, dan lebih dari 140.000 orang terlantar dari kedua belah pihak baik suku Rakhine maupun Rohingya. Pemerintah menerapkan jam malam dan keadaan darurat yang memungkinkan pihak militer bertindak di Rakhine. 

Walaupun para aktivitis LSM Rohingya menuduh bahwa pihak kepolisian dan kekuatan militer turut berperan serta dalam kekerasan dan menangkap orang-orang Rohingya, tetapi penyelidikan oleh organisasi International Crisis Group melaporkan bahwa kedua belah pihak mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pihak militer. Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu. Pada bulan Maret 2015 yang lalu pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Ini menyebabkan orang-orang Rohingya mengungsi ke Thailand, Malaysia dan Indonesia. 

Para Muslimah Rohingya juga kerap dijadikan sasaran pemerkosaan oleh tentara Burma. Tanggapan dunia internasional? Seperti biasa, bersikap ganda. Di satu sisi, dahulu AS mengecam pemerintah Burma karena penangkapan dan penyiksaan aktivis kemanusiaan seperti Suu Kyi, namun di sisi lain mengabaikan nasib Muslim Burma yang jelas-jelas menjadi korban kebiadaban yang tak berkesudahan AS bungkam.  

Kedholiman Penguasa Muslim

Sudah 2 tahun Jokowi menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Tentu itu waktu yang cukup bagi rezim Jokowi untuk sekedar menunjukkan keberpihakannya terhadap muslim dunia, termasuk muslim Rohingya yang menghadapi tindakan keji mayoritas Budha. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, maka sudah sewajarnya memiliki presiden yang memiliki sikap yang tegas terhadap urusan yang menyangkut urusan umat Islam. Akan tetapi, kenyataannya, hal itu tidak pernah ia lakukan, yang terjadi malah pengkhianatan yang memalukan.

Jokowi tak sedikitpun menunjukkan kepeduliannya terhadap muslim Rohingya—yang sejak diberlakukannya UU kewarganegaraan 1982 di Burma—mereka tidak lagi dicantumkan sebagai salah satu etnis yang diakui di Myanmar. Akibatnya, masyarakat Rohingya yang sudah berabad-abad mendiami tanah Rakhine pun praktis menjadi penduduk tanpa status kewarganegaraan bahkan dicap sebagai imigran Bangali (Bangladesh) ilegal.

Semakin diperluasnya kerjasama Indonesia-Myanmar di antaranya, di bidang perhubungan, yaitu penerbangan langsung dari Indonesia ke Myanmar, dan juga peningkatan kerja sama di bidang perbankan, mengokohkan sikap pemerintah RI selama ini, bahwa persolan Muslim Rohingya hanyalah problem dalam negeri Myanmar yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Indonesia. Sebelumnya, JK menyebut konflik Rohingya di Myanmar sama seperti konflik Ambon dan Poso, dalam arti murni konflik antar ras. Padahal pembantaian etnis Muslim Rohingya berbeda dengan konflik Ambon dan Poso. Sebab, Yang terjadi di Poso itu konflik horizontal, bukan penjajahan. Di Poso tidak ada peran pemerintah untuk membela satu pihak. Sementara itu, Tindakan pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya adalah penjajahan. Dengan kata lain, negeri Islam Arakan yang sudah berkuasa tiga abad, kini sedang dijajah kerajaan Burma.

Kerjasama Indonesia—Myanmar, juga dapat dibaca sebagai cara Amerika untuk menggunakan Agen-agennya dalam mendukung dan membantu negara-negara yang sejalan dengan kepentingan AS. Hal yang sama juga dilakukan AS dalam menghadapi kelompok-kelompok yang bertentangan dengan kepentingannya. imperialismw tak lain adalah metode baku terbaru AS untuk menghadang kekuatan yang akan membahayakannya di masa yang akan datang, yang tak lain adalah kekuatan Islam.

Hanya Khilafah

Nasionalisme terbukti menjadi senjata yang efektif melemahkan kaum Muslim. Paham yang menjadikan kepentingan bangsa (nation) di atas segalanya ini dengan sukses memecah belah kaum Muslim dan menghilangkan kepedulian umat Islam sebagai satu tubuh. Umat Islam yang sebelumnya bersatu atas dasar akidah Islam di bawah naungan Negara Khilafah Islam kemudian berserakan menjadi negara-negera lemah. Tanpa pengikat.

Nasionalisme juga sukses memperlemah kekuatan kaum Muslimin dengan mematikan kehirauan dan kepedulian sebagai satu tubuh dan satu umat. Hendaknya satu umat yang harus saling menolong dan saling memperkuat. Nasionalisme ini pulalah yang menyekat-nyekat negeri Islam. Dengan alasan beda negara dan beda bangsa, dan beda kepentingan, tentara-tentara negeri Islam lumpuh untuk digerakkan membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah. Selalu yang menjadi alasan harus di bawah payung PBB, baru bisa digerakkan. Padahal PBB, merupakan organisasi organ penjajah Barat yang tidak pernah membela umat Islam. Sementara di depan tentara-tentara umat itu, kaum Muslim dibunuh dan dibantai. 

Ketiadaan persatuan dan kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam merupakan buah nasionalisme. Ini pula yang menyebabkan kaum Muslim Rohingya menderita kepanjangan tanpa ada yang menyelamatkan. Padahal negeri Muslim Arakan ini dikelilingi negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Pemerintah Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta juga tidak melakukan tindakan yang serius untuk menghentikan pembantaian ini.

Kita membutuhkan Khalifah yang membuat keputusan politik dengan mengirimkan tentara menyelamatkan negeri Islam. Tanpa dibatasi oleh kebangsaan, warna kulit, atau ras. Tanpa menunggu perintah PBB yang menjadi alat penjajah Barat. Bergerak karena disatukan oleh akidah Islam dan perintah Allah SWT untuk berjihad. Dengan Khilafah, musuh-musuh Allah tidak akan memandang remeh umat Islam seperti sekarang. Umat dibantai, bahkan oleh negara-negara lemah dan miskin seperti Myanmar. 

Saatnya bersegera untuk melenyapkan kezaliman-kezaliman ini dan mengembalikan cahaya al-Khilafah kembali, sehingga kita bernaung di dunia dengan panji al-‘Uqab, panji Rasulullah saw, dan di akhirat kita bisa bernaung dengan naungan-Nya SWT pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan-Nya. [VM]

(*) Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri

Posting Komentar untuk "Muslim Myanmar (Masih) di Bawah Acungan Senjata"

close