Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Solusi Dua Negara, Tepatkah?


Oleh : Lilis Holisah (*)

Palestina adalah negeri para Nabi, disinilah kiblat pertama kaum muslimin. Namun sejak keruntuhan negara Khilafah pada 3 Maret 1924 yang lalu, Palestina tidak memiliki pelindung, penjaga.

Konflik Palestina – Israel terus berulang, tak menemukan solusi. Permasalahan Palestina bermula ketika Zionis Yahudi eksodus besar-besaran dari berbagai negara ke tanah Palestina dan mendirikan negara Israel. Upaya yang dimotori oleh keluarga Bankir Rothchilds dan pion-nya Theodore Hertzl tersebut didukung penuh oleh Inggris, yang pada 2 November 1917 pemerintah Inggris secara resmi menyetujui pendirian negara Israel melalui Deklarasi Balfour.

Pada Desember 1922, Liga Bangsa Bangsa (League of Nations) yang menjadi cikal bakal PBB (United Nations), memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Inggris dengan memberikan mandat pengaturan wilayah Palestina. Setelah itu, sedikitnya 1,3 juta kaum yahudi bermigrasi dari seluruh dunia ke tanah Palestina. Sejak saat itu, kaum muslimin di Palestina diusir dan dibunuh tanpa ada pembelaan dari siapapun. Hal tersebut bisa terjadi karena insitusi penjaga umat Islam, yakni Khilafah Islam pada saat itu sudah sangat melemah dan akhirnya runtuh pada 3 Maret 1924.

Konflik Palestina mendapat perhatian dunia, khususnya negeri-negeri muslim yang tergabung dalam OKI. Pada 6-7 Maret 2016 yang lalu, telah dilangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-5 tentang Palestina dan Al-Quds di Jakarta. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dalam pidato pembukaan KTT OKI di JCC, Jakarta, Senin (7/3) bahwa Indonesia konsisten dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Ia mengatakan selama bangsa Palestina belum merdeka, selama itu juga Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.

Presiden Jokowi di hari pertama kegiatan KTT OKI mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Dalam pertemuan itu, Presiden menyampaikan terima kasih atas persetujuan Palestina membuka Konsul Kehormatan RI di Ramallah, pertengahan Maret ini.

Selain itu, Presiden Jokowi juga menyerukan kepada PBB untuk mendukung dunia Islam sesuai peran dan tanggung jawabnya sebagai wadah masyarakat internasional untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina melalui solusi dua negara atau two state solution.

Apa yang ditegaskan oleh Jokowi mendapat sorotan dari pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana. Menurut Budi Mulyana yang juga seorang Dosen Hubungan Internasional Unikom Bandung ini, solusi yang ditawarkan Jokowi tidak menyentuh akar persoalan. Solusi dua negara yang digagas Jokowi melupakan persoalan mendasar krisis Palestina.

Persoalan mendasar konflik Palestina adalah penjajahan oleh entitas zionis Yahudi. Penjajahan inilah yang semestinya harus dienyahkan, bukan dengan menyodorkan solusi dua negara. Hanya saja, dalam pertemuan tersebut tidak ada pembahasan untuk mengenyahkan Israel dari tanah Palestina.

Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina telah muncul sejak 1974. Ini dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993. Tawaran solusi ini sebenarnya berasal dari resolusi PBB 181 yang ingin membagi Tanah Palestina menjadi dua bagian: satu untuk Palestina dan satu untuk Israel (two state solution). Dengan solusi ini diharapkan Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.

Tawaran solusi ini adalah tawaran yang aneh. Solusi dua negara sama saja artinya dengan mengakui keberadaan negara Israel di tanah wakaf milik kaum Muslim. Sesungguhnya status Tanah Palestina adalah milik kaum Muslim sampai hari kiamat berdasarkan Perjanjian ‘Illiya. Sikap penguasa negeri kaum Muslim yang turut menyetujui usulan solusi dua negara tersebut hakikatnya merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kaum Muslim sendiri.

Sesungguhnya ada kegelisahan dari negara-negara anggota OKI terhadap permasalahan Palestina yang sudah puluhan tahun belum juga menemui solusi menyeluruh. Persoalannya negara-negara anggota OKI tidak menyadari akar masalah konflik Palestina. Sehingga sudah berkali-kali konferensi semisal tersebut diadakan, tetapi hasilnya nihil. 

Menurut OKI, realitas keberadaan Israel di tanah Palestina tidak bisa diubah, sehingga solusi dua negara menjadi solusi yang tepat untuk saat ini. Yang artinya adalah kedua negara tersebut diakui sebagai sebuah entitas, baik Yahudi Israel maupun Palestina. Oleh karena itu, kemerdekaan Palestina menjadi urgent.

Bila ditelisik lebih dalam, KTT OKI ini hanya membahas persoalan teknis, terlihat dari isu yang diangkat dalam KTT ini, yakni perbatasan, pengungsi, status kota Jerusalem, pemukiman ilegal, keamanan dan air. Semua itu hanyalah persoalan teknis bukan persoalan mendasar krisis Palestina. Sementara akar masalah krisis Palestina yaitu bercokolnya entitas Yahudi Israel di tanah Palestina tetap dibiarkan, tiada upaya untuk mengusir mereka dari Palestina. 

Hasil yang diharapkan dari KTT LB OKI ini adalah dukungan politik penyelesaian masalah Palestina. Hanya dukungan politik dari negara-negara anggota OKI, bukan menyelesaikan dan mengusir penjajah Israel di bumi Palestina.

Sesungguhnya Islam datang dengan seperangkat aturan yang lengkap tentang kehidupan. Islam memiliki metode untuk menyelesaikan konflik Palestina. Metode syar’i untuk menghilangkan segala bentuk invasi dan penjajahan Israel adalah dengan jihad, bukan dengan metode yang lain. Caranya adalah dengan mengirimkan tentara-tentara dari negeri-negeri kaum Muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah.

Jihad merupakan puncak keagungan Islam. Jihad dibebankan kepada kaum muslimin. Di sinilah relevansi dan sekaligus pentingnya negara Khilafah. Khilafah adalah institusi pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri kaum Muslim kemudian mengerahkan tentaranya untuk mengusir entitas Yahudi dari Tanah Palestina. Bersatunya tentara-tentara dari negeri kaum Muslim tersebut akan membuat gentar entitas Zionis Israel yang hanya berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa tersebut. Tanpa Khilafah, umat Islam akan tetap tercerai-berai, tersekat atas nama nation state (negara bangsa). Akibatnya, mereka sulit untuk bersatu-padu mengusir Israel. Wa Allahu ‘alam. [VM]

(*) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia - Banten

Posting Komentar untuk "Solusi Dua Negara, Tepatkah?"

close