Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang 4,1 Juta Anak Terlantar


Oleh : Umar Syarifudin (*)

Anak-anak selalu istimewa. Mereka dijadikan simbol pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Namun agar harapan tersebut tak sekadar menjadi angan-angan, mereka harus terus diberikan perlindungan dan pendidikan yang layak. Dalam hal pendidikan, misalnya, semakin tinggi kualitasnya, tentu sebuah bangsa akan semakin maju. Tak ubahnya seperti anak-anak itu, semakin berkualitas pendidikan yang mereka tempuh, maka semakin berguna pula mereka bagi bangsa. Anak dan pendidikan itu jelas berkaitan erat. Pun, mereka selalu butuh perlindungan yang nyata, bukan sekadar jargon-jargon manis dan kata-kata yang hebat. Karena anak-anak yang dipedulikan, akan selalu percaya pada diri mereka sendiri. Anak-anak yang mendapatkan kasih sayang terbaik, akan selalu percaya pada masa depan yang lebih baik.

Baru-baru ini, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pemerintah memberikan perhatian serius terhadap nasib dan masa depan anak-anak Indonesia, termasuk bagi anak jalanan (anjal). Ada 4,1 juta anak yang butuh perlindungan. Saat ini, kata Mensos, data anak terlantar ada 4,1 juta anjal dan anak yang dieksploitasi 35 ribu anak, sementara KPAI merilis ada 18 ribu anak korban eksploitasi.

Sangat banyak anak-anak yang direnggut hak-haknya secara paksa, bahkan sebelum mereka tahu bahwa sejatinya mereka memiliki hak yang sama dengan orang-orang lain. Mereka dipaksa menelan mentah-mentah kekejian yang acapkali terjadi di sekitar mereka.

Kian meningkatnya kasus kekerasan menguatkan bukti bahwa Negara gagal dalam melindungi anak. Negara demokrasi kapitalistik ini mandul solusi iuntuk menghentikan wabah kekerasan terhadap anak. Alih-alih mewujudkan Perlindungan Anak yang mensyaratkan jaminan atas pemenuhan seluruh hak dasar, jaminan keamanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya,negara demokrasi malah memproduksi masalah anak dalam jumlah banyak dan dengan bentuk yang makin mengerikan.

Negara telah abai dari tanggung jawabnya dengan mereduksi fungsinya hanya sekedar pembuat regulasi dan bukan sebagai penanggung jawab penuh dalam perlindungan. Negara seharusnya mengambil tanggung jawab penuh dalam melindungi anak, faktanya menyerahkannya kepada keluarga. Terbukti dengan adanya statemen pejabat dan lembaga Negara terkait yang menisbahkan solusi persoalan kekerasan terhadap anak dan masalah sosiallainnya kepada keluarga.

Ketidak sinkronan antara komitmen Negara dengan realisasi kebijakan yang dilakukan, karena Negara tidak memiliki perangkat sistem memadai. Diantaranya Negara tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak. Dan program Negara untuk membekali calon pengantin tidaklah cukup, apalagi bersifat tentative dan insidental.

Melihat Realitas

Jika kita lihat realitanya pada anak-anak jalanan. Boro-boro mendapat pendidikan yang berkualitas, mungkin sekadar untuk membaca atau berhitung, masih banyak dari mereka kesulitan. Empati kita selalu tergelitik setiap kali melihat begitu banyak anak-anak yang seharian berkeliling dari satu bis ke bis lain, dari satu angkot ke angkot lain, dari satu tempat makan ke tempat makan yang lain, baik sendiri atau bergerombol, atau malah ditemani oleh orang tua mereka, untuk kemudian bernyanyi sekadarnya demi mendapatkan beberapa koin saja. Padahal dulu di usia yang sama, anak-anak kita justru sedang sibuk belajar di sekolah, merangkai mimpi-mimpi terbaik menuju masa depan, atau sekadar bermain tanpa beban dengan teman sebaya. Ketika aak-anak kita tersenyum senang mendapat nilai 100 dari guru, mereka justru harus terpaksa puas dengan kepingan 500 rupiah hasil mengamen dari angkot ke angkot.

Realitasnya anak jalanan berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios, dengan demikian anak-anak jalanan merupakan anak-anak yang bekerja untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengorbankan waktu-waktu belajar dan bermain mereka sesuai hak dan kewajiban yang seharusnya mereka terima dan penuhi. Anak-anak jalanan bertindak berdasarkan faktor-faktor yang memicu mereka untuk turun kejalanan, seperti tekanan ekonomi, broken home, dan ajakan teman. Faktor-faktor tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan bisa  terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, korban penggunaan obat terlarang, korban eksploitasi, masa depan yang tidak jelas dan masih banyak dampak lainnya yang akan terjadi terhadap anak-anak jalanan, masalah-masalah tersebut tentu tidak diharapkan bagi bangsa dan negara kita.

Sepercik kasus Babe Baekuni “Si Penjagal Anak Jalanan” di Jakarta, 2010 silam. Singkat cerita, Babe, lelaki berusia 56 tahun itu, setidaknya mengaku telah membunuh serta menyodomi 14 anak jalanan dan enam lainnya di mutilasi sejak 1997.  Begitu rapinya aksi kriminal Babe, kekejiannya selama lebih dari sepuluh tahun tidak sekali pun ketahuan. Masyarakat tidak sedikit pun menaruh curiga pada perilaku Babe yang sesungguhnya sekadar “topeng” bagi perilaku kejamnya. Selama itu pula, pedagang kaki lima dan orang yang peduli anak jalanan ini dikenal sebagai sosok penyayang anak sehingga masyarakat memanggilnya Babe. Sebuah sifat yang kontras dengan perilaku di balik ‘kebaikannya’ selama ini.

Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yakni mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun nyatanya angka anak putus sekolah masih tinggi dan menjadi momok menakutkan yang membayang-bayangi dunia pendidikan nasional. Apalagi bagi anak-anak jalanan yang bahkan tidak bisa merasakan bagaimana sensasinya duduk di kursi sebuah kelas. 

Fungsi pemerintah, sebagai pengayom masyarakat yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Di sinilah kinerja fungsi pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dipertanyakan. Tembok-tembok untuk mengakses dunia pendidikan semakin tinggi. Dengan kata lain, hubungan masalah sosial dalam kasus ini disebabkan karena ketidakberfungsian lembaga pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang telah diamanahkan kepada lembaga pemerintah ini.

Bila bangsa ini terus  mengadopsi model peradaban Barat dengan nilai-nilai liberal dan materialistik serta sistem ekonomi kapitalistik maka harga mahal yang harus ditanggung adalahmerebaknya  krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, serta mewabahnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Persis gejala negara-negara maju di Barat yang  “mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban”.

Perlu dilakukan evaluasi mendasar dan menyeluruh terhadap hasil  kebijakan terkait perlindungan anak sebagaimana telah dinyatakan oleh para pejabat negara terkait. Bila telah nyata bahwa banyak kebijakan yang kontradiktif antar lembaga dan sistem yang  kontraproduktif dengan misi perlindungan anak, selayaknya semua pihak berkomitmen melakukan perubahan sekalipun untuk itu diperlukan perubahan sistem.

Solusi Syar’i

Semua masalah terkait anak itu berakar pada sistem sekular kapitalis liberal yang diterapkan di berbagai lini kehidupan saat ini. Selama sistem sekular kapitalis liberal itu terus dipertahankan maka perlindungan terhadap anak akan terus menjadi problem.

Islam mengharamkan negara melempar tanggung jawab perlindungan anak kepada keluarga, dan mewajibkan negara mengambil tanggung jawab penuh dalam perlindungan anak termasuk memastikan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak.

Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat serta penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara.

Islam mewajibkan Negara untuk terus membina ketakwaan individu rakyatnya. Negara menanamkan ketakwaan individu melalui kurikulum pendidikan, seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Negara menjaga suasana ketakwaan di masyarakat antara lain dengan melarang bisnis dan media yang tak berguna dan berbahaya, semisal menampilkan kekerasan dan kepornoan.

Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan mendistribusikan kekayaan secara berkeadilan dan merealisasi kesejahteraan. Kekayaan alam dan harta milik umum dikuasai dan dikelola langsung oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik langsung maupun dalam bentuk berbagai pelayanan. Walhasil,pelaksanaan sistem Islam secara menyeluruh akan memberikan perlindungan terbaik bagi anak. [VM]

(*) Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Kota Kediri

Posting Komentar untuk "Tentang 4,1 Juta Anak Terlantar"

close