Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akhlak Pengemban Dakwah


Oleh :  Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kediri)

Paham sekularisme telah menjauhkan umat dari upaya penyucian jiwa. Kelesuan nafsiyyah islâmiyyah terus melanda umat. Kalaupun ada, ia hanya berhenti pada sikap individual; lepas dari upaya perjuangan membangkitkan umat. Padahal Rasulullah saw. diutus dengan membacakan ayat-ayat Allah kepada para Sahabat, menyucikan jiwa mereka, dan mengajari mereka al-Quran dan as-Sunnah. Kini, diperlukan orang-orang yang dapat membangkitkan jiwa yang senantiasa dekat dan taat kepada Allah sekaligus berjuang untuk mengubah masyarakat.

Beban berat hanya mungkin dipikul oleh orang yang kuat dan hebat. Tugas penting hanya mungkin dijalankan oleh orang pilihan. Amanah yang utama hanya mungkin dilaksanakan oleh orang yang memiliki keutamaan. Taklif istimewa hanya mungkin bisa diemban oleh orang yang juga istimewa. Beban berat, tugas penting, amanah utama dan taklif istimewa tak mungkin dipikul oleh orang lemah, sembarangan, berkualitas rendah atau biasa-biasa saja.

Dakwah adalah   beban berat, tugas penting, amanah utama dan taklif istimewa dari Allah SWT kepada kita. Dakwah ini hanya akan sukses dan berhasil mencapai tujuannya jika diemban oleh orang-orang yang kuat dan hebat, yang memiliki keutamaan dan istimewa; bukan oleh orang-orang yang lemah, sembarangan, berkualitas rendah dan biasa-biasa saja. 

Saat ini, para pengemban dakwah memiliki tugas berat untuk melahirkan umat pendukung dakwah yang ber-‘aqliyyah islâmiyyah dan ber-nafsiyyah islâmiyah. Karena itu, diperlukan rujukan yang dapat menyatukan penyucian jiwa dengan perjuangan untuk menegakan Islam. Di sinilah letak urgensi buku Min Muqqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah.

Dakwah ini hanya mungkin berhasil mewujudkan tujuannya jika diemban oleh orang-orang sekelas generasi para Sahabat ra. Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., para Sahabat ra. sebagai generasi terbaik terbukti sukses memikul beban dakwah di Makkah hingga berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah.

Karena itu, agar sukses dakwah hari ini sama dengan sukses dakwah yang diraih generasi Sahabat pada masa lalu, mau tak mau, para pengemban dakwah hari ini harus meng-copy paste akhlak dan kepribadian (syakhshiyyah) mereka; baik dalam hal kualitas keimanan dan ketakwaan mereka; banyaknya zikir dan taqarrub mereka kepada Allah SWT; kekhusyukan mereka dalam ibadah dan doa; keluasan ilmu agama mereka; banyaknya amal shalih mereka; keagungan perilaku dan akhlak mereka; besarnya semangat dan ghirah dakwah mereka; serta luar biasanya pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT. Saat para pengemban dakwah gagal meng-copy paste seluruh keteladanan generasi para Sahabat ini, dipastikan gagal pula dakwah yang mereka lakukan, hingga jauh dari predikat takwa.

Menurut para ulama inti dari takwa itu ada tiga: 
  1. Al khouf minal Jalil (takut kepada Allah zat yang maha gagah perkasa)
  2. Wal ‘amalu bi tandziil (mengamalkan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt, mengamalkan aturan Islam, mengamalkan Syariat Islam)
  3. Wal ‘isti’daadubirrohiil (mempersiapkan diri untuk perjalanan menghadapi hisab dari Allah Swt)

Secara praktis, nilai diri dan reputasi diri menentukan keberhasilan dakwah. Salah satunya terkait dengan akhlak. Karenanya, seorang Muslim, apalagi pengemban dakwah, harus mematrikan hukum syariah menyangkut akhlak mulia dalam dirinya. Di antara akhlak mulia itu adalah: malu, menahan diri, tidak emosional, lemah-lembut, jujur, cermat dalam perkataan, teliti dalam menyampaikan informasi, bertutur kata baik, menampakkan wajah berseri, diam kecuali dalam kebaikan, memenuhi janji, marah karena Allah, berbaik sangka kepada orang beriman; bersikap baik kepada tetangga, amanah, wara, meninggalkan syubhat; memuliakan ulama, orangtua, dan orang yang memiliki keutamaan; mengutamakan dan menolong orang lain; berderma dan berinfak di jalan kebaikan; berpaling dari orang jahil; dan taat. Bahkan dalam berbicara pun harus beradab, baik dalam mengajar, berkhuthbah, dan berdebat. Semua ini menunjukkan betapa pengemban dakwah harus bersegera menginternalisasi akhlak Islam ke dalam dirinya.

Membentuk dan menyempurnakan akhlak mulia adalah salah satu misi utama Rasulullah SAW diutus ke dunia. Rasulullah SAW sendiri yang menyatakan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Hurairah ra, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, wajar jika akhlak mulia adalah salah satu yang disukai Allah SWT. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah perkara yang dibenci Allah SWT. Dalam hal ini, Amir bin Said bin Abi Waqash ra dari bapaknya berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Mahamulia yang menyukai kemuliaan; Allah itu Mahamurah yang mencintai kemurahan dan kemuliaan akhlak serta membenci keburukan akhlak.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Akhlak mulia adalah salah satu amalan atau sifat orang Mukmin yang bakal menjadi penduduk surga. Demikianlah menurut sabda Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik ra. “Sesungguhnya kemuliaan akhlak adalah bagian dari amalan penduduk surga.” (HR Ibn Abi Dunya’).

Rasulullah SAW memberi kita contoh di antara akhlak mulia yang harus kita miliki sebagaimana yang beliau ajarkan kepada Uqbah bin Amir ra, “Wahai Uqbah, maukah engkau aku beritahu akhlak yang paling mulia dari penduduk dunia dan akhirat? Yaitu engkau menyambungkan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya; engkau memberi kepada orang yang tak pernah memberi kepadamu; dan engkau memaafkan orang yang telah menzalimi kamu.” (HR Al-Hakim dan ath-Thabrani).

Perbuatan akhlak di atas bahkan dengan kualitas keimanan seorang Muslim. Beliau bersabda sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Tidaklah seorang hamba dapat meraih keimanan yang benar hingga ia menyambungkan hubungan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya, memaafkan orang yang menzalimi dirinya, mengampuni orang yang mencelanya dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada dirinya.” (HR Ibn Abi Dunya’).

Wajarlah jika perbuatan akhlak di atas di atas dapat meringankan hisab Allah SWT atas manusia di akhirat kelak. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada tiga perkara yang siapapun memilikinya maka Allah akan menghisab dirinya dengan penghisaban yang mudah dan ringan serta memasukkan dirinya ke dalam surga-Nya dengan rahma-Nya, yaitu: engkau memberi kepada orang yang tidak pernah memberi kepadamu; engkau memaafkan orang yang telah menzalimimu; dan engkau menyambungkan hubungan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya.” (HR Al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Namun demikian, pada akhirnya, akhlak mulia tetaplah merupakan buah dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Orang bertakwalah—tentu dengan akhlak mulianya—yang paling mulia di hadapan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasullah SAW pernah ditanya, “Siapa manusia termulia.” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa.” (HR Ibn Abi Dunya’).

Maka dari itu, wajar jika ketakwaan menjadi pilihan orang-orang yang cerdas dan mulia. Dalam hal ini, Ibn Umar ra suatu ketika pernah mendatangi Rasulullah SAW Lalu datang seseorang dari kalangan Anshar kepada beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling cerdas dan paling mulia?” Beliau menjawab, “Dia yang paling banyak mengingat mati, paling keras usahanya dalam mempersiapkan bekal menghadapi kematian. Itulah orang yang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR Ibn Abu Dunya’). (Ibn Abi ad-Dunya’, Makarim al-Ikhlaq, Maktabah Syamilah). 

Hanya dengan takwa itulah manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang dituturkan oleh Ibn Abbas ra, “Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kaya, hendaklah ia lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah SWT lebih daripada apa yang ada pada dirinya sendiri.” (HR Al-Baihaqi). [VM]

Posting Komentar untuk "Akhlak Pengemban Dakwah"

close