Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca Motif Penggusuran Luar Batang


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri) 

Sekali lagi warga Jakarta harus berhadapan dengan alat berat dan pasukan aparat. Setelah sebelumnya sejumlah permukiman di Jakarta diratakan dengan tanah, kembali Pemerintah Provinsi DKI melakukan hal serupa dengan menggusur kawasan Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara.Dengan alasan penataan lingkungan dan mengembalikan fungsi tata ruang di Jakarta, banyak tempat di Jakarta yang digusur. Hal serupa juga yang dinyatakan oleh pihak Pemprov, bahwa setelah kawasan Luar Batang digusur, maka lahan seluas 3,3 hektare di sana akan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH).

Ratusan rumah yang dibongkar di kawasan Pasar Ikan Luar Batang, Jakarta Utara, merupakan bagian dari langkah mencegah tenggelamnya Jakarta akibat air pasang laut, menurut seorang pakar ilmu kebumian. Pemerintah DKI Jakarta mengerahkan sekitar 4.000 tentara, polisi dan satuan polisi pamong praja untuk mengawal pembongkaran sekitar 500 rumah di Luar Batang, Senin (11/04).

Suasana sempat ricuh karena warga memasang badan untuk mencegah pembongkaran rumah-rumah itu. Namun pembongkaran sebagai bagian dari langkah memperkuat dan membangun lebih lanjut tanggul menghalau air pasang laut atau rob merupakan langkah yang sangat penting karena tanah Jakarta yang terus turun, menurut seorang pakar geodesi. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok, mengatakan rumah-rumah di kawasan yang menjadi pasar ikan sejak zaman penjajahan Belanda itu dibangun di atas tanah yang sertifikatnya dimiliki Badan Usaha Milik Daerah, PD Pasar Jaya. Ratusan keluarga di sekitar 500 rumah yang dirobohkan akan direlokasi ke rumah susun, juga di daerah Jakarta Utara. 

Ratusan warga di daerah tersebut harus angkat kaki. Sebagian di antaranya direlokasi ke rumah susun (rusun) yang disediakan pemerintah, sebagian lagi memilih pulang ke kampung halaman. Total terdapat 396 KK di kawasan Pasar Ikan yang terkena revitalisasi. Mereka dibagi dalam 3 zona. Yang pertama mencakup wilayah RT 011 RW 04 yang didiami 136 KK. Zona 2 yaitu di RT 01, 012 RW 04 yang didiami 202 KK dan zona 3 mencakup RT 02 RW 04 dan RT 07 RW 01 dengan 58 KK.

Rusun dinilai bukan pilihan terbaik bagi masyarakat miskin yang permukimannya digusur. Pengacara Publik dari LBH Jakarta, Tigor Gemdita Hutapea mengatakan penggusuran tanpa ada dialog akan menjadi pelanggaran HAM multidimensional. Penggusuran secara paksa di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa diselesaikan dengan merelokasi warga ke rumah susun. Karena, tambah Tigor, hak-hak warga lainnya seperti hak berteduh, hak rasa aman, dan hak pendidikan juga harus dijamin dan dilindungi.  Tigor mengatakan LBH Jakarta pada tahun 2015 sudah terjadi 113 penggusuran. Hampir semua penggusuran tidak memberikan solusi yang komperhensif. Dalam penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI banyak hak warga yang sudah dirampas. 

Meski Gubernur DKI Jakarta alias Ahok menyebut takkan menggusur Masjid dan makam Keramat Luar Batang, namun Ahok menegaskan akan meratakan rumah masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid. Alhasil, kebijakan yang demikian itu menyulut masyarakat. Mereka tidak ingin jika masjid hanya akan jadi museum ataupun tugu bersejarah yang hanya menjadi tujuan wisata, dan bukan lagi tempat ibadah. Mereka juga tetap ingin menjadi warga yang memakmurkan Masjid Luar Batang.

“Masjid Luar Batang dan Kampung Luar Batang adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan itu artinya yang harus dilindungi bukan hanya masjidnya tapi warganya juga,” ucap Sekretaris Masjid Luar Batang, Daeng Mansur Amin kepada Aktual.com di kantin Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (6/4). “Ini (masjid) tempat ibadah kami, warga yang memakmurkan masjid, bukan pemerintah. Lahirnya masjid adalah bentuk kebudayaan masyarakat. Artinya, kebudayaan Kampung Luar Batang dan Masjid Luar Batang adalah satu kesatuan yang nggak bisa dipisahkan,” tambahnya. Pihaknya tidak menerima usulan Pemprov DKI yang ingin membangun plaza dan jalan inspeksi.“Kami tidak butuh itu, itu kan palingan yang butuh para penghuni apartemen yang tinggalnya nggak jauh dari sini,” tegas Daeng.

Dalam siaran pers, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam  Dekrit Rakyat menyatakan penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta di Jalan  Akuarium, Pasar Ikan dan Luar Batang Penjaringan, Jakarta Utara merupakan bentuk fasisme. Dalam penggusuran tersebut, Pemprov DKI Jakarta mengerahkan aparat gabungan yang terdiri dari aparat kepolisian, satpol PP, dan TNI yang jumlahnya ribuan.

Sri Palupi, yang merupakan salah satu peneliti senior dari Ecosoc Rights dan juga bagian dari koalisi masyarakat sipil Dekrit Rakyat, menyampaikan tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai bentuk fasisme terhadap masyarakat miskin kota di DKI Jakarta.

Dikutip dari wartakota.tribunnews.com (9/11) Ratna Sarumpaet, pekerja seni yang juga pendiri sekaligus ketua Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC)  mengatakan, penggusuran kawasan Pasar Ikan dan Luar Batang tanpa pemenuhan sejumlah syarat yang diajukannya merupakan tragedi budaya dan kemanusiaan di era demokrasi. RSCC, kata Ratna dalam keterangan resmi RSCC yang dikeluarkan di Jakarta, Sabtu (9/4/2016), menyatakan, ambisi di balik penggusuran warga Luar Batang, tempat Masjid Jami, Museum Bahari  dan Pasar Ikan sebagai cagar budaya berada merupakan sebuah kompleks mercusuar supermewah yang menara-menara pencakar langitnya akan serta merta menenggelamkan tiga cagar budaya.

Dikemukakan pula, RSCC sudah menemui Kepala Kepollisian RI (Kapolri) untuk  meminta agar Kepolisian bisa menjadi mitra yang membantu mengingatkan Pemda DKI Jakarta agar tidak melalaikan semua kewajibannya. Sehari sebelumnya, Jumat (8/4/2016), Ratna Sarumpaet menyurati Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang isinya meminta agar Pemda DKI menangguhkan pelaksanaan relokasi  dan meminta untuk melakukan sosialisasi yang selama ini belum mereka  lakukan.

Seperti dikemukakan dalam surat RSCC, Ratna mengemukakan, warga Kampung Luar Batang dan Pasar Ikan telah lama dibingungkan oleh kehadiran pejabat Pemprov DKI secara berkala di kampung mereka. Warga juga mendengar kasak-kusuk tentang perapihan tata kota, tanpa pernah terus-terang menyampaikan  bahwa Pemprov DKI berencana menggusur mereka dari kampungnya. "Artinya, hingga warga menerima surat pemberitahuan tanggal 24 Maret 2016, Pemda DKI belum  sekalipun melakukan sosialisasi atau berdialog dengan warga," ujarnya.  Dipaparkan, setelah surat tertanggal 24 Maret membuat mereka schok, pada 26 Maret 2016 ketika aparat Kepolisisan, TNI dan Satpol PP mulai berdatangan dan mendirikan Posko Tiga Pilar, warga semakin panik dan frustrasi. 

Lalu, 4 April 2016,  sebelas hari setelah warga menerima pemberitahuan, rumah tiap warga di Pasar Ikan kembali didatangi pejabat pemda yang menyerahkan Surat Perintah (SP 1) sambil menorehkan tanda silang dengan  cat di dinding atau pintu tiap rumah. "Di dalam SP1 itu tercantum 'dalam tujuh kali 24 jam SP-1 akan disusul dengan SP-2', namun hanya dua hari setelah menerima SP-1, SP-2 sudah diturunkan," katanya. "Uraian diatas secara terang benderang menunjukkan betapa proses relokasi warga di Pasar Ikan dan Kampung Luar Batang sejak awal telah cacat secara prosedur karena mengabaikan hampir semua aturan yang berlaku, terutama sosialisasi yang dibuat demi melindungi hak-hak rakyat," kata Ratna.

Tindakan Paksa

Penggusuran mempunyai konotasi menghilangkan bangunan atau apa saja yang berdiri di atas tanah untuk dikosongkan, atau dikembalikan pada peruntukannya. Penggusuran biasanya dilakukan dengan paksa, karena para pihak yang menduduki atau menggunakan tanah tersebut tidak bersedia mengosongkan, atau mengembalikan status tanah sesuai dengan peruntukannya. Eksekutornya tentu adalah negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya. Penggusuran yang dilakukan oleh negara, bisa karena dua faktor: Pertama, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan asal. Kedua, perluasan lahan untuk kemaslahatan umum atau negara.

Dalam pandangan Islam, penggusuran dengan begitu, tidak serta merta, meski untuk kemaslahatan publik, rakyat bisa dipaksa, kecuali dalam ketika mereka menguasai dan mamanfaatkan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya. Hanya saja, tindakan paksa ini tidak bisa dilakukan begitu saja, dan tiba-tiba tanpa proses yang dilakukan sebelumnya. Karena tindakan yang hendak dilakukan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka negara dan penguasanya harus menempuh beberapa hal sebagai berikut:
  • Memberikan penjelasan kepada para pihak yang terkait mengenai status lahan, bangunan, serta dampaknya terhadap ekologi dan kepentingan umum, sampai akhirnya mereka sadar, dan dengan suka rela bersedia meninggalkan lahan tersebut.
  • Memindahkan mereka ke tempat yang layak huni, manusiawi dan syar’i. Masing-masing keluarga satu hunian, baik dengan skema hibah, sewa maupun beli, sesuai dengan kondisi masing-masing.
  • Mendata secara akurat seluruh harta benda milik pribadi, baik berupa bangunan maupun aset yang lain. Dalam hal ini, negara akan memilah, mana warga yang menguasai dan mendirikan bangunan di atas lahan milik umum tersebut dengan izin penguasa, dan mana yang tidak. Meski adanya izin penguasaan tersebut masih mengandung syubhat, namun ini bisa dijadikan dasar untuk menghitung status bangunan atau aset yang ada. Berbeda dengan penguasaan yang dilakukan tanpa izin, maka status ghashab bisa diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dengan begitu, status bangunan dan asetnya, masing-masing tidak sama.
  • Bagi yang mengantongi izin, meski statusnya syubhat, negara bisa saja memberikan kompensasi atas bangunan dan aset yang dihilangkan dengan paksa. Adapun bagi yang tidak mengantongi izin, negara tidak perlu memberikan kompenasi, karena status penguasaan dan pemanfaatannya dihukumi ghashab. Imam al-Qurthubi berpendapat, “Jika di atas lahan yang dighashab itu dibangun [bangunan] atau ditanam [tanaman], maka bangunan dan tanaman itu wajib dirobohkan dan dicabut.”
  • Kompensasi yang diberikan, perhitungan besar dan kecilnya tidak dikembalikan kepada para pihak, baik pihak warga maupun negara, tetapi pihak ketiga, yaitu Ahl al-Khibrah [pakar]. Sebab jika dikembalikan kepada warga, pasti akan meminta kompensasi yang setinggi-tingginya. Begitu juga sebaliknya. Berbeda, jika yang menentukan adalah pihak ketiga.

Tindakan paksa ini dilakukan bukan karena sentimen suku, kelompok dan agama. Tetapi, murni karena negara harus menegakkan ketentuan hukum sebagaimana mestinya. Termasuk mengembalikan lahan dan fungsinya sebagaimana peruntukannya, demi kemaslahatan bersama. Negara juga tidak akan pandang bulu. Siapapun yang melakukan pelanggaran, bisa dikenai tindakan paksa.

Motif Penggusuran Luar Batang

rmol.co (7/4) mengabarkan jika dilihat dari Master Plan Agung Podomoro untuk wilayah pesisir Jakarta, penggurusan Pasar Ikan dan Luar Batang sangat berkaitan dengan reklamasi. "Logikanya, kalau mau bangun satu bangunan, pasti bangun lingkungan penjaganya. Warga apartemennya nanti, gak mau lihat ada pasar Ikan. Kumuh dan jorok bagi mereka," beber aktivis Ratna Sarumpaet di Jakarta, Kamis, (7/4). Menurutnya, setelah beberapa kali mendatangi Luar Batang, serta mencocokkan dengan rencana pembangunan reklamasi Jakarta, kawasan Pasar Ikan memang harus dibenahi dan dirapikan, namun tidak digusur dan warganya dipindahkan seperti kehendak Pemerintah DKI Jakarta. 

"Kalau saya perhatikan, kesimpulan saya, ketergesaan penggusuran ini karena mau reklamasi. Tapi terlepas mau reklamasi atau tidak, saya setuju ini dirapihkan. Tapi merapihkannya bagaimana, saya menganjurkan, Gubernur kumpul dulu, dengan budayawan, orang-orang berkompeten, bikin tata ulang wilayah ini, minta pendapat mereka, jangan merasa dia yang paling tahu semua," jelas Ratna. Senada dengan Ratna, Pengurus Masjid Jami Luar Batang, Mansur Amin, mengungkapkan, selama ini sebenarnya warga sudah tahu, motif dibalik niat penggusuran pemukiman mereka. Sebelumnya, di Luar Batang, dibangun jalan inspeksi dan Plaza, yang menurutnya itu diperuntukkan bagi warga Apartemen yang berada di pesisir, di dekat Luar Batang. Yusril juga mempertanyakan alasan Ahok jika jadi mendirikan plaza di kawasan Luar Batang. Padahal awalnya, tujuan membongkar kawasan Luar Batang untuk ruang terbuka hijau (RTH).

Potret seperti inilah yang selama ini dialami warga Jakarta, dimana perlahan mereka kehilangan rumah mereka, sementara gedung-gedung mewah milik para pengusaha tetap bertahan, bahkan terus bertambah. Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna membenarkan bahwa sampai saat ini penggusuran masih menyasar pada rumah-rumah si miskin. Sementara bangunan mewah milik para pengusaha tetap berdiri meski berada di daerah yang tidak semestinya, seperti di atas resapan air ataupun di pinggir aliran sungai. Ia menyebutkan, selama ini yang terjadi adalah bahwa ruang yang ada di Jakarta menjadi kepentingan komoditi. Menurut Yayat, ruang yang ada di Jakarta dikuasai oleh kelompok pemilik modal.

"Ruang di Jakarta ini dibisniskan, untuk komoditi. Penguasaan ruang dikuasai kelompok pemilik modal," ucap Yayat saat dihubungi porosjakarta.com melalui telepon selulernya, Selasa (12/4/2016). Terkait keberpihakan penguasaan ruang kepada pemilik modal, lanjut dia, Ia melanjutkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus berani membuka siapa saja pemilik ruang di Jakarta ini.

"Kalau sudah diketahui bahwa kepemilikan tanah (ruang) bagi pemilik modal, kenapa sulit diberikan kepada warga yang tidak memiliki modal," jelas Yayat. Ia mengambil contoh lahan yang direklamasi di kawasan Pantai Utara Jakarta. Menurut dia, lahan tersebut milik negara, namun terlihat sulit untuk memberikannya kepada warga yang tidak memiliki apa-apa.

"Lahan reklamasi itu milik negara, begitu mudah diberikan kepada pengembang. Malah warga yang tidak memiliki apa-apa tidak diberikan ruang," tutur Yayat. Ia berpendapat, persoalan penguasaan tata ruang tersebut adalah persoalan keadilan bagi seluruh warga Jakarta. Karena itu menurutnya harus ada yang mengingatkan Pemprov DKI terkait persoalan keadilan penguasaan tata ruang ini. "Ini persoalan keadilan. Harus ada yang mengingatkan Pemprov soal penguasaan tata ruang ini," tegas Yayat. [VM]

Posting Komentar untuk "Membaca Motif Penggusuran Luar Batang"

close