Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Pajak, Sistem Demokrasi Kapitalis versus Sistem Islam


Oleh : H. Luthfi. H

Salah satu ciri pemerintahan yang malas berfikir dan tidak kreatif adalah mengisi pundi-pundi Kas Negaranya dari sektor pajak. Dan celakanya, pangsa pasar wajib pajak (WP) tersebut lebih diarahkan pada masyarakat bawah yang tidak akan dan tidak bisa protes atau mangkir jika ditarik pajak. Walaupun prosentasinya dibilang “receh” dibanding dengan pengusaha-pengusaha besar. Namun inilah “pemalakan” yang relatif mudah dan tidak banyak resiko.

Seperti yang diberitakan CNN Indonesia, bahwa pemerintah akan mewajibkan mahasiswa memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan akan mewajibkan seluruh mahasiswa perguruan tinggi untuk memiliki NPWP. 

Hal ini dilakukan menyusul upaya pemerintah menjaring potensi wajib pajak (WP) baru. “Ini karena mahasiswa adalah pihak yang sebentar lagi akan memasuki lapangan kerja. Bahkan sebagian mahasiswa sudah bekerja yang sebenarnya sudah mengharuskan untuk jadi WP," katanya dalam keterangan pers usai penandatangan perjanjian kerjasama perpajakan dengan perguruan tinggi, Jakarta, Senin (28/3). 

Terlalu !!! Sementara atas perusahaan –asing—yang tidak membayar pajak, pemerintah hanya bisa bersuara “akan memberikan sanksi”. Nyatanya ada 2.000 perusahaan asing tak bayar pajak, dan negara ditaksir rugi Rp 500 trilyun. Dan kegaalan penerimaan pajak dari sektor ini diakui oleh pemerintah sebagai penyebab kegagalan pencapaian target penerimaan pajak selama ini. (katadata.com) Artinya, keberhasilan pemerintah dalam pengisi kas negara dari sektor pajak hanya dari kalangan rakyat banyak – yang miskin--.

Negara ini memang selalu dan memiliki tabiat menjadikan pajak sebagai pemasukan utama APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Penerimaan negara dari sektor pajak tahun 2016 bahkan mencapai 85 %, jauh meningkat drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 2016 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.822,5 triliun, dengan porsi sebesar Rp 1.546,7 triliun dipenuhi dari penerimaan pajak. Di tahun 2015 penerimaan sektor pajak 78 % (dari pendapatan Rp 1.762,3 trilyun dan penerimtaan sektor pajak Rp 1.370,8 trilyun, tahun 2014 76 % dari total penerimaan pemerintah (dari pendapatan Rp 1.635,4 trilyun dan penerimtaan sektor pajak Rp 1.246,1 trilyun) , sementara di tahun 2013 78 % (dari pendapatan Rp 1.529,7 trilyun dan penerimtaan sektor pajak Rp 1.193,0 trilyun). 

Demikianlah realitas "hubungan finansial " rakyat dengan Pengusaha di kehidupan Demokrasi Kapitalis. Pajak yang terus menjadi target pemasukan negara juga menjadi cermin penguasa yang terus “menghisap darah” rakyatnya. Aliran dana (cashflow) sangat deras dari rakyat bawah kepada para penguasanya, atas nama “kewajiban”. 

Sehingga pada titik ini, sesungguhnya rakyatlah yang menjadi pelayan pemerintah. Rakyatlah yang hakikatnya membiayai hidup pemerintah dan diri mereka. Pemerintah saat ini tidak lebih dari broker. Belum lagi jika diurai berbagai korupsi yang terjadi saat terjadinya arus finansial dari rakyat ke penguasa, lalu dilakukan arus balik keuangan yang disebut dengan proyek pembangunan. Masyarakat sudah sangat maklum bahwa terjadi banyak kebocoran dan kebolongan dalam arus finansial tersebut. 

Berbeda dengan sistem Islam, sedari awal sistem Islam memiliki dan mengatur pos-pos keuangan, baik pos pemasukan maupun pos pengeluaran (nafaqat). Hanya dalam sistem Islam adanya pengaturan mana aset yang berhak dimiliki oleh negara (pemerintah), mana yang menjadi aset masyarakat (dimana pemerintah hanya berhak mengelola untuk kepentingan masyarakat), dan mana aset kehidupan yang berhak dimiliki oleh individu. Sosialis maupun Demokrasi Kapitalis sangat kabur dalam menata pembagian aset kehidupan seperti ini. Bahkan pengaturan sistem kepemilikan seperti ini yang menjadikan karakteristik unik sistem ekonomi Islam dan jaminan atas kesejaanteraan perekonomian dalam Khilafah Islamiyyah. 

Untuk menata Pendapatan Negara, sistem Khilafah tidak semata mengandalkan pada sektor pajak. Bahkan kika dicermati, Pengaturan APBN dalam sistem Khilafah benar-benar memperhatikan sisi hukum syara’ dari pemasukan maupun pengeluaran. Pos pemasukan tertentu dari harta yang dikelola negara, tidak sembarangan dialokasikan untuk sektor tertentu dalam pembangunan. Sebagai contoh, pos Shadaqah (harta negara yang terambil dari zakat) tidak bisa digunakan untuk membangun proyek-peroyek pembangunan infrastruktur di masyarakat. 

Secara umum Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al Amwaal fi Daulatil Khilafah menjelaskan tata kelola Anggaran Pendapatan Negara dalam sistem Khilafah sebagai berikut. 

Pertama, Bagian Fai dan Kharaj. 
Sektor ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara. Meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum muslimin, dan pemasukan dari sektor dharibah (pajak) yang wajib dikeluarkan kaum muslim –tertentu—saat sumber pemasukan negara tidak cukup untuk memenuhi anggaran yang bersifat wajib. 

Bagian Fai—segala aset yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir dengan tanpa mengerahkan pasukan, juga tanpa melakukan kesulitan (peperangan) dan Kharaj tersusun dari beberapa seksi sesuai dengan harta yang masuk ke dalamnya, dan jenis-jenis hart tersebut adalah: 

(1). Seksi ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai dan khumus
(2). Seksi kharaj, hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan (kharaj ‘unwah) maupun damai (kharaj sulhi)
(3). Seksi status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (unwah), tanah ‘usyriyah, as-shawafi, tanah-tanah yang dimiliki negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang dipagar (dikuasai) oleh negara
(4). Seksi jizyah (hak yang Allah berikan kepada kaum muslim dari orang-orang Kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam)
(5). Seksi fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as shawafi, ‘Usyur, 1/5 rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as-shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.
(6). Seksi pajak (dharibah) 

Kedua, bagian Kepemilikan Umum. 
Bagian yang menjadi tempat penyimpanan dan pencatatan harta-harta milik umum. Badan ini juga berfungsi sebagai pengkaji, pencari, pengambilan, pemasaran, pemasukan dan yang membelanjakan dan menerima harta-harta milik umum. 

Bagian Kepemilikan Umum ini menjadi beberapa seksi berdasarkan jenis harta kepemilikan umum, yaitu: 
(1). Seksi minyak dan gas
(2). Seksi listrik
(3). Seksi pertambangan
(4). Seksi kelautan, sungai, perairan, dan mata air
(5). Seksi hutan dan padang rumput (penggembalaan/prairi)
(6). Seksi tempat khusus (yang dipagar dan dikuasai oleh negara)

Ketiga, Shadaqah. 
Bagian ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Seksi dan bagian harta dalam shadaqah ini dibagi berdasarkan jenis zakatnya, yaitu: 

(1). Seksi zakat (harta) uang dan perdagangan
(2). Seksi zakat pertanian dan buah-buahan
(3). Seksi zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing.

Untuk seksi zakat ini, ada tempat khusus di Baitul Mal, yang tidak boleh bercampur dengan harta yang lainnya. Karena Allah juga menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat pada delapan golongan saja (Qur’an Surat At Taubah 60). 

Struktur Pendapatan Negara dalam sistem Khifalah ini akan menggambarkan bahwa betapa sistem Islam tidak semata mengandalkan pajak untuk mengisi pundi-pundi kas negara. Dharibah (pajak) adalah harta yang diwajibkan kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibakan atas mereka, pada kondisi baitul maal tidak ada uang/harta.

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Demikian pula juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk putusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dalam urusan administrasi) negara. 

Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barang-barang dagangan), atau lainnya yang bukan bagian dari bentuk-bentuk pajak. Dengan mewajibkannya, berarti penguasa telah melakukan tindak kezhaliman dan ini dilarang. Bahkan termasuk dalam tindakan memungut cukai (al maksu), seperti sabda Rasulullah saw: 

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحبُ مَكْس

“Tidak akan masuk surge orang yang memungut cukai” (HR. Abu Daud).[VM]

Posting Komentar untuk "Menyoal Pajak, Sistem Demokrasi Kapitalis versus Sistem Islam"

close