Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

OKI antara Ekspektasi dengan Realisasi

Negara-negara OKI
Oleh : Umar Syarifudin
PraktisiPolitik (LajnahSiyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Setelah mengadakan KTT Luar Biasa ke-5 di Jakarta pada 6-7 Maret lalu, bulan ini Organisasi Kerjasama Islam/Organization of Islamic Cooperation (OIC) direncanakan akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 di Istanbul, Turki pada 14-15 April 2016. Dalam KTT kali ini, OKI akan ditekankan sebagai agen toleransi. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, Senin (11/4/2016). Menurut pernyataan dari istana kepresidenanTurki, pada Kamis (07/04), KTT yang berlangsung pada 14-15 April ini akan dihadiri perdana menteri dan presiden yang berasal dari lebih 30 negara.

Pertemuan Internasional tersebut bertajuk “Persatuan danS olidaritas untuk Keadilan dan Perdamaian”. Pertemuan ini diharapkan juga menyinggung situasi di berbagai negara Muslim, termasuk Suriah, Yaman, Palestina, Irak, dan Azerbaijan, serta dalam memerangi terorisme. Selain itu, KTT ke-13 akan menggaris bawahi pentingnya persatuan negara-negara OKI dan kerjasama melawan tantangan baru. KTT ke-13 OKI di Istanbul akan diawali dengan pertemuan tingkat menteri yang akan berlangsung pada 12-13 April 2016. Awal Maret lalu, Indonesia menjadi Negara penyelenggara KTT Luar Biasa OKI yang menghasilkan Deklarasi Jakarta. Isi dokumen tersebut akan dibawa dan dijadikan rujukan di Turki. 

Isu pokok yang akan dibahas adalah penegasan kembali pentingnya solidaritas OKI dalam tantangan baru, menekankan pentingnya OKI sebagai agen pembawa nilai toleransi dan Islam. Akan ada dua dokumen yang dihasilkan dari KTT ini, pertama, final communicate berisi tantangan dunia Islam dan penguatan kembali negara-negara OKI dan OIC 2025 Program of Action. OIC 2025 in adalah program kerja untuk 10 tahun ke depan dan mencakup 18 area kerjasama.

Berharap Pada OKI?

Dalam suasana konflik sana sini di berbagai sudut negeri-negeri muslim yang menghadapi agresi militer AS dan NATO, organisasi regional dan transregional termasuk OKI ‘sebenarnya’ dapat memberikan bantuan dan menghentikan ancaman. Namun dalam prakteknya hal ini tidak terjadi. Sebaliknya organisasi seperti OKI malah memainkan peran netral. Hal ini menunjukkan betapa organisasi regional dan transregional di dunia Islam tidak begitu dipandang penting. 

OKI, sebagai lembaga penting dan transregional sama sekali tidak memiliki kemampuan memainkan peran berpengaruh, aktif dan konstruktif  dalam mereduksi ancaman serta meningkatkan kesamaan visi negara-negara muslim. OKI hanya merasa cukup menggelar pertemuan rutin baik di tingkat menteri luar negeri atau pemimpin Negara anggota serta merilis resolusi yang tidakmengikat. Sebuah resolusi yang setara dengan statemen bersama, tanpa mengikat anggota untuk melaksanakannya.

OKI tercatat organisasi terbesar kedua dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 57 negara mayoritas penduduknya muslim dengan populasi lebih dari 1,7miliar serta tersebar di empat benua, menjadi anggota OKI. Namun demikian inti dari organisasi ini terdiri dari negara-negara Arab. Motif utama negara-negara muslim di Organisasi Konferensi Islam yang berubah nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di tahun 2001 adalah kesamaan identitas agama di antara mereka.

Sejak akhir dekade 1960, muncul kesatuan pendapat di komunitas Islam bahwa perpecahan merupakan sebab utama kelemahan negara-negara muslim, khususnya dalam menghadapi ancaman terbaru berupa pembentukan rezim ilegal Israel. Oleh karena itu, solusi utama keluar dari kelemahan ini adalah persatuan Islam dan memperkokoh solidaritas keislaman. Akhirnya ide ini tertuang dalam bentuk Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berdiri tahun 1969. Sejak awal pendiriannya, permasalahan Kota Suci Yerusalem dan Masjid Al Aqsha senantiasa menjadi tema sentral di setiap pertemuan OKI. Bahkan pendirian OKI pun dipicu oleh peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsha pada tanggal 21 Agustus 1969 oleh kaum radikal Yahudi. Sejak saat itulah dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.

Piagam OKI meliputi peningkatan solidaritas Islam, mendukung kerjasama di antara Negara anggota di bidang ekonomi, sosial, budaya, sains, pendidikan serta konsultasi di antara Negara anggota di PBB, upaya menghapus diskriminasi dan mengakhiri penjajahan. Tujuan lain dari pembentukan OKI adalah melakukan langkah-langkah yang diperlukan bagi perdamaian dan keamanan internasional yang bertumpu pada keadilan, mendukung perjuangan bangsa Muslim dalam menjaga kehormatan mereka, kemerdekaan serta hak-hak nasionalnya, meningkatkan kerjasama di antaranegara Islam serta negara lain.

Dalam prakteknya, Organisasi Konferensi Islam hingga tahun 2001 dan Organisasi KerjaSama Islam sejak 2001 hingga kini ‘seolah-olah’ terlihat aktif dalam menggalang solidaritas dan persatuan Islam, namun kosong dari upaya menghentikan langsung penjajahan AS-Isreal di Palestina, maupun AS-Eropa di kawasan Irak, Afghanistan dan Suriah. 

Dunia Islam, khususnya selama empat tahun terakhir menghadapi beragam krisis penting, mulai dari Tunisia, Mesir, Sudan, Suriah, Libya, Irak, Lebanon, Tunisia, Mesir dan Yaman. Parahnya tidak ada satu pertemuan pun di tingkat menlu yang digelar OKI untuk membahas krisis ini. Rapor merah OKI hanya menggelar sidang tahunan tingkat menlu dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dan para pemimpin Negara anggota setiap tiga tahun. Secara Internal, sejarah panjang OKI sejak berdiri 47 tahun lalu menunjukkan organisasi itu tak lebih dari ‘talking doll’ alias boneka bicara yang tak mampu bergerak. Sejak didirikan pada 12 Rajab 1389 H/25 September 1969 OKI telah terbukti gagal mewujudkan tujuan pendiriannya.

Arab Saudi memiliki peran penting di OKI dan memainkan peran utama dalam menyimpangkan organisasi Islam ini dari tujuannya semula. Markas tetap sekretariat OKI berada di Jeddah, Arab Saudi dan sekjen OKI saat ini juga dari Negara ini. Mengingat Arab Saudi memainkan peran sebagai pemimpin anti-revolusi Arab sekaligus anti bangkitnya Khilafah pada fenomena kebangkitan Islam baru-baru ini, maka sikap tersebut merupkan contoh representasi kinerja OKI. Hal lain terkait pengaruh peran Arab Saudi dalam kemandulan OKI adalah sikap Negara ini yang mengamini kebijakan Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel di kawasan. Ada kesamaan yang nyata antara kebijakan Arab Saudi dan kepentingan Amerika serta Israel di krisis terbaru dunia Islam.

 Faktoreksternal, merupakan sebab lain kemandulan OKI. Mayoritas anggota OKI adalah negara-negara yang pemerintahannya sangat bergantung pada kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat. AS memiliki pangkalan militer di Qatar dan Bahrain. Keamanan negara-negara ini yang menganut system monarki, khususnya keamanan para pemimpinnya, sangat bergantung pada pangkalan militer dan dukungan Amerika Serikat.

 Kondisi ini membuat negara-negara tersebut di organisasi regional seperti Liga Arab dan OKI serta organisasi transregional seperti OKI sangat mengutamakan kepentingan Amerika Serikat. Mereka tidak akan bertindak di luar koridor kepentingan Washington. Dengan kata lain, meski Amerika Serikat bukan anggota OKI, namun pengaruh Washington di organisasi ini yang paling kuat.

Realitanya adalah siding tingkat menlu atau KTT para pemimpin Negara anggota OKI, hingga saat ini tidak berpengaruh pada penurunan krisis di dunia Islam, tidak mengajukan mekanisme yang diperlukan untuk menghentikan krisis dan memperkokoh kerjasama atau persatuan Islam. Identitas keislaman yang menjadi ciri utama pembentukan OKI telah terdepak dan yang muncul adalah intrik politik. Dengan kata lain, sejumlah anggota organisasi ini lebih mengutamakan intrik politiknya termasuk identitas pemain sebagai mitra Barat, ketimbang identitasnya sebagai pengayom umat Islam. Praktis, OKI dan ‘sweet dreamnya’hanya utopia. Padahal OKI dengan beranggotakan 57 negara muslim dengan populasi lebih dari 1,5miliar tercatat sebagai organisasi terbesar kedua dunia setelah PBB.

Konkritnya, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) keempat OKI tahun 1984 yang bertempat di Casablanca, Maroko, mengeluarkan Resolusi No. 2/4-P (IS) tentang Kota Suci Yerussalem dan Masjid Al Aqsha (RESOLUTION NO. 2/4 – P (IS) on The City of Al-Quds Al-Sharif. Namun lebih dari dua dasawarsa setelah dikeluarkannya resolusi tersebut, perusakan terhadap situs-situs keagamaan di dalam kompleks Masjid Al Aqsha masih saja terus dilakukan oleh Zionis Israel. Negara-negara OKI seolah diam seribu bahasa. Nasib Resolusi No. 2/4-P (IS) yang memerintahkan anggota OKI untuk turut melindungi Al Aqsha dengan segala cara termasuk boikot politik, ekonomi, dan budaya terhadap Israel berjalan tidak efektif dan bahkan tidak terimplementasikan sama sekali.

Lemahnya Politik luar Negeri Indonesia

Peran Indonesia dalam KTT di 2016 cukup menonjol. Keinginan  untuk ’memproduktifkan’ OKI oleh pemerintah Indonesia bisa dimengerti, mengingat peran OKI selama ini memang dipertanyakan. Peran  OKI selama ini dianggap mandul dalam penyelesaian masalah-masalah di dunia Islam, seperti pendudukan Irak dan Afganistan oleh AS, krisis Palestina, Chechnya, Moro, dll; termasuk menyikapi kampanye war on terrorism yang sering menyudutkan negeri-negeri Islam. Sidang OKI lebih banyak  berisi retorika tanpa  langkah nyata.  

KTT OKI yang katanya Luar Biasa itu, gagal menghasilkan terobosan-terobosan diplomatik untuk Palestina Merdeka. Menyangkut persoalan klasik Israel-Palestina, keberadaan Mesir adalah negara Arab pertama yang melangkah sendirian mengkhianati umat Islam untuk mencapai perdamaian dengan Israel. Hal tersebut menjadi landasan bagi Suriah untuk memindahkan markas besar Liga Arab dari Kairo berpindah ke Damaskus.

Namun harapan pada OKI yang menekankan agar OKI sebagai agen toleransi perlu dipertanyakan.Selama ini justru isu toleransi digunakan AS untuk kepentingan politiknya.Atas nama demokrasi dan freedom (kebebasan), AS dan sekutunya  menduduki Afghanistan, Irak dan Suriah telah menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dikalangan sipil. Namun OKI dan Indonesia sangat memberikan toleransi kepada kejahatan AS di atas darah-darah korban.  

Berbagai persoalan yang terjadi di Dunia Islam justru lebih banyak disebabkan karena penerapan sistem Kapitalisme yang diadopsi di Dunia Islam. Meskipun negeri-negeri Islam sebagian besar adalah negara yang kaya, rakyatnya banyak menderita. Kekayaan alam negeri-negeri Islam diekploitasi oleh negara-negara kapitalis atas nama penanaman modal dan perdagangan bebas. Kebijakan  privatisasi dan pencabutan subsidi yang dijadikan syarat oleh IMF (yang didominasi negara-negara kapitalis) juga telah menyebabkan bertambahnya beban hidup masyarat. Jika Indonesia sendiri tidak berdaulat untuk menghentikan hegemoni AS dan China, maka menolong Palestina dan mewujudkan kawasan yang damai dan stabil hanyalah fiksi. [VM]

Posting Komentar untuk "OKI antara Ekspektasi dengan Realisasi"

close