Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Skakmat Untuk Elit Pro-Suap


Oleh : Umar Syarifudin (*)

Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, akhirnya menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu dilakukan setelah adanya operasi tangkap tangan (OTT) kepada anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Sanusi (MSN), sebagai tersangka penerimaan suap Kamis (31/3/2016) malam. Menurut Ketua KPK Agus Rahadjo, Sanusi ditangkap karena menerima suap dari PT Agung Podomoro Land untuk memuluskan proyek reklamasi pantai Jakarta. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap M. Sanusi usai menerima uang dengan nilai total Rp 1.140.000.000. Uang suap itu diduga terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda nomor 8 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta. Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan Sanusi menerima uang suap itu dari karyawan PT APL berinisial TPT. GER menjadi perantara Sanusi dengan pihak perusahaan.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan, dalam kasus ini terlihat bagaimana pengusaha mempengaruhi pembuat Undang-undang tanpa menghiraukan kepentingan rakyat yang lebih besar terutama yang berkaitan dengan lingkungan.

Menurut Agus, Ariesman ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai pemberi suap kepada M Sanusi selaku Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra.Uang yang diberikan kepada Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Zaenal kemudian meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk terlibat dan bertanggung jawab atas kasus tersebut lantaran memberikan izin terkait Reklamasi Pluit City. 

Terkait kasus tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang selama ini menentang Raperda Reklamasi Pantai Utara Jakarta angkat bicara."Tertangkapnya anggota DPRD DKI Jakarta dan bos pengusaha Agung Podomoro Land (APLN) mengindikasikan proyek reklamasi sarat korupsi," kata Direktur Walhi Jakarta, Zaenal Muttaqien, kepada kompas.com.

Izin pelaksanaan reklamasi Pluit City (Pulau G) tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk. Pengungkapan kasus reklamasi yang menjerat Sanusi dan Ariesman Widjaja, ‘harusnya’ semakin memudahkan KPK untuk membuka ‘secret box’ dinasti Ahok. Tak hanya dalam kasus Sumber Waras dan reklamasi ini, termasuk juga kasus Trans Jakarta.

Podomoro memperoleh tiga pulau dengan luas 500 hektare, sedangkan Pembangunan Jaya empat pulau seluas lebih dari 1.000 hektare. Dana proyek ini disebut-sebut mencapai puluhan triliun. Pluit City merupakan salah satu proyek andalan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Proyek tersebut akan menempati wilayah reklamasi Pantai Utara Jakarta yang sampai saat ini masih menjadi polemik. Pada November tahun lalu, Presiden Direktur APLN Ariesman Widjaja mengatakan, Pluit City seluas 160 hektar akan segera dibangun jika izin mendirikan bangunan (IMB) sudah terbit. Sementara yang sudah dikantongi perseroan adalah izin pelaksanaan reklamasi.

Realitas demokrasi yang kerap menciptakan suap dan kolusi di antara penguasa. Pembagian kekuasaan yang digagas demokrasi untuk menghindari penyelewengan adalah kebohongan besar. Demikianlah dalam dunia birokrasi di sistem kapitalis, ornamen suap adalah suatu keniscayaan dan merupakan mekanisme yang pasti terjadi. Oleh karena itu bagi kita yang menginginkan kehidupan yang lebih sehat, lebih bersih dan penuh dengan tenteram dalam naungan Islam, tradisi kriminal yang sudah mendarah daging ini harus musnah dalam sistem pemerintahan dan birokrasi.

Publik dari tahun ke tahun telah menyaksikan terbongkarnya skandal suap dan korupsi secara massif yang belum pernah terjadi pada masa Orla dn Orba, hal ini indikator krisis politik yang sangat parah. Seandainya kita mendalami fakta politis yang ada, niscaya kita melihat bahwa masalahnya terpusat pada dua sebab utama: demokrasi dan pengaruh kapitalis. Para penguasa yang melakukan suap ataupun korupsi telah menanggalkan martabat dan harga diri. Mereka menghinakan diri dengan merampas hak-hak rakyat.  

Sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah suap dan korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah, cara-cara “legal tapi curang” atau “curang tapi legal”, seperti proses tender yang sudah diatur, dsb, yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah korupsi. Maka wajar saja sangat jarang ada politisi dan pejabat, khususnya kepala daerah, yang benar-benar bersih.

Sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus suap dan korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Karena semua itu, wajar harapan bebas dari korupsi dengan sistem sekarang ini akan terus menjadi mimpi. Aksi pemberantasan korupsi yang sedang berjalan hanya akan menjadi pelipur lara, dari pada sama sekali tidak ada.

Dalam konsep Islam, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa. Hukum dalam syariah Islam bersumber dari wahyu tinggal dipraktekan. Hukum tidak ‘dikarang’ oleh wakil rakyat dan penguasa. Sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi.

Praktek suap dan korupsi hanya bisa diberantas sampai ke akar dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tak terjadi. Dalam syariah, kriteria harta ghulul itu jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat, dsb, yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul. Di akhirat akan mendatangkan azab. Allah berfirman (yang artinya): Barangsiapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (TQS. Ali Imran [3]: 161).

dalam demokrasi, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. Dalam sistem politik demokrasi yang mahal, kecil kemungkinan ada politisi, pejabat, dan aparat yang benar-benar bersih. Bagaimana mungkin pembuatan sistem hukum pemberantasan korupsi digantungkan kepada mereka yang seperti itu? [VM]

(*) Politisi Muslim (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Posting Komentar untuk "Skakmat Untuk Elit Pro-Suap"

close