Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama Tidak Membungkuk Kepada Penguasa Dholim


Oleh : Umar Syarifudin
Syabab Hizbut Tahrir Indonesia (Praktisi Politik)

Ulama yang sholeh tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Ulama adalah lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk kepada umat agar konsisten hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT.

Untuk itu ulama tidak akan rela menjadi kendaraan, pendukung dan pewangi pengkhianatan para penguasa dholim. itulah gunanya keberadaan ulama. Itulah gunanya ilmu ulama. Maka ulama harus menolong kebenaran, mencegah kebatilan, memerintahkan kemakrufan, dan mencegah kemunkaran, serta mengoreksi para penguasa yang menelantarkan rakyatnya. Ulama juga tidak tersandera oleh perjanjian apapun dengan Barat dan rejim sekuler, meskipun didandani untuk memperbaiki cita rasanya dan mempercantik perhiasannya. Mereka secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, menyongsong terjadinya perpecahan atas umat Islam.

Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ’Ulûmuddîn menjelaskan: “ulama itu ada tiga golongan.  (Golongan) Ulama yang mencelakakan dirinya sendiri dan orang lain, dan mereka adalah yang terang-terangan mencari dunia dan mencurahkan perhatian terhadap dunia.  Atau (golongan) ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain.  Mereka adalah yang menyeru makhluk kepada Allah baik secara zahir maupun batin. Atau (golongan) ulama yang mencelakakan dirinya sendiri tapi menyenangkan orang lain dan dia adalah yang mengajak kepada akhirat dan bisa jadi ia menolak dunia pada zahirnya sementara maksudnya pada batin adalah (mencari) penerimaan makhluk dan mencari kedudukan.  Maka perhatikan termasuk golongan manakah kamu …”.

Dalam sistem sekuler, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang bersenyawa dengan kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan pengu-asa; penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Praktik politiknya merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun ‘Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu’ (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie). 

Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor. Karena-nya, Islam tidak boleh mencampuri politik, Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah bersifat politik.

Barat telah memahami sejak lama bahwa upaya menghancurkan Islam tidak bisa dilakukan melalui jalur militer, akan tetapi harus dimulai dari akar perjuangannya, yakni ajaran Islam. Maka bermunculanlah studi-studi orientalisme yang bertujuan menghujamkan pisau beracun berupa perang pemikiran dan peradaban terhadap kaum muslimin yang telah meninggalkan dien mereka. Seperti yang ditulis Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver. Dalam bukunya Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal ia menyatakan bahwa “reinterpretasi ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif”.

Dunia Barat dengki Islam dan mendengki setiap orang yang menyeru kepada Islam. Kedengkiannya itu bukan hanya muncul hari-hari ini, akan tetapi sudah sejak lama. Mereka menganggap Islam sebagai sumber terorisme. Maka dengan begitu mereka menyusun program penjinakan dengan proyek liberalisasi dan deradikalisasi. Mereka menganggap setiap orang yang menyeru kepada Islam dan menyeru kepada tegaknya al-Khilafah al-Islamiyah dan penerapan syariah sebagai ancaman dan bahaya bagi seluruh dunia. Mereka membangun koalisi untuk memerangi semua itu.

Di antara serangan berbahaya yang mereka lakukan adalah mendidik kaki tangan mereka dari kalangan pemikir dan politisi muslim untuk mengkampanyekan sekulerisme. Bila pemikiran sekulerisme dapat diinduksikan ke dalam pemikiran umat, maka agama dan kehidupan akan terpisah. Selanjutnya akan terjadi pemisahan agama dari negara dan aturan politik. Berikutnya sistem kenegaraan dan sistem politik dunia Islam akan digantikan dengan ajaran demokrasi yang memiliki beragam derivatnya. Seperti di tanah air, pemikiran demokrasi disulap menjadi demokrasi ala Indonesia sebagaimana ajaran sesat HAM pun dimodifikasi agar dapat diterima oleh rakyat Indonesia.

Maka peran ulama bukan hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam, baik yang menyangkut akidah maupun syariah. Lebih dari itu, bersama umat ulama harus berupaya menerapkan akidah dan syariah Islam itu secara total dalam seluruh aspek kehidupan (ekonomi, politik/pemerintahan, pendidikan, sosial, hukum/peradilan, politik luar negeri dll); bukan hanya dalam tataran spiritual, moral dan ritual belaka. Karena itu, ulama harus selalu terlibat dalam perjuangan untuk mengubah realitas rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi saw. Hal itu tidak mungkin terjadi jika syariah Islam tidak diterapkan oleh negara. Dalam hal ini, negara pasti mau menerapkan syariah Islam jika ada dukungan dan dorongan kuat dari para ulama.

Ulama memiliki tugas menjaga umat dari tindak kejahatan, pembodohan dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum kafir dan antek-anteknya melalui gagasan, keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, ulama juga harus mampu menjelaskan kepada umat Islam kerusakan dan kebatilan semua pemikiran dan sistem kufur seperti demokrasi, HAM, nasionalisme, pluralisme, sekularisme dan paham-paham kufur lainnya. Ulama juga harus bisa mengungkap semua niat jahat di balik semua sepak terjang kaum kafir dan antek-anteknya. Ini ditujukan agar umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.

Umat Islam merindukan sosok alim amil yang dapat memberikan penerangan untuk melewati kegelapan dan suramnya fitnah dan makar dari kaum kuffar, jauh-jauh hari Rasulullah mewanti-wanti umatnya sebagaimana disebutkan pada hadits seraya kita mengambil pelajaran dari hadits ini : 

Dari Tsauban radiallahu anhu berkata,” Ya Rasulullah, apakah saya termasuk ahli bait,?” Rasulullah pun diam, sampai pada ketiga kali,beliau menjawab, “ya selama engkau tidak berdiri pada pintu penguasa, atau mendatangi penguasa dan meminta padanya.” (HR. Thabrani dalam Al Ausath)

Akan ada sepeninggalanku para penguasa, maka siapa yang mendatanginya dan membenarkan kebohongannya, menolong atas kedhalimannya, buka golonganku, serta aku bukan golongan dia, dan tidak akan memasuki haudh, dan siapa saja yang tidak mendatanginya,tidak menolongnya atas kedahlimannya, tidak membenarkan kebohongannya, termasuk golongku dan akan memasuki haudh. (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Al-Hakim)

Berdasarkan hadits di atas ulama menjadi pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ulama juga harus mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada ideologis-politis.

Begitulah sikap para ulama. Dengan risiko apa pun mereka berani mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim. Persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw dalam haditsnya, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim,”.  (Riwayat Ahmad, Ibn Majah, Thabrani, dan Baihaqi). 

 Dengan demikian, fatwa-fatwa ulama mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan oleh syaikhul Islam mengenai bolehnya kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan Barat pada akhir Kekhilafahan Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru, tetapi juga menjadi penyebab kehancuran Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya visi politis-ideologis ulama pada saat itu.

Karena itu, janganlah ulama takut merubah kezaliman menjadi tegaknya keadilan. Dengan lisan dan tulisan ulama untuk merobek-robek makar kaum penjajah, cahaya Islam akan tetap bersinar. Islam akan dimenangkan terhadap semua agama dan ideologi termasuk ideologi kapitalisme yang dianut oleh kebanyakan negara di dunia. [VM]

Posting Komentar untuk "Ulama Tidak Membungkuk Kepada Penguasa Dholim"

close