Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca Manuver Politik Cina


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI (Praktisi Politik)

Pertumbuhan fantastis yang dicapai Tiongkok selama ini memang tidak bisa dilepaskan dari reformasi ekonomi terutama yang dilakukan oleh presiden Tiongkok, Deng Xiaoping. Negara yang sistem ekonominya bercorak sosialisme komunis yang bersifat sentralistik diubah menjadi negara sosialisme dengan ekonomi pasar. Kontrol negara dalam perekonomian perlahan-lahan dikurangi terutama di sektor perdagangan dan investasi.

 Privatisasi terhadap sejumlah BUMN dan BUMD yang berskala kecil menengah terus dilakukan. Meskipun demikian, sektor-sektor strategis seperti industri pertahanan, listrik, telekomunikasi, minyak dan petrokimia, batubara, penerbangan dan perkapalan tetap dikontrol oleh Pemerintah. Kebijakan tersebut mampu menjadikan Tiongkok menjadi salah satu tujuan utama investasi global. Bahkan sejak tahun 2005, negara tersebut menjadi penerima investasi asing terbesar di dunia.

Di sisi lain, meskipun memiliki kekayaan alam yang berlimpah, tetap saja ketergantungan negara tersebut terhadap impor terutama bahan baku industri cukup tinggi seperti: minyak bumi, gas dan batubara, biji logam dan sirkuit elektronik.

Jurnalis Australia Geoff Hiscock dalam bukunya yang cukup menarik dan menggugah bertajuk Earth Wars: Pertempouran Memperebutkan Sumber Daya Global,  mengabarkan, Cina saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri.  

Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam tahun-tahun mendatang. Saat ini sebagai salah satu negara pengguna migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, yang membentang 800 km(500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang mengarah ke Laut Cina Selatan. 

Cina seperti halnya juga dengan Amerika, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara  Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka. 

Apalagi tren global saat ini mengindikasikan betapa ambisi teritorial dan sengketa perbatasan antar negara seperti yang sudah terbukti melalui serangkaian sengketa perbatasan antara Cina versus beberpaa negara ASEAN, nampaknya dalam beberapa tahun ke depan bakal semakin intensif, menyusul semakin intensifnya kekuatan-kekuatan besar memperebutkan cadangan migas potensial di zona lepas pantai. Betapa Cina menyadari betul nilai strategis beberapa wilayah territorial Indonesia yang melewati jalur Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Bagamana dengan Indonesia?

Taktik Cina dalam Kaca Pembesar

Menurut riset yang diolah oleh tim Aktual, pertumbuhan rata-rata Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Cina selama 7 tahun dari 2004 hingga 2010 adalah 11,0 persen. Yang berarti, ukuran ekonominya berlipat dua selama kurun waktu itu.  Nah, sebagai konsekwensi dari pertumbuhan yang cepat selama dua decade terakhir itulah, maka Cina sekarang mengomsumsi lebih banyak energi, menjual lebih banyak mobil, dan menghasilkan lebih banyak baja daripada Amerika Serikat. Cina menggunakan lebih banyak bijih besi, tembaga, timah, seng, alumunium, kromium, tungsten, titanium, dan unsur tanah langka dibandingkan bangsa lain manapun. 

Dalam proyeksi tim riset Aktual, pada 2020 diprediksi jaringan rel kereta api berkecepatan tinggi, bahkan setelah kemunduran pada pertengahan 2011, mungkin akan mencapai 16.000 km(10.000 mil), melesatkan orang dan barang yang bernilai tinggi pada kecepatan 320 km/jam di antara setiap kota besar Cina. Pembangunan jaringan raksasa itu dan kereta yang berjalan di atasnya membutuhkan sejumlah besar bahan baku, termasuk baja. 

Bisa dimengerti jika kemajuan pesat Cina yang dimulai sejak era Deng Xioping pada 1979, mulai mengundang ketakutan dari negara-negara barat. Pada 2011, Bank berskala global HSBC yang kita tahu berada dalam kendali Inggris dari belakang layar, dan merupakan merger dua cabang bank yang berbasis di Hongkong dan Shanghai, mengeluarkan laporan berjudul The World in 2050. Melalui laporan tersebut disimpulkan bahwa pada 2050 negara-negara berkembang-termasuk Cina dan India, akan melipatgandakan outputnya lima kali dan akan lebih besar daripada output negara-negara maju. 
19 dari 30 negara dengan produk domestik bruto terbesar adalah negara yang saat ini disebut sebagai negara berkembang. Cina dan India akan menjadi negara terbesar di bidang ekonomi, bahkan ketiga terbesar, disusul oleh Amerika di nomor 2, Jepang, yang kemudian diikuti oleh Inggris, Brazil, Meksiko, Perancis, dan Kanada di 10 besar. 

Prediksi ini, meski dalam lingkup geopolitik, sempat dkumandangkan oleh pakar politik Amerika Dr Samuel Huntington, dalam bukunya the Clash of Civilization. Meski secara rinci tidak tergambar secara ekonomi, selan tegaknya Khlafah Islamiyah, Cina dipandang sangat potensial sebagai kekuatan adidaya baru menggantikan Amerika.

Dengan cadangan devisa yang diduga mencapai 3 triliun dollar Amerika Serikat berdasarkan data 2011, maka Cina saat ini punya uang untuk membeli hampir apapun yang mereka mau. Tak mustahil, di tengah perekonomian Cina yang semakin berkembang saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina. Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan. Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku(yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).

Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat fakta bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei. 

Sebuah editorial koran Cina Global Times edisi 21 Juni 2011 kiranya perlu disimak secara seksama: 
“Vietnam telah melakukan tindakan beresiko di Laut Cina Selatan untuk sekian lama. Mereka telah menduduki 29 pulau Cina. Mereka telah mendapatkan manfaat terbanyak dari eksploitasi gas alam dan minyak bawah laut. Mereka juga yang paling agresif menghadapi Cina. Cina telah mengirimkan pesan yang jelas bahwa kami akan mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kami di Laut Cina Selatan. Jika Vietnam terus memprovokasi Cina di wilayah ini, Cina pertama akan menghadapinya dengan kekuatan polisi laut, dan jika perlu, menyerang balik dengan kekuatan angkatan laut. “

Jika prediksi harian Cina Global Times ini kelak terbukti benar, nampaknya estimasi yang pernah dilontarkan Samuel Huntington bahwa konflik bersenjata antara Cina dan Vietnam, bakal mengobarkan perang berskala global antara negara-negara yang yang bersekutu dengan AS versus negara-negara yang bersekutu dengan Cina, kiranya cukup beralasan. 

Sebab pada 1979, Cina pernah menginvasi Vietnam menyusul tergusurnya rezim Khemer Merah pimpinan Pol Pot yang didukung Cina. Meski invasi Cina ke Vietnam hanya sebulan, namun telah menghancurkan secara signifikan sendi infrastruktur di Vietnam bagian utara. Namun sejatinya, sasaran sesungguhnya Cina waktu itu  adalah penguasaan Pulau Paracel yang terletak di sebelah timur Vietnam dan selatan Pulau Hainan. Singkat cerita, sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam atas Spratly dan Paracel tetap berlanjut. 

Pertaruhan Cina di Laut Cina Selatan nampaknya memang cukup besar. Terbukti pada 2011, Cina telah mengumumkan akan meningkatkan secara substansial pasukan paramiliter pemantau lautnya yang berpatroli di perairan Laut Cina Selatan. Bahkan dalam proyeksi di 2020, Cina berencana akan memiliki lebih dari 500 kapal dan 15.000 personel petugas-jauh lebih banyak daripada Amerika Serikat, yang saat ini juga semakin memperkuat kehadiran militernya di Darwin, Australia, untuk mengontrol perairan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. 

Indonesia di Lingkaran Hegemoni

Indonesia yang berposisi netral menarik perhatian Cina dan AS. Seolah-olah mereka berebut pengaruh pada Indonesia. Sangat aneh ketika Kongres AS pada tahun 1999 mengeluarkan Leahy Amandment yang berisi embargo total terhadap bantuan militer AS kepada Indonesia, kecuali bila pemerintah Indonesia dapat mengadili para pelaku pelanggaran HAM di Timor Timor. 

AS bersedia memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 plus 6 pesawat F-16 sebagai Sparepart. Namun Indonesia menginginkan untuk melakukan upgrade pesawat tersebut agar menjadi setara dengan F-16 Block 52. Ditambah pula 12 unit radar maritim untuk Indonesia.

Tidak mau ketinggalan, Cina turut memberikan bantuan paket radar maritim yang mencapai Rp. 1,5 Triliun. Selain itu, Cina memberikan bantuan yang benar-benar dibutuhkan, yakni Alih Teknologi untuk rudal anti kapal C-705 dari Cina. Cina mengerti akan kondisi Indonesia yang sedang giat dalam pengembangan roket dengan harapan bisa memproduksi rudal sendiri, namun terkendala dalam membuat pemandu dalam rudal.

Posisi Indonesia yang dianggap netral bisa berubah menjadi kecurigaan dari kedua belah pihak. Dan menjadi alasan yang logis dalam melakukan serangan terhadap negara yang dicurigai. Hal ini tidak menutup kemungkinan jika Indonesia menjadi tempat peperangan atau malah terseret dalam peperangan.

Indonesia juga bisa masuk perangkap Cina lewat skenario kerjasama ekonomi. Dalam doktrin Alfred Mahan, ditegaskan bahwa “ Barang Siapa Menguasai Lautan Hindia, maka  maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Agaknya, doktrin sea power ini dihayati betul maknanya oleh para perancang kebijakan strategis pertahanan nasional Cina. Terbukti melalui paparan sebelumnya maupun perkembangan terkini, Cina semakin meningkatkan kapasitas angkatan lautnya, dibandingkan matra-matra laut lainnya. 

Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) sebutan AL Cina mengalam kemajuan. Berdasarkan penelusuran data, terungkap  PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedang infantry marinir berjumlah 56.000 personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100  unit kapal selam dimana sebelumnya hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Cina memang tidak main-main. 

Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan diprakirakan banyak pihak, bahwa enam - tujuh tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Cina diyakini memiliki anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu, fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama Amerika (AS) dan sekutu, apalagi kelompok negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”-nya Samuel P Huntington, bahwa akan meletus perang terbuka AS versus Cina dan melibatkan polarisasi baru antara AS + Uni Eropa melawan Cina dan Khilafah Islam.

Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, sengaja menjadi media pamer kekuatan (show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Cina mengeluarkan berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate, dll termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan bukti bahwa transformasi sea power di Cina berjalan gemilang. Bahkan Negeri Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang teknologi dan informasi.

Pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatar-belakangi selain kian memanasnya suhu politik di Laut Cina antara Cina sendiri melawan beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ akan tetapi yang utama ialah penguatan “String of Pearls”. Inilah strategi Cina di perairan Laut Cina Selatan dalam rangka mengamankan energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-impornya di berbagai negara melalui perairan. 

Pesan Khusus

Indonesia dengan mabda Islam sebagai  jalan kebangkitan, memiliki semua persyaratan untuk menjadi negara besar di dunia. Baik karena cakupan wilayahnya yang sangat luas dan populasi penduduknya yang tinggi. Ditambah lagi letak strategis Indonesia, baik geopolitik maupun ekonomi yang dimiliki Indonesia, yang memungkinkan negara kita ini menjadi Golden Bridge (Jembatan Emas), tak hanya pelayaran antar benua, ekonomi, maupun politik. Melainkan sebagai jembatan peradaban dari Timur, Islam, dan Barat.

Tentu saja juga karena kepemilikan kita terhadap potensi sumberdaya alam yang kaya, energi, termasuk energi surya yang terbesar di seluruh dunia. Tentu saja semua itu baru sebatas potensi. Namun semua hal itu membuat kita optimis, Umat Islam dengan Khilafah Rosyidah bisa menjadi negara yang berpotensi tumbuh sebagai kekuatan global di masa depan. [VM]

Posting Komentar untuk "Membaca Manuver Politik Cina"

close