Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teror di ‘Bastille Day’, Rezim Perancis Menemukan Momentum Untuk Menikmati ‘Sesuatu’


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)

Serangan teroris terbaru di Perancis memicu reaksi keras pemerintah Paris. Presiden Prancis Francois Hollande memperpanjang status darurat nasional di negaranya. Hollande mengonfirmasi 77 orang tewas, termasuk anak-anak dan 20 lainnya terluka saat sebuah truk menyeruduk kerumunan di Nice, Kamis malam (14/7). Para analis politik menilai serangan ini memiliki perencanaan dan target serangan yang matang. Presiden Prancis Francois Hollande mengatakan, tak dipungkiri lagi bahwa serangan mematikan di Nice terhadap massa yang menonton kembang api dalam perayaan Bastille Day adalah “serangan teroris”. ”Prancis dihantam pada hari nasional … simbol kebebasan,” ujar Hollande, seperti dikutip AFP, Jumat (15/7/2016).

Fakta-fakta seputar peristiwa di Paris perlahan tapi pasti akan muncul. Bisa memakan waktu berminggu-minggu atau mungkin bertahun-tahun.  Belum pasti serangan tersebut merupakan tindakan individu, kelompok atau negara, namun satu fakta yang sudah diketahui: bahwa negara-negara seperti Amerika dan Perancis telah, dan terus, bertanggung jawab atas beberapa tindakan kejahatan terburuk yang disaksikan oleh umat manusia. Tanggung jawab ini terletak dari kejahatan ini langsung, dengan mensponsori orang lain untuk melakukan kejahatan ini, atau menciptakan kondisi yang menghasilkan kejahatan ini – manapun dari skenario ini, akhirnya merupakan kebenaran.

Kebencian terhadap Islam sudah tercetak dalam DNA negara-negara Eropa, dan Perancis memimpin untuk mengembalikan Eropa kepada abad ke-15, ketika kaum Muslim dan Yahudi dimusnahkan dari Spanyol di bawah pemerintahan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.

Sudah ada banyak ambiguitas  seputar detail serangan di Perancis. Di luar itu, yang paling penting adalah melihat dari tindak diskriminatif yang dilakukan negara terhadap warganya, yang menjadi pemicu ketidakpuasan dan perasaan diperlakukan tidak adil. Perancis cermat mengambil momentum untuk melakukan kampanye Islamophobia. Secara alamiah, perasaan ketidakadilan muslim Perancis menumpuk, membara bagaikan lava panas, bisa membakar kemarahan, mengarahkan kepada akselerasi perjuangan anti kapitalisme dan anti diskriminasi di internal kaum muslim. Di seluruh dunia.

Robert Chardon, Walikota Venelles, sebuah kota di selatan Perancis, men-tweet: “Kita harus melarang Agama Islam di Perancis.” Dia menyerukan negara agar menghapus UU Sekularisme yang berlaku sejak tahun 1905 – dan kemudian “mempromosikan praktek Agama Kristen”. Chardon menambahkan, “Kami juga membutuhkan Marshall Plan untuk mengirim kaum Muslim ke negara-negara di mana agama itu dipraktekkan.” Dia yakin bahwa agama Islam akan dilarang pada bulan Oktober 2027 – tetapi tidak menjelaskan arti pentingnya tanggal tersebut. Dia kemudian menjelaskan kepada surat kabar La Monde bahwa rencananya adalah “satu-satunya solusi bagi sebagian besar masalah Perancis”.

Prancis sendiri merupakan Negara Eropa dengan jumlah umat muslim terbanyak dibanding Negara-negara Eropa lainnya. Prancis selalu ikut aktif bersama Amerika dan Inggris memerangi para teroris yang umumnya terkait dengan Islam. Prancis selalu mengerahkan militernya untuk konflik-konflik yang terjadi di Mali, Libya, Suriah hingga Irak. Tercatat lebih 10.000 pasukan Prancis begitu aktif memerangi teroris di sejumlah Negara Africa dan Timur Tengah. 

Dengan mengatasnamakan demokratisasi dan perang terhadap terorisme negara itu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan kedaulatan negara lain. Negara seperti itu seakan menjadi pahlawan di setiap tindakanya, padahal ia ingin menguasai berbagai sumber daya untuk menopang keberlangsungan hegemoninya supaya kerakusan mereka terus terpenuhi. Negara penjajah itu akan melakukan berbagai cara dan modal yang ia miliki, termasuk modal penguasaan akan ilmu penegetahuan dan teknologi. Negara ini menciptakan pesawat-pesawat tanpa awak yang dipersenjatai untuk diterbangkan di wilayah negara lain untuk membantai rakyat sipil dari negara lain dengan legitimasi perang terhadap terorisme, padahal ia sendiri yang patut kita sebut sebagai teroris.

Penindasan dan ketidakadilan sosial seringkali disebut-sebut oleh media mainstream sebagai penyebab dari terorisme yang terjadi di abad ke-21 ini, sehingga kebangkitan terorisme internasional juga tidak terlepas dari konstelasi geopolitik global, khususnya di Timur Tengah. Sejarah mencatat bahwa istilah ‘terorisme’ sebagai suatu definisi bersifat inkonsisten. Beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang di elu-elukan masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil mencapai kedudukan sebagai Perdana menteri Israel, setelah nama mereka dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ’Palmach’ (1940) dan jaringan ’Irgun’ (1944), organisasi-organisasi kaum teroris yang paling dibenci Inggris bahkan dunia internasional. Semua kini telah berubah dan keadaan bahkan telah terbalik, karena Dengan demikian terorisme dalam kamus kapitalisme menjadi sulit untuk dinyatakan sebagai suatu kejahatan yang tercela.

Hal yang makin jelas, persaingan Amerika-Perancis yang lama ini menunjukkan tanda-tanda menguat. Sudah jelas bahwa Perancis memimpin posisi Eropa yang kuat yang menyerukan dilengserkannya Assad. Pada tahun 2012, Perancis  mendapatkan momentum untuk melakukan intervensi militer di Suriah dan menyatakan bahwa negara itu akan mencari resolusi di bawah Bab 7 Piagam PBB – suatu langkah yang bertujuan untuk memimpin intervensi militer.

Apapun skenario yang mungkin terjadi, yang harus membayar harga dari perebutan kekuasaan internasional yang merampas rasa kemanusiaan dan moralitas ini adalah warga sipil yang tidak berdosa, apakah di Suriah atau di Perancis. Perang tak timbul dengan sendirinya, lebih dari itu perang merupakan sebuah cara untuk memenuhi kerakusan penguasaan-penguasa bangsa. Perang banyak tercipta karena didorong oleh pemimpin-pemimpinnya dan ideologi yang dianutnya. Pemimpin kapitalis yang haus akan kekuasaan maka akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaanya dan memperbesar wilayahnya untuk menunjang keberlanjutan hegemoni negara-bangsanya. Penguasa-penguasa kapitalis diktator yang rakus juga pada akhirnya berbuat sewenang-wenang pada rakyatnya dan target negara yang akan dijarah, hingga akhirnya menimbulkan kesengsaraan yang nyata. Kapitalisme yang dianut rejim Perancis menjadi kabar buruk bagi umat Islam dan perdamaian. [VM]

Posting Komentar untuk "Teror di ‘Bastille Day’, Rezim Perancis Menemukan Momentum Untuk Menikmati ‘Sesuatu’ "

close