Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Turki Berpaling Dari Sejarah Imperium Utsmani

Peringatan Penaklukkan Konstantinopel di Turki
Oleh : Aisha Hasan

Pada tanggal 29 Mei, Turki menandai penaklukan Istanbul tahun 1453 oleh Imperium Uthmani pada ulang tahun yang ke-563 dengan upacara megah termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim yang ikut berpartisipasi, di samping diperkirakan terdapat juta penonton yang mengikuti upacara, di kota pesisir Yenikapı Square.

Ribuan orang melambaikan bendera Turki dan bersorak-sorak saat terdengar musik dari militer Uthmani yang memadati pantai, mengingatkan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al Fatih.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Minggu lalu menggambarkan rezim Suriah, kelompok teroris Daesh, dan kelompok teroris PKK yang berhubungan dengan PYD sebagai trio yang “terus mendukung dan membuka jalan satu sama lain”.

“Sayangnya, negara-negara yang kita lihat sebagai sekutu mengabaikan permainan kotor ini, [dan] bahkan mendukungnya,” kata Erdogan. “Mereka yang menggunakan Daesh dan membanjiri Suriah dengan darah, dan juga mereka yang menggunakan PYD dan mencoba untuk mengepung perbatasan selatan kami, memiliki satu tujuan yang sama: yaitu untuk memutuskan semua hubungan Turki dengan Timur Tengah dan Afrika Utara.”

Komentar:

Peristiwa semacam itu sekali lagi mengobarkan kebanggaan dan harapan umat Islam di seluruh dunia, yang melihat Turki dan pemerintahnya sebagai sebuah negara yang berada di sisi umat dan salah satu Negara yang berpegang pada sejarah dan nilai-nilai Islam-nya. Namun, hal ini sebenarnya jauh dari kebenaran.

Hanya dalam minggu ini, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa AS dan Turki harus bekerja sama untuk mengalahkan ISIS, dengan beralasan bahwa mereka dengan mudah bisa merangsek maju ke Raqqah, yang merupakan markas kelompok itu dan memperkuat perbatasan Turki-Suriah. Turki bersedia untuk melangkah lebih jauh untuk membantu sekutu-sekutu Baratnya, meskipun mereka mengkritik kerjasama antara pasukan AS dan kelompok teroris yang berafilasi dengan PKK Suriah, PYD, dan sangat mendukung agar mereka bisa disebut sebagai teroris.

Namun demikian, untuk mengamankan kepentingan nasional mereka, Turki bersedia melakukan apapun, terutama mengingat adanya serangan teroris ISIS baru-baru ini di negara tersebut.

Turki tidak dalam posisi yang mudah, untuk menghadapi Rusia yang mendukung PKK, ISIS dan Barat, namun tahun-tahun bekerja mereka dengan Barat telah menjadi salah satu penyebab utama atas situasi mereka saat ini. Arus bantuan dan kepatuhan militer dengan AS dan keinginan mereka agar diterima di Masyarakat Uni Eropa, telah mendorong mereka untuk membuktikan bahwa afiliasi yang tampaknya Islamis itu tidak akan berdampak pada hubungan politik mereka.

Namun kita melihat bahwa media Barat dan para politisi masih belum puas dengan tindakan pemerintah Turki, dengan terus menyebutkan meningkatnya sentimen Islam dan pengakuan PKK sebagai kelompok teroris, sebagai bukti sikap Turki yang otoriter. Dalam beberapa tahun terakhir media bahkan telah menganggap Turki sebagai sebuah negara Islam, yang hanya akan melanjutkan upaya pemerintah Turki untuk membuktikan dirinya sebagai sebuah model negara Islam liberal, dengan meninggalkan Islam dalam prosesnya.

Untuk alasan itulah banyak kaum Muslim yang memilih untuk berpihak pada partai AKP Erdogan, dengan alasan bahwa mereka melakukan upaya menuju beberapa perubahan dan merupakan sebuah ancaman bagi Barat, sehingga harus didukung.

Namun demikian, harus diakui bahwa Turki hanya bertindak demi kepentingannya sendiri, dan bukan atas dasar Islam. Dengan mayoritas penduduknya yang Muslim, wajar saja untuk membatalkan beberapa pembatasan yang sebelumnya dilakukan oleh kelompok Kemalisme, seperti larangan jilbab yang dicabut pada tahun 2013. Namun hal itu bukan dilakukan demi Islam, melainkan dengan alas an pembenaran kebebasan, yang merupakan landasan demokrasi, dimana Turki sekarang menganggapnya demikian. Sentimen Islam kaum muslimin disalurkan kepada nasionalisme dan kebanggaan negara Turki, dan bukan keinginan jangka panjang atas munculnya kembali Islam. Selain itu, kebijakan yang lebih luas menunjukkan bahwa setiap bentuk pemerintah masa depan atau pendidikan Islam bukanlah prioritas mereka, melainkan untuk mengamankan kedaulatan negara Turki, dan membuktikan diri mereka sebagai bagian dari negara global di Utara.

Sungguh ironis bahwa saat merayakan penaklukan Istanbul, negara Turki memperkuat fakta bahwa arahnya saat ini jauh dari arah Sultan Muhammad al Fatih. Sultan Muhammad hanya menginginkan untuk memenuhi nubuwah dari Rasulullah SAW; bahwa Konstantinopel akan ditaklukan oleh komandan terbaik. Lalu dia mengganti nama kota itu menjadi “Islambul”, kota Islam dan menyatakan kemenangan bagi seluruh umat Islam. Yang paling penting adalah dia memerintah kota itu dengan Islam, seperti yang dia lakukan dengan wilayah Khilafah Usmani lainnya.

Apa yang akan dia pikirkan jika dia melihat Turki pad hari ini? Dimana terdapat ribuan orang melambaikan bendera Turki dan janji Erdogan bahwa tanah di Turki akan tetap berada di bawah kekuasaan negara, yang menunjukkan bahwa Istanbul bukan lagi kota Muslim, tapi merupakan sebuah kota Turki.

Umat ​​tidak boleh tertipu oleh ditampilkannya sejarah tersebut dan salah menganggap bahwa itu adalah indikasi Islam untuk masa depan. Umat juga jangan terpedaya oleh kekaguman individu para pemimpin, melainkan harus menilai pemerintah atas kebijakan-kebijkan yang mereka lakukan. Turki merasa senang saat meninggalkan sejarah Islam di masa lalu, dan di masa depan bertujuan agar diakui di dunia internasional hanya sebagai sebuah model Negara Barat liberal.[VM]

Sumber : khilafah.com, 2/6/2016

Posting Komentar untuk "Turki Berpaling Dari Sejarah Imperium Utsmani"

close