Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi akan Menemukan Pilihannya Namun bukan Solusi


Oleh : Nola Dwi Naya Sari
(Mahasiswi UPI Bandung)

Ibukota saat ini tengah heboh menuju perhelatan akbar pemilihan gubernur 2017. Saat ini Ahok yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta terus dipanaskan dengan munculnya beberapa calon kepala daerah lainnya yang kelak akan menjadi lawan tandingnya. Namun menarik melihat tanggapan Ahok ketika diungkit bahwa salah satu lawan tandingnya kelak adalah seorang sosok perempuan yang fenomenal yaitu Tri Rismaharini (Risma) yang saat ini menjabat sebagai walikota Surabaya. Risma disebut-sebut memiliki segudang prestasi dan layak memimpin DKI.

Ahok menganggap bahwa tokoh sekaliber Risma mampu memimpin Jakarta bahkan Indonesia. Namun menarik ketika kita analisis ketika Ahok seolah mengadu domba Risma dengan Jokowi dengan menyatakan bahwa “walikota Solo saja jadi presiden, masa walikota Surabaya tidak?”. 

Risma memang menjadi kader PDIP. Dan memang Majelis Pelayan Jakarta telah merekomendasikan nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini jadi cagub DKI PDIP. "Dukungan terhadap Risma semakin besar. Kami juga terus merekomendasikan Risma kepada PDIP. Namun PDIP sendiri masih misteri," kata Ketua Badan Pekerja MPJ Iwel Sastra (detik.com).  Sebuah partai politik memang memiliki mekanisme tersendiri dalam mengusung nama yang maju dalam pemilihan. Salah satunya dengan prinsip kedaulatan rakyat dengan menjaring kepala daerah yang berhasil. 

Inilah panasnya jelang Pilgub DKI.  Hal ini seakan menjadi hal yang wajar ketika berbicara masalah pemilihan kepemimpinan di Indonesia. Saling sikut, adu domba, menjatuhkan lawan, dan sebagainya. 

Indonesia saat ini menerapkan sistem demokrasi. Sistem yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satunya terlihat dari menangnya seorang pemimpin yang didasarkan atas pemungutan suara rakyat. Disatu sisi memang benar bahwa aspirasi rakyat sangat penting karena yang akan dipimpin adalah rakyat itu sendiri. Namun nilai demokrasi bukanlah hanya itu. Kita mungkin  kenal dengan istilah di dalam demokrasi yang disebut dengan Sistem yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Arti kata disamping tidak bisa dengan main-main kita pahami. Arti sebuah kedaulatan adalah menetapkan hukum. Tidak semua hukum bisa ditetapkan berdasarkan suara rakyat. Layaknya seorang manusia, sistem peraturan hidupnya (POLEKSUSBUDHANKAM) harus diputuskan berdasarkan suara penciptanya (Allah SWT). Yaitu sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah. Inilah sumber hukum yang benar. Yang tidak melihat asas suara mayoritas ataupun manfaat. Misalkan saat ini adanya pelegalan prostitusi, peredaran khamr, dan lain-lain semua diputuskan berdasarkan asas manfaat, tidak sama sekali berdasarkan al-qur’an yang jelas mengharamkan keduanya. 

Termasuk dalam sistem pemilihan pemimpin. Menanggapi pencalonan Risma sebagai calon gubernur DKI Jakarta bahkan saat ini juga menjabat sebagai gubernur Surabaya, perlu diketahui bahwa di dalam aturan Islam, wanita tidak diperbolehkan mengambil posisi dalam kekuasaan pemerintah. Hal ini sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW bahwa:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالََ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً 

Artinya: Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)

Adanya “dzam”(celaan) berupa “lan yufliha”(tidak beruntung) menunjukkan bahwa  tuntuntan meninggalkan  dalam hadis tersebut bersifat pasti.  Adapun kekuasaan yang diharamkan bagi wanita menjabat antara lain: mencakup Khalifah (Kepala Negara), Muawin(Pembantu Khalifah), Wali (gubernur), Qodhi quhhat( Pemimpim para Qodzi), Qodzi Madzalim(Qadzi yang mempunyai kewajiban menghilangkan kedzoliman termasuk memecat Khalifah jika melakukan kedzaliman kepada rakyat atau menyalahi Al-Qur’an dan Hadis). 

Namun ada beberapa posisi yang diperbolehkan bagi wanita dalam menduduki posisi seperti kepala Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Rektor Perguruan Tinggi, Kepala Rumah Sakit dan lain-lain. 

Dan sebagai umat muslim, tidak bisa standar ketika kita melihat keberhasilan  pemimpin dari program kerjanya atau hukum yang ditetapkannya apakah bermanfaat bagi rakyat atau tidak, membawa perubahan ke arah yang baik atau tidak. Namun, standar kita adalah apakah program kerja atau hukum yang diputuskan itu sesuai dengan aturan Allah. 

Selama demokrasi yang menentukan pilihan, maka hancurlah negeri ini cepat atau lambat. Karena mutlak ini bukan menjadi solusi. Islam lah yang menjadi solusi mutlak. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi akan Menemukan Pilihannya Namun bukan Solusi "

close