Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Bukanlah Solusi


Oleh : Endah Sulistiowati, SP. (MHTI Kediri)

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assidiqie menuturkan demokrasi liberal hanya melahirkan pemimpin dari budaya pop. “Siapa yang ngepop dia yang terpilih”, “Inilah demokrasi liberal yang kita pilih, demokrasi yang tidak melihat kualitas tapi kuantitas”, “Media memang memiliki peran mengarahkan kepemimpinan pop ini, trennya pun bisa kita lihat pemilik media yang dahulunya hanya mendukung sekarang pun maju dan menjadikan media sebagai alat pop.”.

Khofifah Indar Parawansa yang menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Jawa Timur saat maju pada pilgub Jatim harus menelan pil pahit. Seluruh permohonannya ditolak Mahkamah Konstitusi, “Kayaknya sulit yah berjuang tanpa uang di negeri ini,” ujarnya.

Pemerhati  Pendidikan Yudistira ANM Massardi menilai tawuran yang kian marak merupakan imbas dari akumulasi berbagai masalah sosial. “Tawuran  antar pelajar, antar warga, antar golongan, antar kelompok masyarakat, bahkan antar angkatan bersenjata terjadi akibat penegak hukum yang bobrok“, “Kebrutalan dalam tawuran antarpelajar sejak tahun 1970-an sudah menimbulkan sejumlah kematian yang sia-sia. Pemicu utamanya adalah ketidak adilan, kegagalan penegakan hukum, dan tidak kalah tragisnya adalah kegagalan sistem pendidikan nasional”. Terakhir adalah kasus Tanjung Balai, yang lagi-lagi Islam sebagai agama mayoritas penduduk ini harus dinistakan.

Pernyataan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan peserta APEC CEO Summit di Nusa Dua, Bali, Ahad (6/10) penting untuk disimak. Saat menyampaikan pidato pembukaan, presiden SBY menyatakan dirinya adalah Kepala Penjualan Perusahaan Indonesia (cief sales person indonesia incorporation). Pernyataan  ini bisa dinyatakan jujur, karena memang sesuai dengan realita. Sekaligus  membuktikan memang rezim SBY adalah rezim liberal. Apa yang disampaikan SBY mencerminkan paradigma liberal dalam bernegara selama ini. Hubungan antara rakyat dan penguasa seperti hubungan bisnis antara pemilik modal dan konsumen.

Reshuffle Kabinet Kerja II Presiden RI ke 7 Joko Widodo semakin mempertegas bahwa perpolitikan rezim Jokowi ke arah lIberalisasi ekonomi. Kenyataan ini diperparah dengan hadirnya para pengusaha yang duduk sebagai penguasa. Rizal Ramli menyebutnya sebagai Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha). Pengpeng ini kian menjerumuskan kehidupan negara. Bagaimana tidak, mereka duduk di pemerintahan semata-mata untuk kepentingan bisnis dan koleganya. Ingat beberapa kasus belakangan misalnya soal perpanjangan Freeport. 

ILUSI dan DEMOKRASI

Ilusi menurut wikipedia  adalah pengamatan yang menyimpang, atau persepsi yang keliru, mencakup pemutarbalikan fakta atau penyimpangan dari pola. Ilusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang hanya di angan-angan atau khayalan atau pengamatan yg tidak sesuai dengan penginderaan atau tidak dapat dipercaya atau palsu.

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia dalam rangka “membebaskan manusia” dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama. Demokrasi merupakan kata dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi berlandaskan dua ide : 1. Kedaulatan di tangan rakyat, 2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi kesejahteraan rakyat. Dengan kemampuan memberikan ruang yang cukup luas pada aspirasi rakyat, penghargaan pada keragaman atau pluralitas dengan tetap memberikan kebebasan, baik kebebasan beragama, berpendapat dan berkelompok, kepemilikan maupun kebebasan berekspresi, maka demokrasi dipercaya bisa mengakomodasi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Termasuk dalam hal ini memperlakukan kelompok rakyat miskin dan kaya sehingga kesejahteraan bersama bisa diwujudkan.

Apakah kesejahteraan memang bisa diwujudkan dalam sistem demokrasi atau hanya sekedar ilusi? Coba kita simak fakta-fakta terkait demokrasi. Pertama, kedaulatan di tangan rakyat, rakyat berhak menentukan pemimpin dan undang-undang dengan wakil-wakilnya. Kedaulatannya di tangan rakyat perwujudannya tampak pada dua perkara. Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam pemilihan pemimpin. Dengan kewenangan (wakil) rakyat menyusun peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin, diyakini bahwa peraturan perundangan yang dihasilkan akan selaras dengan kepentingan rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerjabdemi rakyat. Namun, yang terjadi tidaklah demikian.

Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan menjadi penguasa baik di level daerah (Kabupaten/Kota Madya, Propinsi)  atau pusat diperlukan biaya yang tidak sedikit. Wakil Ketua DPR dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, dalam disertasi doktoralnya menemukan fakta, untuk pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana Rp. 600 juta hingga Rp. 6 milyar, biaya itu akanterus naik tiap tahun. Obama presiden AS, juga mengeluarkan angka fantastis dalam pemilihan presiden yaitu 800 juta USD (sekitar Rp. 7,2 trilyun). Dalam pilgub Jatim Sukarwo-Saifullah tahun 2008 mengeluarkan dana Rp. 1,3 trilyun.

Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidak jauh berbeda. Hal ini pasti akan menimbulkan efek yang cukup parah. Pertama, kebijakan pemerintah yang dibentuk melalui proses politik seperti itu pasti akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang telah mendukungnya. Kedua, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh parlemen, juga akan cenderung berpihak kepada pemilik modal. Itu dilakukan sebagai bentuk kompensasi atas biaya yang sudah dikeluarkan. Akhirnya, mereka menjadikan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki itu sebagai alat untuk memperoleh uang karena gaji resmi mereka jauh dari kebutuhan. Jadi, bagaimana mereka akan memikirkan kebutuhan rakyat, kalau yang ada dibenak mereka hanya bagaimana bisa balik modal dan mendapat keuntungan.

Kedua, terpilih dengan suara mayoritas akan bisa berbuat apapun, termasuk untuk menegakkan syariah Islam.Sebagian orang yang berjuang dalam sistem demokrasi beranggapan bahwa jika sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, yaitu pemenang pemilu berhak membentuk pemerintahan, juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariah Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Ini tampaknya logis. Namun faktanya, pemerintahan sekuler yang didukung oleh Barat tidak akan pernah mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair tahun 1992, HAMAS di Palestina, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah membuktikan hal itu.

Ketiga, demokrasi akan memberikan kesejahteraan. Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada ditangan segelintir rakyat, yakni para pemilik modal. Coba kita tengok perekonomian di AS, yang notebene sebagai negara kampium demokras, misalnya, dari tahun 1980 sampai 2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1079 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata orang terkaya naik 272% dari 350 ribu USD menjadi 1,3 juta USD. Dalam waktu yang sama pendapatan rata 20% penduduk termiskin hanya naik 13% dari 15,5 ribu USD menjadi 17,5 ribu USD.

Di Indonesia kesenjangan serupa juga terjadi, total pendapatan 20% masyarakat terkaya meningkat dari 42,07% (2004) menjadi 48,42% (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40% masyarakat termiskin menurun dari 20,8% (2004) menjadi 16,85 (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp. 680 trilyun (71,3 miliar USD), itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang..

Dalam konteks global terjadi ketimpangan kekayaan. Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6% kekayaan global, 8% penduduk terkaya (385 juta orang) memiliki 79,3% kekayaan global, dan 68,4% penduduk miskin (3,038 milyar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global. Maka tidak heran, dalam demonstrasi di berbagai negara Barat menusul krisis ekonomi yang berkelanjutan, mereka membawa poster atau spanduk berbunyi “capitalism is not working”, :Capitalism is merely 1%, we are the 99%”.

Demokrasi dalam Pandangan Islam

Di dalam ide kufur demokrasi, prinsip dassar yang tidak bisa dilepaskan adalah kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat (as-siyadah wa as-sulthan li al-ummah). Kekuasaan ditangan rakyat tersebut diberikan olleh rakyat kepada wakil-wakilnya di parlemen sehingga mereka berdaulat guna membuat hukum-hukum sesuai keinginan mereka.

Di dalam islam kedaulatan berada di tangan Asy-Syari’, yakni Alloh SWT. Artinya kedaulatan ditangan syariah(as-siyadah li asy-syari’). Adapun kekuasaan berada ditangan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Dalam demokrasi kekuasaaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat hukum (bukan menjalankan hukum dari Alloh SWT). Adapun dalam Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (khalifah) bukan untuk membuat hukum/UU, namun untuk menjalankan hukum-hukum Alloh SWT. Yakni syariah Islam yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ sahabat dan Qiyas Syar’i.

Di dalam demokrasi, hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat adalah bersumber dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas; akal yang tidak mengetahui apa kebutuhan manusia yang lain, sebaliknya di dalam Islam, sumber hukum untuk mengatur persoalan persoalan setiap sendi kehidupan manusia berasal dari Zat yang menciptakan akal manusia itu sendiri. Dialah Alloh SWT. Zat Yang Mahatahu apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Alloh SWT. Telah menurunkan syariah Islam untuk mengatur semua persoalan tersebut (QS. An-Nahl:89).

Demokrasi adalah “kedaulatan milik rakyat dan rakyat menjadi sumber kekuasaan”. Rakyat adalah pihak yang menetapkan hukum dan pemilik kekuasaan legislasi. Rakyat juga adalah yang mengimplementasikan dan pemilik kekuasaan eksekutif dan tidak menjadi syariah yang implementatif dan mengikat kecuali dengan hal itu. Rakyat adalah hakim dan pemilik kekuasaan yudikatif dan tidak menjadi sebuah undang-undang dan mahkamah tidak boleh memutuskan kecuali dengan apa yang diputuskan rakyat. Lalu pasal ini dimana posisinya dari firman Allah SWT:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (TQS al-Ahzab [33]: 36)

Jadi, masihkah kita percaya pada demokrasi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih perubahan ? Tidak! Hanya sistem Islam saja yang dapat mengantarkan kita menuju perubahan yang kita cita-citakan, yakni perubahan menuju tegaknya Islam kaffah dalam system Khilafah a’la Minhaj an-Nubuwwah. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan menempuh thariqah dakwah Rasulullah saw. , bukan dengan jalan demokrasi. 

Demikianlah, dengan demokrasi mendasarkan diri pada prinsip etnosentrisme, paham yang menganggap manusia sebagai makhluk terunggul. Padahal kenyataannya manusia adalah makhluk yang lemah. Lihatlah bagaimana peraturan perundangan buatan manusia yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan demokratis selalu berubah-ubah. Yang dulu dibenci sekarang disukai. Yang dulu dilarang sekarang menjadi boleh. Yang ganjil bisa berubah menjadi wajar. Yang semestinya dibenci malah disuka demikian sebaliknya.

Jadi, bagaimana bisa suara dari makhluk yang lemah itu disamakan dengan suara Al Khalik? Benar kata filsuf Yunani kuno Aristoteles, demokrasi adalah buah pikir manusia purba. Menurut Winston Churchill, mantan PM Inggris, demokrasi merupakan alternatif terburuk dari bentuk pemerintahan manusia.

Jadi, mengharap dari sistem demokrasi lahir kesejahteraan bersama adalah sebuah ilusi besar. Ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu. Oleh karena itu, mestinya kita tidak ragu untuk meninggalkan demokrasi yang sudah tampak jelas kebusukannya, dan berjuang bersungguh-sungguh untuk tegaknya syariah secara kaffah di bawah nanungan Daulah Khilafah saja kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud, supremasi hukum akan tegak, pemimpin yang adil bisa didapat. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi Bukanlah Solusi"

close